UVA-B

2562 Kata
"Ah ini lu berdua, pada main-main ya? Gak baik tauuuk!" seru Haura. Gadis itu memberikan protes yang paling keras gara-gara mendengar rencana Rissa dan Khanza yang menurutnya konyol. Masa mau ke Singapore, harus memakai cadar segala? Memangnya mau ke Arab? "Justru ituuu," sahut Rissa. Sejujurnya kali ini mereka berkumpul di kos Rissa usai ujian akhir semester. Akhirnya selesai juga semester ini. "Kita kan gak pernah ke luar negeri sebelumnya. Kan takut gitu digangguin. Biar aman nih giniiii," semprotnya sambil memasang cadarnya lantas mengedip-ngedipkan mata dengan genit. Haura menggeleng-gelengkan kepala. Menurutnya, Rissa tak cocok jadi cewek centil. Auranya saja jauh dari itu. Mau berlagak sok manja juga gak bisa. Hadeh-hadeh! Khanza? Gadis itu tak perduli dengan segala adu bacot kedua temannya. Ia malah sibuk membaca buku Aku Tersentuh Cinta. Ia sampai menabung dari uang jajannya demi membeli buku tebal ini. "Woi-woi! Ini rumah orang!" sergah Aira yang baru saja datang. Biasa, ia sibuk, namanya juga anak kuliahan. Entah sibuk apa, hanya Aira juga yang tahu. "Niih! Gue bawa seblak niih!" serunya. "Yang dekat stasiun?" tanya Haura. Matanya langsung memandang sangsi. "Iya lah. Yang mana lagi?" sahut Aira. Ia malah tampak semangat mengambil mangkuk dari rak milik Rissa. Lalu bersiap-siap menuangkan seblaknya yang masih panas. "Iih itu kan yang galon airnya berlumut!" seru Rissa. Ia teringat kejadian tak menyenangkan saat membeli seblak di sana bersama Haura. Makanya Haura memandangnya dengan sangsi. Pasalnya, mereka juga melihat lumut-lumut yang menempel di galon. Entah di dalam galon atau di luar galonnya, mereka bahkan tak bisa lagi membedakannya. Aira yang baru saja membuka mulut langsung mengerucutkan bibirnya. Ini sih namanya membuat hati down. "Gue aja traumaaa ih! Gak mau beli lagi di situ. Syukur-syukur gak sakit perut abis itu!" Khanza hanya bisa menggelengkan kepala dengan mata yang masih fokus dengan bacaannya. Sudah tahu berlumut tapi masih dimakan juga. Yaa ia juga begitu sih. Soalnya kan sudah terlanjur memesan. Sayang juga kalau dibuangkan? Nanti disumpahi makanan loh kalau buang-buang makanan begitu. Eh itu mitos bukan sih? "Gak denger! Gak denger! Gak denger! Bodo amat! Bodo amat! Bodo amat!" tuturnya pada diri sendiri. Aira tetap melahap seblaknya meski sendirian. Haura masih melirik. Pandangan sangsi itu sejujurnya menunjukan reaksi lain. Apa? Ia juga ingin mencoba seblak itu meski hanya sedikit. Hihihi. "Tadi dimasak Abangnya sampe mendidih gitu gak?" "Iya laaah! Lu kira gue pesen seblak mentah?!" sewotnya. Aira masih berupaya menghilangkan pikiran tentang lumut-lumut pada galon airnya sambil menelan seblak itu hingga berhasil masuk ke dalam perut. Ini adalah perjuangan yang sangat luar biasa. Sialnya, teman-temannya harus mengungkit ini disaat ia sedang lapar sekali dan harus mengirit? Tanggal satu kan masih lama. Eeh tak ada hubungannya juga. Ia akan pulang ke Padang dalam waktu dekat jadi harus menyisakan uang untuk transportasi pulang bukan? Meski tiket pesawat sudah dibeli. Khanza terkekeh kecil mendengar kata seblak mentah. Sejujurnya, konsentrasinya sudah buyar. Yeah, apa sih yang ia harapkan ketika berkumpul bersama seperti ini. Syukur-syukur hari ini tak menggibahi orang. Eeh tapi sepertinya mereka jarang menghibahi orang deh. "Kalo dimasak sampe mendidih, bakteri-bakterinya dipastikan sudah mati. Lu inget kan mata kuliah Keamanan Pangan sama ibu--" "Bodo amat!" seru Aira. Ia tak mau mendengar bacotan Hauran. Gadis itu nyengir sementara dua temannya sudah terbahak. Aira sudah jengkel setengah mati karena acara makan seblaknya jadi tak nikmat gara-gara galon berlumut dan apalagi ini....haah. Sudah lah sudah. Makan saja, Aira! Fokus! Fokus! "Nyicip siih!" Akhirnya terbongkar juga niat aslinya. Aira menoyor kepalanya. Dasar Haura! "Sayang tahu ih. Semenjak kejadian itu, gue bener-bener gak beli seblak di sana lagi. Takut menyesal karena beli. Takut menyesal juga kalau udah beli tapi gak jadi dimakan. Naaah! Berhubung lo yang beli nih, Ai--" "Bodo amat! Kalo mau nyicip-nyicip aja gak usah banyak bacot!" Khanza dan Rissa hanya bisa terpingkal menyimak keduanya. Sudah biasa. Keduanya sering beradu argumen begitu. Di antara para sahabat yang ada, pasti ada yang sangat bawel kan? Nah begitu lah kira-kira. "Iiih! Ini pada mau nyari Fahri di Singapore?" seru Aira. Usai mengosongkan mangkok seblaknya dan mendengar cerita singkat dari Haura tentang rencana Khanza dan Rissa yang hendak mengenakan cadar saat berangkat ke luar negeri. Eeh ia malah meledeknya. Tentu saja bertos ria dengan Haura. Dasar asem! Harusnya kalau melihat ada teman yang insyaf seperti ini, didukung kan ya? "Iyee emang! Udah capek kuliah gue. Mau nikah aja!" seru Rissa yang disambut tawa. Memangnya ada yang percaya? Yaaa bisa jadi. Hahaha. Tapi sudah banyak kok cewek yang berbicara seperti ini. Kalau sudah lelah akan sesuatu pasti inginnya menikah bukan? Padahal menikah sendiri bukan lah solusi. Menikah justru bisa dibilang, menambah beban permasalahan baru. Kenapa bisa disebut demikian? Karena masalah tidak lagi datang dari satu orang melainkan dari dua orang. Kalau ada anak, ada masalah lagi yang akan datang dari anaknya. Tapi jangan menyebut masalah itu sebagai musibah. Karena sebetulnya, di dalam hidup manusia memang akan selalu ada masalah. Nah, di dalam pernikahan, masalah yang datang akan lebih dari satu orang. Tapi kan di dalam pernikahan itu, tidak hanya ada satu orang melainkan dua kepala bahkan lebih. Jadi permasalahannya meski lebih banyak, tapi akan ada banyak kepala juga yang akan menyelesaikan masalah-masalah itu bersama. Jadi bisa dibilang, harusnya lebih cepat selesai. Dibandingkan hanya menyelesaikan masalah sendirian. Meski kenyataannya tak begitu. Banyak yang akhirnya memilih berpisah sebagai alasan penyelesaian permasalahan. Mungkin ada yang benar-benar menjadi solusi tapi ada juga yang tidak. Karena bisa jadi, egosentrisme masing-masing orang masih kian tinggi. Karena bagaimana pun menikah itu juga persoalan visi dan misi. Kalau kedua hal itu sudah berbeda, mau dibawa ke mana arah pernikahan itu? @@@ Satu bulan kemudian, menjelang keberangkatan. "Gue nginep di kos lo aja deh. Lebih enak kalo mau ke luar abis Subuh. Di kos gue kan ada ibu kos." "Yeee datang aja lah. Paling besok gue ke kos. Lo jam berapa mau datang?" "Malem?" "Oke." Khanza menutup telepon. Ia bergerak memberesi barang-barangnya. Tidak banyak. Karena ia adalah seorang Khanza yang minimalis. Yang perlu diisi hanya tas besarnya dengan baju-baju gamis yang sudah ia siapkan. Aaah ia baru ingat sesuatu. Ia segera keluar dari kamar lalu menuruni tangga dengan cepat. "Maaaaa! Khanza mau pinjem bajuuu!" teriaknya. Meminjam baju ibunya adalah sebuah keharusan. Selama masih bisa meminjam, kenapa harus membeli? Hihihi. Prinsip hemat pangkal kaya agaknya berlaku. Meski ini hanya berlaku untuk pakaian dan tidak berlaku untuk hal lain seperti jajan cemilan? Aaah. Sulit berhemat untuk yang satu itu. Ia bahkan sudah merencanakan untuk membeli banyak cemilan di Singapore dan Malaysia nanti. Ia melihat banyak jajanan yang tidak ada di Indonesia. Es krim milo saja tidak ada kan di sini? Eeh atau ia yang kurang jauh mainnya? Tapi setahunya tak ada. Barang yang satu itu agak langka. Ia kembali naik ke atas usai mengambil baju ibunya. Kemudian melipatnya dengan rapi. Tak lupa beberapa cadar yang ia sembunyikan di rak paling bawah. Ia sebetulnya punya niat untuk memakai cadar tapi entah kenapa, ia begitu yakin kalau orangtuanya tak akan setuju. Stigma gadis bercadar itu masih kuat di lingkungan rumahnya. Padahal justru menutup diri itu tidak berdampak negatif. Justru melindungi. Namun karena isu-isu yang di-booming-kan oleh banyak media massa membuatnya menjadi negatif, akhirnya itu juga menjadi negatif di banyak kalangan. Dibilang teroris, konservatif hingga radikal. Mengerikan? Ya. Padahal cadar itu sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Coba saja pikir kan, memangnya cadar bisa apa? Hanya selembar kain begitu, bahkan tak punya nyawa. Tapi hebatnya, dengan memakainya, banyak yang ketakutan. Sungguh aneh bin nyata. Tapi keren juga ya? Karena ia bahkan punya efek yang luar biasa meski tak bergerak. Usai membereskan baju-bajunya, ia melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ibunya menyarankan untuk bertemu dengan saudara mereka yang ada di Malaysia. Tapi ia belum memikirkan itu. Rasanya mungkin akan ganjil kalau tiba-tiba bertemu mengingat rasa-rasanya ia juga tak begitu mengenal mereka. Ia baru saja mau memejamkan mata saat.... Zaaaaa si itu minta nomor lu apa-apa gak? Keningnya mengerut. Mendadak lupa saking banyaknya urusan. Eeh enggak deng. Ia hanya sibuk mengurus perjalanan perdana ini. Ada rasa haru tapi juga menyenangkan karena bisa berangkat ke luar negeri dengan uang tabungan. Lumayan kan? Hihihi. Si itu siapa? Fajaar yang waktu itu mau dikenalin ke elo. Kan lo yang mau taa'arufan. Aaah. Khanza menepuk-nepuk kening. Ia benar-benar hampir lupa saking lamanya mendapat kabar. Ia segera mengiyakan pesan dari sahabatnya itu. Kemudian kembali memejamkan mata. Sebetulnya, ia benar-benar niat untuk menikah gak yaa? Yaa niat sih. Memang sih. Tapi...terasa masih seperti mimpi saja. Maksudnya, selama ini ia kan hidup sebagai anak tunggal. Apa-apa pasti diperhatikan oleh orangtuanya. Ketika datang usianya untuk menikah, ia juga mulai memikirkannya. Maksudnya, ia juga sama seperti gadis-gadis lain. Meski mungkin ada juga yang tak berniat menikah dalam usia semuda ini. "Kapan berangkatnya? Katanya mau berangkat. Mama kira udah berangkat dari semalam." Itu sapaan pagi dari Mamanya. Perempuan itu sudah rapi dengan seragam cokelat ala pegawai negeri sipil. Bapaknya tampak duduk di kursi ruang tamu, hanya melirik sekilas ke arah tangga di mana Khanza baru turun dan masih berbaju tidur. Ia bahkan baru saja selesai menguap. Matanya masih mengantuk. Semalam memikirkan banyak hal tentang hidup yang ingin ia seriusi ke depannya. Hingga membuatnya tak kunjung tidur seperti ini. "Astagfirullah, Ma. Khanza semalam masih tidur di atas. Masa gak tahu anaknya ada di atas?" sungutnya. Meski ia sering kelayapan, maksudnya pulang ke kosnya yang ada di Depok dan terkadang lupa meminta izin yaaa maklumkan saja. Ayah dan ibunya kan guru yaa di sekolah. Jadi sibuk bekerja. Kalau mau keluar di siang hari, tak ada satu pun yang di rumah. Bahkan sekarang mereka sudah rapi. Sudah siap-siap berangkat. "Ya kan kamu jarang di rumah. Kelayapan mulu dari pagi. Udah ah, Mama sama Bapak berangkat dulu," pamitnya. Khanza berdeham. Ia berjalan menuju meja makan. Perutnya lapar. Semalam lupa makan. Padahal biasanya tak pernah absen kalau sedang di rumah. Maklum lah, kalau di kos kan terkadang malas makan. Bukan karena mau mengirit. Tapi karena malas keluar. Itu memang gaya dari kebanyakan anak kosan. Ia mengunci pintu rumah saat kedua orangtuanya sudah berangkat. Ia berencana akan berangkat usai Ashar nanti ke Depok. Toh sudah janji dengan Rissa akan bertemu di kosannya saat malam. Kosnya pasti sepi di bulan-bulan begini. Kan masih libur kuliah. Anak-anak kosannya juga masih banyak yang di kampung halaman. Ada beberapa yang tinggal di kosan, biasanya itu adalah mereka yang sibuk berorganisasi. "Mie aja lah," tuturnya. Berhubung tak ada lauk lagi. Mamanya benar-benar mengira ia tak di rumah. Mentang-mentang tak ada tanda-tanda kehidupan di lantai atas. Di lantai atas memang hanya ada kamarnya dan kamar mandi. Ia memasak mie dengan khusyuk. Menikmati hari sebelum keberangkatan besok pagi ke Singapore. Ia agak gugup sebetulnya. Bahkan Rissa juga bilang kalau sulit tidur. Padahal ini hanya Singapore loh. Bagaimana kalau mereka berangkat ke Amerika? Ke Eropa? Bisa insomnia sebelum berangkat dan ada kemungkinan teler saat di perjalanan. Ckckck! Pikiran lebay-nya mulai melayang jauh. Usai makan mie ditambah telur dan sosis, ia mengeluarkan suara dari mulutnya. Eeh dari tenggorokan? Aah sejenis itu lah. Tahu suara sendawa? Ya itu lah yang keluar. Tapi hal itu tak penting. Yang penting sekarang adalah melanjutkan tidur yang tertunda karena perut lapar. Hahaha. @@@ "Gue di depan pagar niih. Ooi! Buruan turuuun!" Berisik amat, dumelnya. Tapi hanya dalam hati. Alih-alih meladeni Rissa, ia malah mematikan ponselnya. "Astaga-dragon, nih orang ditelpon malah dimatiin!" dumel Rissa. Ia tak mendengar suara langkah kaki dari belakangnya. Khanza menggelengkan kepalanya sedikit lalu berdeham. "Awas-awas, minggir. Mau buka pintu!" sergahnya. Rissa berdesis. Ia masih belum menyadari kalau orang di belakangnya adalah Khanza. Saat hendak membungkuk untuk meminta maaf karena merasa sudah menghalangi jalan orang lain, ia melotot. Khanza hanya menggelengkan kepala. Masa tak hapal suaranya dan juga cara jalannya? Ia kan unik. Tidak ada satu perempuan pun lagi yang sepertinya. Coba cari. Pasti susah! "Lama aamaaat! Janji abis Ashar udah jalan dari Jakarta." "Yaa kan emang abis Ashaar!" sahutnya santai. Ia membuka pintu pagarnya. "Abis Ashar lo itu jam berapa sih?" dongkolnya. Ia sudah menunggu di kosan berjam-jam demi perjalanan singkat ini. Dari Stasiun Universitas ke Indonesia ke daerah Pondok Cina itu kan tak begitu jauh ya? Tapi persiapan yang dilakukan Rissa jauh lebih lama dibandingkan waktu tempuhnya. Eeeh si anak Padang yang lama tinggal di Jakarta ini baru berangkat jam lima sore. Itu memang abis Ashar sih. Tak salah memang. Yaaa Rissa lupa kalau Khanza ini orang Indonesia. Hahaha. "Kan gue udah bilang, beda waktu, coy. Waktu Jakarta sama Depok itu bedaa!" "Serah lu dah seraaaah!" Rissa menyerah. Khanza terkikik-kikik sambil mengunci gembok pagar kosnya. Lalu memimpin jalan menuju tangga, menuju lantai dua. Tangga ini berada di samping gedung kos, letaknya bukan di dalam kos melainkan di luar kos. Ada banyak kamar di gedung kos dua lantai ini. Lumayan luas juga. Kebetulan Khanza memilih satu kamar khusus untuk sendiri. Ia tak begitu nyaman jika harus satu kos dengan orang lain. "Gak ada yang ketinggalan kan? Body lotion dan perangkat cewek lainnya?" tanya Khanza. Ia hanya memastikan. Rissa mengangguk-angguk. Meski untuk ke sekian kalinya, ia kembali memeriksa isi barangnya. Ukuran tas ranselnya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan milik Khanza. Tapi cukup banyak menampung barang. Kalau dilihat sekilas, bisa dibilang, ia membawa barang lebih banyak dari Khanza. Maklum lah. Keduanya memang sama-sama minimalis tapi berbeda aliran. Kadang Rissa sulit melepaskan dari keribetan banyak hal seperti make up atau barang-barang lucu lain yang sengaja dibawanya. Ia memang unik dengan caranya sendiri. Jadi biar kan saja lah. Orang-orang seperti Khanza justru bersyukur adanya tipe orang yang seperti ini. Hihihi. "Gue lihat di internet, cuaca di Singapore dan Malaysia sedang cerah berbinar. Bisa dipastikan, kita bakalan kepanasan banget. Tapi berkat cadar-cadar ini, gue yakin tidak akan menambah kehitaman pada kulit kita." "Tapi sinar UVA sama UVB-nya ada kemungkinan tetep bisa menembus." Mata Rissa mengerjab-erjab. Ia tak salah dengar bukan? Atau ia barusan mimpi? Hahaha! Tumben cewek yang satu ini tahu hal semacam itu. Eeh cewek? "Lo tahu itu sinar apaan?" "Ya tahu lah. Itu kan sinar-sinar UV yang bersumber dari matahari. Pada dasarnya, sinar UV dibutuhkan oleh tubuh untuk memproduksi vitamin D. Vitamin ini berfungsi untuk meningkatkan kekuatan tulang dan gigi, serta membantu penyerapan kalsium dalam tubuh. Tapi, sinar UV hanya akan bermanfaat bagi tubuh selama diperoleh dalam jumlah yang cukup. Jika berlebihan, sinar UV justru akan merusak jaringan tubuh, bahkan meningkatkan risiko terjadinya penyakit tertentu. Sinar-sinar itu bahkan dapat berdampak negatif pada kesehatan. Sinar UVA bisa menyebabkan penuaan kulit, kanker kulit, bintik-bintik usia, alergi kulit kronis, dan yang paling fatal, kerusakan pada DNA. Sementara paparan sinar UVB memicu sensasi perih terbakar pada kulit. Sinar inilah yang menciptakan efek belang sekaligus gelap di kulit kita. Begituuu!" jelasnya. Rissa melongo. "Itu baca?" "Tadi gue hapalin di kereta--ya kagak laaah!" Rissa terbahak. Lalu gadis itu geleng-geleng kepala. Menurutnya ini lucu. "Akhirnya lu tahu juga tentang hal-hal semacam itu. Biasanya yang tahu yang kayak gitu itu cewek." Khanza melotot mendengar kata-katanya. Sedangkan Rissa sudah terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. "Lu kira gue selama ini apaan?" Rissa tak mampu menjawabnya. Bukan karena takut tapi karena terlalu lucu. Ia bahkan tak bisa menghentikan tawanya. Matanya sampai berair dan wajahnya memerah. Sementara Khanza masih bersungut-sungut. Biar lagaknya tomboy, sesungguhnya hatinya lembut seperti kebanyakan perempuan. Ia memang terlihat dingin bagi orang asing yang belum mengenalnya. Namun bisa lebih ramah jika sudah lama mengenalnya. Ini hanya persoalan waktu dalam mengenal seseorang. Meski waktu juga tak bisa dijadikan patokan apakah seseorang itu sudah benar-benar kita kenal. Sekalipun lama sekali hidup dengannya. Biar cara jalannya agak-agak lebar di bagian langkah kaki, bisa dicek dengan murni kalau ia benar-benar cewek kok. Mau bukti? Hihihi. Ia gak punya jakun kok. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN