Nikah Lagi

1580 Kata
"Lo serius?" Khanza berdeham. Sejak kapan ia tidak serius? Hidupnya lurus-lurus aja selama ini. Segala macam diseriusi. Ketika akhirnya ingin melanjutkan kuliah di UI saja, ia sangat serius belajar agar lolos dan masuk ke sana. Itu berkat keseriusannya dalam menyongsong hidup. Baginya hal-hal semacam itu patut diperjuangkan dengan serius. Apalagi urusan pernikahan. Ketika ia berbicara tentang hal ini dengan teman-temannya, mungkin mereka berpikir jika ia tak serius-serius amat menilik mereka memang masih kuliah. Tapi baginya, sebuah pernikahan itu tidak ada korelasinya dengan statusnya sebagai mahasiswa. Dan tentang alasannya ingin menikah? Menikah itu kan ibadah. Ia pernah mendengar bahwa dengan menikah, maka ia bisa menyempurnakan ibadah-ibadah yang tadinya tidak bisa ia lakukan karena tidak ada pasangan, menjadi bisa. Ibadah apa saja? Tentu saja ibadah suami istri. Bahkan ia tekun sekali membekali diri dengan ilmu-ilmu pernikahan dari pengalaman mengurus pernikahan sahabat-sahabatnya atau pun sepupu-sepupunya. "Dia sih serius, Za. Malahan nih, gue justru mempertanyakan keseriusan lo. Lo kan masih kuliah nih." Khanza berdeham. "Ya, gue gak akan minta sama lo lah kalo gue cuma bercanda-canda begitu." Sahabatnya berdeham di seberang sana. "Pacar lo?" "Gak ada lah, May. Udah masa lalu juga. Mending melihat ke depan." Sahabatnya mengangguk-angguk di seberang sana. "Oke, mau ya berarti?" Khanza berdeham. Ia sangat serius dengan urusan ini. "Kalo gitu, coba deh bikin CV ta'aruf gitu. Ntar kalo cocok, bisa tukeran." "Oke," tuturnya lantas baru saja mematikan teleponnya. "Khanzaaaaaa!" "Iyaaaaa!" ia menjawab dari lantai atas di mana kamarnya berada. "Bantuiiiiin!" Ia menghela nafas nafas. Kemudian mengambil kerudung dan bersegera turun ke lantai bawah. Rumah tampak sepi karena kedua orangtuanya bekerja di sekolah. Hari ini bukan hari libur dan tumben....sepupunya ada di rumah di jam segini. Satu jam kemudian ada pesan masuk dari Aira. Biasa, gadis itu mengabarkan kalau ia menemukan menu baru di KFC di daerah Jakarta Selatan. Buruaaan. Ketemu di Sudirman pokoknya! Ia berdesis. Dengan tergesa-gesa ia kembali masuk ke rumahnya yang tepat bersebelahan dengan rumah sepupunya. Kemudian bersiap-siap seadanya, khasnya. Tidak perlu dandan bagi seorang Khanza. Ia cukup membubuhi bedak tipis dan lipstik lalu bersegera berangkat dengan naik ojek online ke Stasiun Kelender Baru. Ini seriusan pada hobi banget mendadak gini Itu pesan omelan dari Haura. Gadis itu sibuk. Katanya tak bisa bergabung. Jadi Rissa dan Tari sudah berangkat duluan dengan naik commuterline sampai Stasiun Sudirman. Rencana jalan kali ini hanya mengejar menu baru KFC. Ini lah cara bahagia mereka yang sederhana. Hanya dengan mengejar menu baru bagai dapat gebetan baru. Hihihi. Ma, Khanza berangkat dulu. Mungkin nanti pulang ke kos, gak ke rumah. Itu pesan pamitan. Saat ia berangkat tadi, kedua orangtuanya belum pulang. Dan lagi, rencanannya ia akan pulang ke kosan saja dari pada ke rumah. Toh ada Aira yang akan menemani perjalanannya. Za, heh! Mana CV lo? Khanza menepuk keningnya. Ia sedang berdiri di dalam commuterline sembari berpegangan. Takut oleng. Kemudian mencari file-file penting yang ada diponselnya dan segera mengirimnya pada Maya. Ia tak punya kriteria yang terlalu khusus sih untuk persoalan jodoh ini. Ya standar usia, pasti pengennya yang lebih tua dibandingkan dengannya. Di atas lima tahun juga boleh. Kenapa? Ya, menurutnya lelaki diseumuran segitu ya sudah pasti matang pola pikirnya. Karena menikah bukan sekedar akad lalu resepsi