"Bagaimana dia mau menikah dengan Alaric, sementara dia sendiri tidak punya keinginan untuk menikah?" tanya Damian ragu.
"Tenang, Demi. Aku akan bujuk dia," jawab Alvaro dengan gaya khasnya.
"Kamu memanfaatkan kesedihannya," lirih Damian.
"Kenapa tidak? Alaric semakin lama semakin tidak bisa kamu kontrol lagi kan?"
Damian menghela napas panjang.
"Dia gadis yang sangat sabar, terlepas kekecewaannya terhadap laki-laki. Aku akan atur semuanya, aku yakinkan dia supaya bisa segera menikah dengan Alaric. Tugasmu menekan Alaric," atur Alvaro dengan sikap tenangnya. Dia juga sangat gerah dengan sikap Alaric yang keras kepala dan sangat sulit diarahkan. Hanya satu saja kelebihan anak sahabatnya itu, dia bisa bekerja dengan baik di perusahaan milik keluarganya.
"Aku bisa melihat jejakmu dan Mala di dalam diri Alaric. Alaric yang susah ke lain hati, seperti kamu dulu yang susah move on dari Kathleen. Alaric yang sepertinya tidak peduli bahwa dia mencintai orang yang salah, seperti istrimu dulu yang pernah mati-matian mencintai Agung,"
"Jadi percuma saja dia dinikah paksa,"
"Kamu nggak pernah berubah. Pasrah dengan keadaan. Sudah kubilang, paksa dia, ancam dia dengan power yang kamu punya,"
Damian lagi-lagi menghela napas panjang. Alaric adalah harapan satu-satunya yang akan memiliki sekaligus memimpin semua bisnis usaha yang dia punya. Nevan, kakak Alaric, tidak memiliki kemampuan itu. Nevan berprofesi sebagai dokter dan tentu akan kesulitan jika dia dipercayai mengelola seluruh perusahaannya. Sementara Alaric, belum selesai kuliah saja sudah bisa mengatur waktunya mengelola perusahaan-perusahaan keluarganya.
Damian tatap wajah Alvaro dengan seksama, berusaha meyakinkan dirinya bahwa kali ini dia tidak akan salah langkah. Saran dan pendapat Alvaro selama ini tidak pernah meleset dan selalu menguntungkan dirinya.
"Kamu harus kuat. Seandainya ada hal yang tidak diharapkan, kita bisa cari sosok yang lebih pantas dari Alaric untuk mengurus harta-hartamu," ujar Alvaro. Dia tahu apa yang sedang Damian khawatirkan, yakni penolakan dari Alaric akan perjodohan, lalu harus ke luar dari trah keluarga. Damian tidak sanggup membayangkannya. Dalam hati kecilnya, dia sangat menyayangi putra keduanya tersebut.
***
"Kamu terima perjodohan itu, Ran?" tanya Greta dengan raut wajah kecewa. Sahabat Rania itu menggeleng tak percaya saat mendengar keputusan Rania yang akhirnya menerima tawaran papanya, Alvaro, untuk dijodohkan dengan seorang pria yang menurutnya kurang pantas berdampingan dengan gadis secantik dan sebaik Rania.
Sambil memperbaiki jilbabnya Rania mengangguk.
"Alaric itu sudah mempunyai kekasih. Mereka sudah lama sekali pacaran," ungkap Greta dengan sorot mata tajam.
"Aku tau. Alea namanya kan? Om Alvaro sudah menjelaskannya,"
Greta tertawa sinis. Dia sama sekali tidak menyetujui sahabatnya dijodohkan dengan Alaric, anak dari teman dekat papanya. Greta sangat mengenal Alaric dan cerita-cerita tentangnya dalam keluarganya. Sejak mengenal dekat Alea, teman sekolahnya, sikap Alaric sangat jauh berubah. Sebelumnya dia dikenal sangat dekat dengan maminya. Sejak berpacaran dengan Alea, Alaric malah kerap melawan mamipapinya. Alaric juga acuh tak acuh dengan keluarganya. Dia hanya mempedulikan Alea dan kebahagiaan Alea.
"Kamu nekad, Ran," decak Greta pelan.
Rania menghela napas pendek. Terlintas di benaknya akan pertemuannya dengan Alvaro dua hari lalu. Alvaro menunjukkan sebuah foto laki-laki bernama Alaric lewat ponsel. Rania langsung terbius dengan penampakan Alaric. Wajahnya tampan dengan rahang yang kokoh, tubuhnya tinggi atletis, rambutnya ikal kecoklatan, serta kulit tubuh yang sangat bersih terawat. Dari segi penampilan, Alaric jauh lebih sempurna dibanding Dito dan Yudi dan pria-pria yang pernah ingin mendekatinya. Dari segi materi, Alaric jauh lebih kaya. Alaric terlalu sempurna jika dibandingkan dari pria-pria yang pernah mengecewakannya.
Rania tidak menampik, dia menyukai sosok Alaric. Dia memutuskan menerima saran Alvaro untuk bersedia dijodohkan dengan laki-laki tersebut, meskipun Alaric sudah punya kekasih.
"Aku sangat mengenal Alaric. Laki-laki yang pikirannya hanya Alea. Aku nggak sanggup membayangkan kamu hidup bersamanya jika jadi menikah dengannya," ujar Greta.
"Aku nggak peduli seandainya aku hanya sampah, Gre," lirih Rania. Dia mengingat kembali sosok Alea yang diperkenalkan Alvaro lewat sebuah foto. Alea sangat cantik dan berkelas. Dia sudah bisa membayangkan betapa berat rumah tangganya kelak. Namun dia yakin bisa melewatinya.
"Rani...." Greta tatap wajah cantik Rania. Gadis yang sudah melewati kisah percintaan yang sangat berat.
"Kamu harus hargai hidup dan diri kamu..." ucap Greta. Ada nada putus asa yang dia dengar dari perkataan Rania barusan. Dan dia tidak menyukainya. "Kamu berhak menolak tawaran papaku. Menikah dengan pria yang jelas-jelas tidak mencintai kamu? Ah, aku nggak habis pikir," ujar Greta kecewa. Dia yakin Rania pasti akan jadi bulan-bulanan Alea. Dia sangat memahami watak Alea.
Rania tatap wajah Greta sambil menghela napas. Greta dan papanya memang kerap berselisih paham. Hingga Greta sendiri memutuskan tinggal dan kuliah di Bandung. Rania tidak heran dengan sikap Greta yang bertolak belakang dari sikap dan kemauan papanya mengenai rencana pernikahannya dengan laki-laki yang bernama Alaric.
"Setidaknya aku akan menghargainya, jika dia tidak kabur dari pernikahan," ucap Rania dengan nada datar dan pasrah. Sudah dua pria yang mengecewakannya dengan cara yang sangat tidak sopan; Yudi yang menikah dengan perempuan lain pada saat masih bertunangan dengannya dan Dito yang hilang tanpa kabar tepat di hari pernikahan.
Greta terdiam. Baginya Rania masih punya kesempatan menolak tawaran perjodohan ini. Dia yakin pasti hidup Rania akan jauh lebih sengsara, hidup dengan sosok dingin Alaric.
Tiba-tiba wajah Greta berubah serius. Dia amati wajah Rania lamat-lamat.
"Kamu ... menyukainya?" tanyanya hati-hati.
Rania balas tatapan Greta. "Ya," jawabnya pelan.
"Rania...."
Rania lalu tertunduk dengan senyum tipis.
Greta tatap wajah Rania lebih seksama. Dia belum mempercayai perasaan yang Rania ungkapkan barusan. Setelah ditinggal menikah Dito, Rania belum sanggup membuka hatinya terhadap laki-laki manapun.
"Makanya aku terima perjodohan itu. Karena aku menyukainya,"
"Hidup kamu pasti akan berat,"
Rania menghela napas panjang. Tatapannya tegap ke depan.
"Aku tau. Hm, entahlah. Aku pikir Alaric yang terbaik kali ini, jika dia akhirnya mau menikah denganku,"
Greta merapatkan bibirnya. Raut wajahnya sedikit berubah seolah ada yang terlintas di benaknya.
"Aku yakin Alaric ingin mempertahankan haknya mati-matian demi Alea. Hingga dia mau dijodohkan," gumam Greta pelan. Dia akhirnya berpendapat bahwa Alaric sebenarnya cukup menyadari Alea yang sangat matrealistis. Tapi dia sudah terlanjur terikat dengan perasaan cinta yang mendalam terhadap diri Alea, sehingga dia tidak sanggup melepasnya dan mau melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhan Alea.
"Jika tak berjodoh, tak masalah bagiku, juga keluargaku. Toh mereka yang menginginkannya,"
"Rania...."
"Yah, aku sudah menanggapi permintaan mereka. Mamaku sempat ragu, tapi pada akhirnya dia serahkan kepadaku," ucap Rania. Dia juga sudah mengungkapkan perasaannya kepada mamanya bahwa dia menyukai Alaric meskipun belum bertemu.
***