Duka Ajeng
Jawa Tengah 1925
Hujan membasahi gundukan tanah yang baru dikuburkan beberapa menit yang lalu. Tangisnya tak lagi terdengar. Ia usap nisan suaminya itu dengan tangan yang gemetar. Kenangan demi kenangan terlintas di dalam pikirannya. Kalau saja suaminya tidak pergi bersama pemuda-pemuda lain maka hal ini tak akan terjadi.
"Mas kamu berjanji padaku untuk pulang. Tapi yang pulang hanya ragamu saja mas. Kenapa kau memilih untuk meninggalkan aku dan Bayu anak kita? " tanyanya dengan getir. Sampai kini dia belum ikhlas. Ajeng begitu dendam dengan tentara Belanda yang sudah membunuh suaminya. Tiada tempat untuknya bernaung. Ajeng adalah yatim piatu yang diperistri oleh Diman saat berumur 15 tahun. Saat ini umur Ajeng sudah 18 tahun. Bebannya terlalu berat ditinggal mati suami di usia muda dan harus mengurus bayi yang masih berusia 6 bulan.
"Mas tidurlah dengan nyaman. Aku akan menjaga Bayu anak kita. Jangan khawatir mas. Ajeng pulang dulu Assalamualaikum" Ajeng melangkahkan kakinya menjauh dari pemakaman. Kakinya terasa dingin dan mengkerut karena dia tidak memakai alas apapun. Ia harus jalan dengan hati-hati agar tak terjatuh. Dari jauh Sulastri tetangga sebelah menggendong Bayu yang sedang menangis dengan keras. Terlihat Sulastri kewalahan menenangkan Bayu.
"Ajeng.. Bayu nangis terus sepertinya dia haus" ucap Sulastri panik. Ajeng mengambil alih anaknya dan duduk di depan rumahnya. Ia mengeluarkan sebelah dadanya untuk menyusui Bayu. Bayu langsung menyedot asi ibunya dengan cepat. Setelah itu Bayu tertidur dalam gendongan ibunya.
"Nak kamu sekarang hanya punya ibu. Kita akan hidup berdua selamanya. Ibu akan menjaga dan merawat kamu mulai detik ini" ucap Ajeng sambil mencium kening anaknya itu. Sulastri menatap Ajeng dengan tatapan iba. Dia kasihan melihat hidup Ajeng yang hidup sebatang kara bersama anaknya yang masih bayi. Tanpa sadar air mata Sulastri ikut menetes.
Berselang satu minggu Ajeng diajak oleh Sulastri untuk ikut bekerja memetik daun teh di perkebunan milik Meneer Cornelis. Kebetulan ada lowongan kerja untuk beberapa orang dan Sulastri merekomendasikan Ajeng untuk bekerja disana. Bayu dititip dengan mbok Darmi emaknya Sulastri.
"Mbok tolong titip Bayu ya. Kalau dia nangis haus kasih tajen nasi aja mbok" pesan Ajeng.
"Iya nak tenang saja mbok sudah menganggap Bayu sebagai cucunya sendiri. Ajeng mencium pipi Bayu sebelum berangkat kerja. Dia dan Sulastri berjalan ke kebun teh milik Meneer Cornelis. Kebunnya tehnya sangat luas sekitar 2.500 hektar. Semua orang sudah berbondong-bondong mencabut daun pucuk teh yang akan diolah menjadi teh yang berkualitas untuk diekspor dan diimpor.
"Ambil wadah itu dan taruh di belakangmu seperti orang-orang itu. Ayo kita mulai bekerja sebelum dimarahi mandor Sugeng" ucap Sulastri. Ajeng mengambil wadah itu dan menaruhnya di belakang punggungnya. Dia juga memakai cuping untuk menghindari terik matahari.
"Ayo cepat kerja!! jangan lambat!! mau kalian saya pecat!! cepat bergerak!! " seru mandor Sugeng dengan arogan. Semua orang cepat bergerak sebelum dimarahi kembali oleh Sugeng. Mata Sugeng melihat Ajeng dari jauh. Ajeng sangat cantik dan seksi. Dulu Sugeng mengincarnya tapi keduluan Diman. Tapi sekarang Ajeng sudah menjanda, Sugeng bisa kembali mendekatinya. Sugeng berjalan menghampiri Ajeng dan berdiri di sampingnya. Ajeng tak nyaman karena Sugeng terlalu dekat dengannya.
"Ajeng.. kamu mau gak nikah sama aku? Diman kan sudah meninggal. Kamu pasti kesepian kan tiap malam?" Sugeng sengaja memegang p****t Ajeng dan meremasnya pelan. Bisa saja Ajeng memberontak dan menghajarnya tapi Ajeng butuh pekerjaan ini demi menyambung hidup dirinya dan anaknya.
"Maaf mandor jangan seperti ini tolong lepaskan tanganmu" ucap Ajeng begitu pelan. Dia tidak ingin yang lain tau apa yang sudah Sugeng lakukan padanya.
"Kenapa sih sayang? tidak ada yang lihat kok" Sugeng mulai melecehkan Ajeng kembali dan kali ini meremas dadanya juga. Ajeng menggigit bibirnya menahan kemarahannya.
"Sugeng!! " panggil Meneer Cornelis. Sugeng kaget dan langsung menghadap Meneer Cornelis.
"Bagaimana kebun teh sebelah utara sana? apakah sudah dipanen? " tanya Meneer Cornelis.
"Sudah Meneer semuanya sudah beres" jawab Sugeng grogi.
"Bagus tetap awasi mereka"
"Baik Meneer"
Meneer Cornelis sekilas melihat Ajeng. Dia tidak pernah melihat Ajeng sebelumnya. Diantara buruh disini hanya Ajeng yang terlihat cantik, bening, dan bersih kulitnya. Dia membuang pandangan ke arah lain dan berjalan kembali melihat perkebunan teh miliknya.
Meener Cornelis sendiri sudah memiliki istri di Belanda. Tapi istrinya tidak ingin ikut kesini. Kebun teh ini adalah milik orang tuanya. Dia melanjutkan usaha keluarga disini sekitar 3 tahun yang lalu. Saat itu dia sudah menikahi Elizabeth selama satu tahun dan dikaruniai satu orang putra bernama Anthony. Mereka sering berkirim pesan lewat telegram. Sekarang Anthony semakin besar dan tampan mirip dengannya. Untuk memuaskan hasratnya Cornelis melakukannya secara mandiri. Dia tidak ingin mengkhianati Elizabeth wanita yang paling ia cintai. Rencananya dia akan membujuk Elizabeth lagi untuk ke Indonesia tinggal bersama dengannya.
***
Sudah dua minggu lebih Bayu sakit batuk-batuk hingga mengeluarkan darah. Ajeng tak bisa bekerja dengan tenang melihat anaknya sakit-sakitan. Kata orang anaknya sakit TBC. Ajeng tak punya uang untuk berobat. Upahnya hanya 3 sen dan cukup untuk makan saja. Mbok sudah berusaha mengobati Bayu dengan tanaman herbal yang ia racik sendiri tapi tetap saja tidak ada hasilnya. Ajeng resah dan menangis saat memetik daun teh. Dia bingung ingin pinjam uang sama siapa lagi. Apa dia pinjam uang pada mandor Sugeng?
"Ajeng kenapa wadahmu belum penuh juga?! apa yang kamu pikirkan cepat bekerja! " tegur mandor Sugeng garang. Ajeng selalu menolak Sugeng hingga membuat pria itu uring-uringan.
"Maaf mandor" ucap Ajeng sambil memetik daun teh dengan cepat. Sugeng berlalu mengawasi buruh yang lain. Bisa Ajeng lihat Sugeng sedang melecehkan Sulastri kali ini. Sulastri hanya diam saja saat tangan Sugeng merambat ke area bawahnya. Ajeng tidak ingin ikut campur dan mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Setelah selesai memetik daun teh hingga penuh Ajeng dan yang lainnya membawa wadah itu ke pabrik untuk diolah lebih lanjut. Teh itu ditimbang lalu mereka akan mendapatkan upah mereka sebesar 3 sen. Ajeng menatap uang 3 sen itu dengan miris. Dia butuh lebih dari ini untuk anaknya berobat. Ajeng bingung dan berjalan melamun di tengah kebun teh yang sudah terlihat sepi. Hingga tanpa sadar Ajeng menabrak seseorang dihadapannya.
"Ahkk!! " Ajeng hampir terjatuh tapi tubuhnya ditahan oleh orang itu. Ajeng begitu terkejut saat melihat orang yang menolongnya adalah Meneer Cornelis. Harum tubuh Ajeng membuat jiwa kelelakian Cornelis terguncang. Sudah lama dia tidak sedekat ini dengan wanita. Biasanya dia jijik melihat atau berdekatan dengan wanita pribumi. Tapi saat pertama kali melihat Ajeng dia merasa wanita ini berbeda dari mereka. Cornelis mendekap erat tubuh Ajeng dan menghirup wangi rambutnya.
"Maaf tolong lepaskan saya Meneer" pinta Ajeng memohon. Cornelis segera menjauh setelah Ajeng memohon padanya. Dia merasa detak jantungnya berdetak lebih cepat. Nafasnya memburu melihat wanita cantik di hadapannya ini.
"Lain kali hati-hati" hanya itu yang dikatakan oleh Cornelis lalu pergi meninggalkan Ajeng. Di tengah keresahan hatinya, dia tiba-tiba saja berbalik memanggil Meneer Cornelis. Hanya ini satu-satunya jalan agar dia bisa membawa anaknya berobat.
"Meneer tunggu" Ajeng berlari menghampiri Cornelis.
"Ada apa lagi? " tanya Cornelis ketus.
"Maaf Meneer jika saya tidak sopan, apa saya bisa pinjam uang. Anak saya sakit keras dan butuh banyak uang. Saya akan membayarnya dengan memotong gaji saya setiap harinya"
"Berapa yang kau inginkan? apa ini cukup? " Cornelis memberikan kantung uang miliknya pada Ajeng. Ajeng menerima kantung uang itu dengan mata berbinar. Sedangkan Cornelis menatap Ajeng dari atas kebawah. Dia merencanakan sesuatu untuk mengikat Ajeng.
"Ini lebih dari cukup. Tidak perlu sebanyak ini Meneer. Saya butuh beberapa sen saja"
"Ambil semuanya. Besok datang kerumah saya setelah pulang berkebun"ucap Cornelis sebelum pergi. Ajeng sangat senang akhirnya dia bisa mengobati anaknya. Dia kembali pulang dan langsung membawa Bayu berobat ke puskemas desa. Kondisi Bagas sangat parah sehingga harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar di kota. Ajeng segera membawa Bayu kerumah sakit besar ditemani oleh Mbok Darmi dan Sulastri. Tapi di tengah perjalanan Bayu tiba-tiba tidak bergerak lagi.
"Nak... Bayu sayang bangun nak!! tidak jangan tidaakkkk!!! bangun nak!! bangunn!!! " teriak Ajeng histeris sambil menangis. Ia guncang-guncangkan tubuh anaknya yang sudah tidak bernafas itu. Mbok Darmi dan Sulastri hanya bisa menangis melihat Ajeng kehilangan anaknya. Baru kemarin dia ditinggal suami sekarang anaknya juga pergi menyusul.