dan selesai kan? Perjalanan pernikahan lebih panjang dibandingkan dengan hari persiapan dan resepsinya. Iya kan? Kalau agama itu sudah pasti. Baginya yaa seorang lelaki itu adalah lelaki yang bisa membimbingnya untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Ia sadar betul jika ia masih belum terlalu paham dan menerapkan dengan baik ajaran agama yang ia anut sejak lahir ke bumi ini. Maka itu, ia membutuhkan lelaki yang bisa membimbingnya. Dan disamping itu, ia tentunya harus bercermin diri. Karena jodoh adalah cerminan. Maka ketika ia menginginkan seseorang yang seperti iru, maka setidaknya ia harus menempatkan diri sebagai seseorang yang mau belajar. Iya kan? Kalau kemapaman? Ia tak mematok apakah calonnya harus punya rumah, kendaraan mewah dan segala macamnya. Yang penting sih bertanggung jawab. Sesimpel itu. @@@ "Seriusan lo?" Rissa bertanya dengan mengedip-edip. Ia masih tak terlalu menanggapi obrolan tentang pernikahan oleh Khanza itu secara serius. Karena.......ia pikir mereka perlu fokus pada kuliah. "Baru mau dikenalin gitu sih," ceritanya. "Orang Jakarta juga?" "Sunda." "Ya kerjanya di Jakarta gitu?" Khanza mengangguk. Ketiganya masih berada di dalam mobil ojek online. Perjalanan absurd ini sesungguhnya diinisiasi oleh Khanza yang mengabarkan kalau ada menu baru di KFC. Sebagai pengagum KFC, Rissa tentu setuju. Tapi yang mencari informasi lengkapnya malah Aira. Gadis itu hanya bosan kalau tidak keluar untuk berjalan-jalan disaat libur kuliah ini. Ya bukan libur melainkan tidak ada jadwal kuliah. "Udah umur berapa itu?" "Beda enam tahunan kali ya sama kita," tuturnya sembari mengingat-ingat. Maya pernah bilang sih tahun kelahirannya sebelum akhirnya memutuskan untuk iya atas ajakan tukeran CV ta'aruf. "Terus?" tanya Rissa. Gadis itu tak perduli-perduli amat karena menganggap ini bukan lah hal yang serius. Mungkin karena memang berbeda pikiran dengan Khanza. Kalau Aira? Masih belum terpikir ke arah sana. Ia juga harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan kuliahnya. "Ya baru gitu aja sih. Dia kayaknya tertarik sama gue." "Lo juga?" tanya Aira. Berbeda dengan Rissa, gadis ini lebih kepo. Kadang jadi juragan gosip juga sih. Asal bukan rentenir gosip saja. Dengan mantap Khanza mengangguk. Ya kalau tidak ada rasa tertarik, mana mungkin ia mau melanjutkan? "Lo, Ris?" "Apanya yang gue?" Rissa kaget ditanya begitu. Kedua sahabatnya malah tertawa melihat reaksinya yang agak berlebihan itu. Mana ponselnya pakek jatuh ke kaki pula. Biar kata butut dan murah, ponsel ini sangat berharga. Apalagi ini juga menjadi sumber pencahariannya dalam hal keuangan. Terlebih ah...rencana jalan-jalan pertama ke luar negeri meski ya hanya sebatas negara tetangga. Yang dekat-dekat dulu sebelum berangkat lebuh jauh. "Nikah." Rissa mengerutkan kening. Tatapannya masih belum teralihkan dari ponsel. Biasa, kalau ia sudah sibuk dengan ponsel jangan mengira ia sibuk dengan sosial medianya. Gadis itu hobi menulis cerita dan berhasil menembus salah satu penerbit mayor tahun lalu. Kayanya, lumayan uangnya untuk tambahan jajan dikala kuliah. "Belum lah. Bisa disepak emak gue!" keluhnya yang membuat keduanya terbahak. Tak lama, mobil pun berhenti di lokasi tujuan mereka. Ketiganya sibuk menyebrang. Alih-alih masuk ke KFC, ketiganya malah memasuki mall. Tak melihat pula kalau KFC tepat bersebelahan dengan mall itu. "Kalo gue sih, orangtua ikut-ikut aja." "Kalo elo, Ai?" "Kuliah lah. Emak gue mana ngizinin nikah disaat kuliah begini." Khanza mengangguk-angguk. "Tapi enak kali ya kalo nikah. Gak nyusahin orangtua," tutur Rissa dan mendapat toyoran dari Aira. "Tapi duit nikah lo itu ya dari duit kuliah lo!" Ia nyengir saja. Lantas keningnya mengerut. "Sepi amat?" Keduanya mengangguk-angguk. Setuju sekali kalau suasana mall ini cukup sepi. Apalagi saat menuruni eskalator, ketiganya berhenti di sebuah toko baju yang menjual coat-coat cantik untuk musim dingin. Lebih kece kalo dipakai ke luar negeri. Tahu-tahu Rissa sudah masuk ke sana. "Ini bagus nih buat ke Turki!" serunya. "Turki muluuuu," nyinyir Aira lantas terkikik-kikik. Padahal ia juga melihat baju-baju itu. Rissa hanya memonyongkan bibirnya lantas beralih melihat koper-koper. "Pakek ini nih buat ke Singapore. Lo berdua kan mau berangkat ke sana!" seru Aira kemudian. "Kita sih pakek ransel aja," sahut Khanza. "Woyadoong! Lebih simpel!" seru Rissa. Aira hanya geleng-geleng kepala. Ia lupa kalau kedua orang ini buka tipe perempuan-perempuan pada umumnya yang mungkin agak ribet dengan barang bawaan. @@@ "Bawah atau atas?" tanya Rissa. Eeeh begitu menoleh ke belakang malah ada cowok yang mengantri di belakangnya. Ia nyengir lantas melirik sekitar. Bah! Khanza dan Aira mana? tanyanya. Ia melirik-lirik ke sekitar tapi tak ketemu. Lantas mengeluarkan ponselnya usai menaruh makanannya di atas meja kosong. Wooi! Di mana? Kedua gadis yang membaca pesan itu terkikik-kikik. Keduanya tentu saja sudah tiba di lantai atas KFC. Maunya sih mencari spot bagus. Tapi eh tapi, isinya banyak orang yang berpacaran. Nasib....nasib.... Atas, Riiiis Khanza yang membalas. Keduanya masih terpingkal-pingkal sementara Rissa menyungut. Ia baru saja malu karena berbicara sendiri tadi. Untung cowoknya gak jatuh cinta eeeeh! Gak deng! Ia gak suka sama yang tua-tua begitu! Hihihihi! Dari pada terus berpikiran absurd, lebih baik ia menaiki tangga kemudian berbelok ke kanan. Ia mendapati Khanza dan Tari sudah duduk di sebuah sofa. Tempatnya sepertinya lebih nyaman dari yang ia kira. "Kenapa gak di luar aja?" tanyanya sembari menunjuk ke arah balkon dengan dagunya. "Rokok," tutur Khanza. Aaah. Rissa mengangguk-angguk. Ia juga terganggu dengan asap rokok seperti itu. Bukan apa-apa sih. Sebagai mahasiswa Kesehatan Masyarakat, ia lebih peduli saja tentang perihal semacam ini. "Emak gue iya-iya aja sih kita berangkat, Za. Yang penting katanya pakai duit sendiri," tutur Rissa yang disambut tawa milik Tari. Sayangnya ia juga gak bisa ikut karena tak mendapat izin dari orangtua. "Ya kan gue juga dari tabungan sendiri," seru Khanza. Kemudian ia teringat sesuatu. "Eh tapi, gue mau nanya deh, mapan itu perlu banget ya?" Kening Rissa mengernyit. "Kan kalo Aira, pacarnya udah kerja tuh. Di BUMN lagi. Masa depan terjamin lah. Nah kalo pegawai swasta begitu juga aman?" "Ya aman mungkin. Gue juga gak paham." "Kenapa emangnya?" tanya Aira. Khanza beralih pada ponselnya. Saat mereka berjalan-jalan di mall tadi, pikirannya teralihkan pada pesan dari Maya. "Patokannya, kalo menurut elo, mapan itu yang kayak gimana?" "Kalo gue sih lebih ke.....dia udah punya pekerjaan sih. Yang bisa menghasilkan. Tapi kalo gue sendiri lebih mematok pola pikir karena rejeki bisa dicari bareng-bareng." "Pendapat gue gak penting," sungut Aira, ia malas berkomentar. Rissa terkekeh. Sementara Rissa tadi sudah menjawab. "Cuma ya, kudu ada sikap kerja keras dan mau tanggung jawab juga. Gue gak suka kalo cowok tapi bergantung sama orangtua." "Kalo itu, gue jugaaaaa!" Tak lama Rissa berdesis dan itu membuat kedua sahabatnya menoleh dengan kening mengerut. "Nikah lagi yang diomongin!" tuturnya yang menjadi bahan tawa. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN