Kebodohan Rania

1568 Kata
Bibir Bu Narti mencebik, matanya melirik sinis saat melihat Rania yang hampir setiap hari pulang ke rumah membawa barang-barang baru untuk keperluan kamarnya. Rania memutuskan untuk tidak mengganggu kegiatan Bu Narti ataupun merepotkannya. Hampir semua yang dia butuhkan sudah terbeli olehnya, dari kasur busa yang lebih tebal, lemari pakaian berbahan plastik yang baru, alat-alat makan dan minum, pemasak nasi dan dispenser air minum. Kamar Rania juga jauh lebih bersih. Dinding kamar dia alas dengan wallpaper murah dan gampang dibersihkan kembali. Kamar mandi juga tidak berkerak lagi. Bagaimana Rania mau menegur Bu Narti, pernah dia ingin menggunakan mesin cuci yang ada di ruang laundry, lalu menanyakan Bu Narti bagaimana cara menggunakannya, Bu Narti marah-marah dan mewanti-wanti Rania untuk tidak menggunakan mesin cuci tersebut karena khawatir akan rusak. Akhirnya Rania mencuci baju-bajunya dengan tangan dan menjemurnya di depan kamarnya. Mau mencuci di laundry, Rania ragu akan kebersihannya. Rania enggan membayangkan pakaiannya bercampur dengan pakaian orang yang tidak dia kenal. Cukup beresiko, meskipun harganya tidak terlalu mahal. Tidak sampai di situ, Bu Narti juga memarahi Rania menjemur pakaian di luar kamarnya dengan alasan mengganggu keindahan rumah. Padahal Rania menjemurnya di luar kamar yang menghadap ke samping luar dan bukan bagian depan rumah. Rania memutar otak, akhirnya dia memutuskan untuk menjemur pakaian di dalam kamarnya di posisi dekat jendela kamar. Sinar matahari siang cukup panas menembus kamarnya. Lagipula dia tidak lama berada di kamarnya. Hampir seharian dia menghabiskan waktu di luar, mengajar dan mengurus anak-anak jalanan yang membutuhkan bimbingannya. Bu Narti juga melarang Rania meletakkan motor scoopynya di dalam garasi. Padahal Pak Jono menyuruhnya meletakkan motornya di dalam garasi saja, khawatir cat motor akan rusak jika diparkir di luar rumah. Rania pun lagi-lagi menuruti keinginan Bu Narti. Motornya dia parkirkan di bagian depan rumah. Rania enggan berdebat. Dia sebenarnya tahu kedudukan Bu Narti sebagai ART. Tidak seharusnya dia bersikap arogan kepadanya. Tapi Rania malah senang dengan keadaannya sekarang. Hidpnya pun tidak bergantung kepada Bu Narti, karena dia sudah memiliki kehidupan sendiri tanpa mengganggu kegiatan Bu Narti. Dia merasa memiliki kebebasan. "Kalo saya tanya, Mbak. Jawabnya ngajar. Nggak tau ngajarnya di mana..., kalo kata Pak Jono dia tuh ngajar anak-anak kumuh gitu," "Ih. Kok mau ya?" "Orangnya kuno. Masa nggak tau buka kulkas, nggak tau masak di kompor, nggak tau apa-apa. Itu orang udik, Mbak. Aku baru kali ini liat orang yang ketakutan kalo liat barang-barang canggih. Hahaha," "Masa sih?" "Iya. Duh. Pokoknya Mbak Alea mah jauh ke mana-mana dibanding dia. Orangnya dungu, nggak cantik-cantik amat, ndesoooo," Terdengar deheman dari ujung sana. "Hehe. Maaf, Mbak Alea. Maaf kalo saya banding-bandingkan. Maksud saya tuh yah, Mbak Alea nggak tertandingi," Bu Narti memperbaiki letak ponselnya di dekat telinganya. Suatu sore Alea menghubunginya dan menanyakan perihal keberadaan Rania di rumah Alaric selama dirinya berada di Lombok bersama Alaric. "Pokoknya jangan kasih dia pake dapur, Bu Nar. Jangan sampe dia masakin buat Pak Alaric atau buat minuman untuk Pak Alaric. Takutnya guna-guna. Pokoknya jangan kasih kesempatan melayani Pak Alaric," "Tenang, Mbak. Dia nggak bisa make peralatan di rumah ini. Dia aja beli barang-barang sendiri untuk keperluan dia sendiri. Sudah saya larang pake alat-alat rumah. Yah, barang-barang yang dia beli yang nggak canggih gitu. Dispensernya saja yang biasa aja. Di rumahku di kampung mah aku punya tiga," decak Bu Narti sombong. Terdengar tawa ejek dari Alea. "Kok Pak Alaric mau-maunya kawin sama dia," "Yah. Kan Bu Narti tau kalo aku selalu dibenci sama keluarga Pak Alaric. Nah..., itu liat akibat terlalu membenciku kan? Anaknya jadi bingung dan malah menikah sama perempuan kampungan," "Haha. Iya, Mbak Alea. Nggak ngerti cara berpikir orang-orang kaya," "Begitulah. Namanya juga mau mempertahankan harta mati-matian. Hm, nggak akan dibawa mati juga," Bu Narti tersenyum sinis mengamati pintu kamar Rania yang seharian selalu tertutup. "Eh. Kapan Mbak Alea pulang?" tanya Bu Narti tiba-tiba. "Besok, Bu. Sampe di Jakarta sore. Eh, udah dulu ya, Bu. Pak Alaric sudah datang. Ingat pesan aku tadi ya? Tetap kontak-kontak perkembangan Pak Alaric di rumah," "Aman, Bu. Asal, hehe," "Iya. Gampang itu. Bila perlu bulan depan aku naikin upahnya," "Ok, Mbak cantik," Sejak Alaric menikah, Bu Narti mendapat tugas khusus dari Alea, yaitu memata-matai kegiatan Rania di rumah Alaric. Bu Narti juga disuruh mencegah Rania agar tidak berhubungan atau berkomunikasi dengan suaminya sama sekali. Alea masih ingin menguasai Alaric, walaupun dia sebenarnya sudah menikah. Bu Narti pun senang mendapat tugas tersebut, karena upah yang diberikan Alea tidak main-main. Hampir setengah dari gajinya sebagai ART Alaric. Padahal tugasnya pun sangatlah mudah. Bu Narti tentu mau melakukannya. ______ Rania sudah terbiasa dengan kehidupan barunya sekarang. Tinggal di kota besar Jakarta dan hidup dengan status sebagai seorang istri dari pengusaha kaya nan tampan. Ternyata kehidupan orang kaya tidak selalu indah dan bahagia. Justru sebaliknya, ada banyak masalah yang rumit selalu datang silih berganti. Tapi Rania tetap merasa senang dan gembira. Dia menemukan banyak pengalaman hidup baru di Jakarta selama hampir satu minggu ini. Apalagi sekarang Rania sudah tidak perlu khawatir dengan keadaan kamarnya. Kini kamarnya sudah sangat bersih, rapi dan dilengkapi perabotan yang bagus. Rania tidak peduli dengan tatapan sinis Bu Narti. Dia sudah mengerti kapan saja dia menghindar dari tatapan Bu Narti. Biar pikirannya lebih tenang. Dia tidak ingin meresahkan ART Alaric tersebut, juga tidak mau bermasalah dengannya. "Kamu adalah perempuan yang paling bodoh yang pernah aku kenal," ujar Steffie setelah mendengar cerita Rania yang baru saja menikah dengan seorang pengusaha kaya yang sama sekali tidak mencintainya dan memiliki kekasih hati. Rania juga bercerita bahwa sekarang suaminya malah bersenang-senang dengan kekasihnya itu dan tidak mempedulikannya. Rania mengangguk tipis. "Ya. Aku memang bodoh. Bodoh karena mengikuti kata hati saat melihat fotonya," balasnya. Rania mengingat kembali saat-saat Alvaro menunjukkan sebuah foto lelaki tampan yang akan dijodohkan dengannya. Steffie tertawa kecil. "Ganteng, kaya raya, sempurna sih, tapi tegaan," "Yah, bodohnya aku menyukainya...." Steffie mengamati wajah sendu Rania. Dia tidak mengerti dengan keputusan Rania yang mau saja menikah dengan laki-laki tega seperti Alaric. "Tapi aku salut. Dia terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak mencintaimu dan sudah memiliki kekasih. Hm, membingungkan juga posisimu, Ran. Di satu sisi seandainya kamu bisa menaklukkan hati suamimu, kamu bisa jadi perusak hubungannya dengan kekasihnya. Tapi satu sisi kamu malah yang diharapkan keluarganya menjadi penyelamat hidup mereka. Hm," Steffie menggeleng tertawa. "Ah, tapi kamu kan istri sahnya. Hm, kenapa kamu nggak lapor saja ke keluarganya tentang kelakuannya?" Rania menggeleng. "Aku begini saja sudah membuatnya sebal. Bagaimana kalo aku mengadu ke keluarganya? Bisa-bisa dia usir aku, lalu akan ada masalah besar. Aku nggak mau," Steffie berdecak dengan menatap sinis ke wajah Rania. "Sampai kapan begini, Rania? Yakin bisa bertahan selamanya?" Rania menghela napas panjang. Tatapannya menuju ke depan. "Entahlah, Stef. Sejak menikah dan mengamatinya, aku terkadang memiliki keyakinan bahwa suatu saat aku punya kesempatan mendekatinya," "Dan seminggu berlalu sejak menikah. Dia malah berlibur dengan perempuan lain," ujar Steffie bernada geram. "Aku yakin perempuan itu sudah memberikan segalanya kepada Alaric, tubuh dan perasaannya," Rania tersenyum tipis. "Kamu benar-benar bodoh," lirih Steffie. Rania menelan ludahnya kelu. Ucapan Steffie cukup membuatnya gentar dan khawatir. "Sudahlah. Yang penting kamu sehat dan kuat. Hm, nasib kamu masih tidak terlalu berat dibanding dengan nasib-nasib anak-anak kita, ucap Steffie akhirnya. Dia tidak ingin Rania berlarut-larut sedih dengan masalah yang dia hadapi sekarang. Rania tertawa kecil. Steffie benar, kehidupan anak-anak didik mereka jauh lebih keras dibandingkan kehidupannya. *** Alaric menghela lega saat mobil yang dia tumpangi sudah berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Liburan kali ini cukup menguras tenaga dan pikirannya. Ada banyak aktifitas selama liburan yang dia lakukan bersama Alea, tidak hanya kegiatan panas di dalam kamar hotel saja, tapi juga berkeliling kota Lombok. Pikirannya ikut terkuras saat melihat wajah sedih Alea. Beberapa kali Alea tiba-tiba menangis tanpa sebab, lalu merengek menyesalkan statusnya yang hanya sebagai kekasih dan pemuas napsu Alaric. Berulang kali juga Alaric berusaha meyakinkannya bahwa hatinya hanya terpaut dengan sosok Alea dan sama sekali tidak tertarik dengan istrinya. Alaric juga tidak lupa mengingatkan Alea bahwa Rania cukup tahu diri dengan posisinya di dalam kehidupannya. Rania adalah sosok yang tepat menyelamatkan hubungan mereka. Rania pasti tidak akan banyak menuntut. "Dengan menikah saja dia sudah bersyukur. Sebelumnya dia sudah beberapa kali ditinggal menikah..., dia tidak peduli apa itu pernikahan yang sesungguhnya. Baginya yang penting ada seorang pria yang tidak kabur dari pernikahan. Itu saja. Buktinya dia sudah tau aku memilikimu, tapi tetap saja dia mau menikah denganku. Bodoh kan?" Alea terdiam. "Aku lebih bodoh lagi. Membiarkan itu terjadi. Seandainya...." "Anggap saja take and gift. Aku berikan fasilitas hidup seadanya kepadanya, fasilitas yang lebih baik dari pada hidupnya di kampung asalnya, dia beri aku kebebasan untuk tetap mencintaimu dan selalu bersamamu," Alea tatap wajah Alaric. "Waktuku lebih banyak di kantor bersamamu, Sayang. Pulangku pun malam, dan hanya beristirahat beberapa jam," Kata-kata Alaric cukup menenangkan perasaan Alea sebelum Alaric pulang ke rumahnya. Mata Alaric memicing heran saat berada di dalam pekarangan rumahnya. Dilihatnya sebuah motor kecil terparkir di depan rumahnya. "Motor siapa ini, Pak Jono?" tanya Alaric saat satpam rumahnya datang tergopoh-gopoh hendak membantunya membawakan tas-tas besar dari bagasi mobil. "Oh. Motornya Mbak Rania, Pak," jawab Pak Jono dengan posisi membungkuk hormat. Alaric tampak tidak menyukai posisi motor itu. "Kenapa parkir di sini? Suruh dia masukkan dalam garasi. Nggak enak liatnya," decak Alaric sebal. "Sudah saya suruh, Pak. Tapi kata Mbak Rania, Bu Narti nggak bolehin dia masukkan motor ke dalam garasi. Katanya nunggu izin dari Bapak. Makanya dia parkirkan motornya di sini," Alaric terdiam sejenak. "Suruh dia masukkan motornya ke dalam garasi," ulangnya. Kali ini nadanya lumayan melunak. "Baik, Pak." _____
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN