"Oi, kaki," tegur Rissa. Khanza mengerutkan kening. Saat melihat ke arah mana tatapan Rissa, ia tertawa kecil. Ia kan dulu sebetulnya tidak tomboy-tomboy amat. Cuma kalau berjalan memang suka melebarkan kaki, duduk juga sering begitu. Istilahnya terlalu mengangkang. Tapi itu kan manusiawi ya? Toh ia mengenakan gamis. Hihihi. Itu sih alibi saja sebenarnya.
Mereka sudah duduk di dalam pesawat. Rissa agak gugup karena perjalanan ini bukan perjalanan pulang kampung seperti biasanya. Ini perjalanan yang istimewa. Saat ini, para kru masih mengatur barang-barang yang ada di kabin dan juga penumpang. Sepuluh menit kemudian, simulasi mengenakan pelampung dan alat keselamatan lainnya pun didemonstrasikan. Rissa dan Khanza menyimak dengan serius. Bagi mereka, ini adalah hal yang sangat penting. Meski kita tidak pernah tahu yang namanya jodoh maut ya. Tapi bersiap-siap sebelum melakukan apapun, tidak ada salahnya kan?
Pesawat bergerak pelan di atas landasan bandara. Pesawat yang mereka tumpangi sebetulnya sama kecilnya dengan pesawat yang lain. Yang kursinya bersusun 3 di kiri dan 3 di kanan. Jarak tempat duduk antara yang depan dan belakang juga tampak sangat rapat. Yaah tak ada bedanya dengan pesawat kelas ekonomi yang sering mereka naiki. Namun lagi-lagi suasananya yang membuat berbeda.
Khanza melirik jam tangannya. Sudah hampir dua puluh menit, tapi mereka masih berada di bandara. Antrian untuk naik ke langit tampak sangat lama. Omong-omong soal langit ini, kalau menyebutnya sebagai antrian ke langit kok kiasannya bermakna menyeramkan ya? Seolah-olah sedang mengantri untuk masuk ke kehidupan selanjutnya. Khanza jadi merinding sendiri. Padahal ia tak bermaksud begitu.
Lima menit kemudian, pesawat mereka mendapat giliran. Suara mesin pesawat bergemuruh. Rissa bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi burung yang bersiap untuk terbang. Rasanya pasti tak jauh berbeda. Hanya saja, burung besi ini mempunyai tanggung jawab dan beban yang lebih berat dibandingkan burung-burung lain. Karena di dalamnya, ada lebih dari 300 nyawa yang harus ia amankan selama perjalanan hingga tiba di tujuan. Tangan Khanza berubah dingin. Selain gugup, ada efek juga dari pendingin pesawat. Rissa bergerak menutup pendingin di atas kepalanya. Karena kepalanya jadi agak sakit. Ia juga merasa dingin sekali. Khanza juga sama.
"Gue gugup," bisik Khanza. Rissa terkekeh kecil. Ia juga sama. Jantungnya berdegup kencang.
Dalam beberapa detik, pesawat yang mereka tumpangi mulai berlari kencang. Moncongnya naik ke atas dengan perlahan hingga agak menukik. Tubuh Rissa dan Khanza seolah terdorong ke belakang. Mengikuti gaya angkat pesawat. Khanza pernah membaca kalau diwaktu-waktu ini adalah waktu kritis pesawat. Selamat atau tidaknya perjalanan ditentukan oleh waktu kritis di awal saat pesawat menanjak ke langit dan di saat pesawat mulai turun ke bumi. Mulut Khanza komat-kamit berdoa. Rissa juga sama. Tapi doanya kali ini lebih kencang. Seolah-olah kematian terasa dekat sekali. Sedekat mata dan hidungnya. Hampir lima menit untuk membuat d**a mereka mulai agak tenang setelah berdebar-debar tak karuan.
Saat pesawat mulai mendatar di atas awan, lampu darurat sudah dimatikan, Khanza bisa menarik nafas dengan tenang. Mereka seolah baru saja selamat dari sebuah bahaya. Padahal ini baru awal perjalanan.
"Lama banget rasanya gue menunggu perjalanan ini."
Khanza terkekeh. Ia juga sama. Sejak kejadian terakhir mereka nekat membeli tiket pesawat, Khanza tak bisa berhenti memikirkan perjalanan ini. Ia juga menanti perjalanan berikutnya yang entah akan membawanya ke negara mana lagi.
"Lihat deh awannya cerah," tutur Rissa. Gadis itu tentu saja membuka tirai di dekat jendela. Ia hanya perlu mendorongnya ke atas. Kebetulan Rissa memang duduk di dekat jendela. Keduanya sama-sama melihat langit yang cerah. Seperti prediksi manusia, bulan-bulan seperti ini memang bulan-bulan cerah. Belum saatnya musim hujan di tahun ini. Tapi mungkin bisa dikatakan hampir memasuki. Bulan depan akan mulai hujan.
"Gue pengen deh ke Jepang."
Rissa mengangguk-angguk. Gadis yang tergila-gila dengan Jepang dan sangat ingin kuliah di Hokkaido ini memang terlalu sering membicarakannya.
"Keren tauk! Yakin deh!"
"Ongkosnya mahal juga tapi. Biaya hidupnya juga. Kudu nabung berapa tahun gue?"
Khanza terkekeh. "Yang penting abis kuliah ya kerja sih."
"Lo bukannya mau nikah?"
Khanza tergelak. "Kalo belum ada jodohnya yaa dibawa kerja lah," tuturnya santai. Meski diam-diam menyimpan senyum. Selama beberapa hari terakhir, ada yang mengajaknya berkenalan. Itu...cowok yang hendak dikenalkan sahabatnya di sekolah dulu. Yaa sudah kenalan sih. Tapi masih sekedar basa-basi kampus saja. Tidak ada pembicaraan lain yang lebih. Obrolannya juga masih sempit. Tidak terlalu luas. Karena cowok itu ternyata alumni kampus yang sama dengannya. Tapi berbeda jurusan dan fakultas. Alumni Teknik. Yeaah, anak teknik mana yang tidak kece? Hahaha.
Namun bukan itu sih yang menjadi fokusnya. Justru ia menomorduakan hal itu. Karena yang penting kan cowok itu bertanggung jawab dan tentu saja dapat membimbingnya. Yeaah, cewek mana yang gak mau mendapatkan lelaki sesederhana itu?
"Kalo belum ketemu jodoh, ya kejar mimpi lah dulu. S2 atau apapun itu. Itu cara gue," tutur Rissa. Diam-diam ia mengukir rencananya sendiri. Jika gagal satu, harus ada rencana cadangan. Itu adalah sebuah kewajiban.
Khanza terkekeh. "Kata orang, semakin tinggi pendidikan, semakin sempit jumlah calon jodohnya."
"Tapi bukannya semakin berkualitas juga calon jodohnya?"
Khanza terkekeh. "Tapi tidak semua juga. Ada banyak kasus di mana ceweknya seolah sempurna. Cantik, pintar dan kaya. Tapi memilih cowok yang justru gak punya apa-apa. Harta juga gak ada."
Rissa berdeham. "Mungkin karena hatinya yang bersih dan akhlaknya yang baik. Seperti Khadijah yang menawarkan diri untuk menjadi istri Nabi Muhammad. Khadijah kan saudagar kaya, tapi mau dengan Nabi Muhammad. Iya kan?"
Khanza mengangguk-angguk. Memang benar. Jodoh kan tidak ada yang tahu.
"Kalau gue gak bisa kayak gitu, Za. Gue anak pertama, jadi tumpuan orangtua dan adik-adik gue. Mau gak mau dan suka gak suka, gue harus kerja keras karena harus bantu keluarga. Kalau cowoknya juga bergantung sama kerja keras gue, bisa mati juga gue."
Khanza terkekeh. Kalau ia sih tak ada patokan. Karena baginya sederhana, yang penting kan si lelakinya bertanggung jawab. Tapi kalau menurut Rissa, bertanggung jawab juga harus ada buktinya. Tidak asal bekerja keras tanpa hasil di dalamnya. Karena kalau seseorang sudah bekerja keras berpuluh tahun tapi hasilnya tak kelihatan sama sekali, berarti ada yang salah. Dan harusnya hal semacam itu sudah disadari sejak lama dan sudah diperbaiki sejak lama bukannya terus mengulang hal yang sama.
Tapi yaa berbeda orang akan berbeda kondisi juga. Seperti Rissa. Ia punya tanggung jawabnya sendiri sebagai anak tertua. Kalau Khanza? Sebagai anak tunggal, tentu tak perlu pusing harus seperti itu. Tapi bukan berarti tak ada tanggung jawab juga pada keluarga. Ia juga ingin memberikan hadiah pada kedua orangtuanya. Bukan kah itu terasa cukup?
@@@
Akhirnya, pesawat yang mereka tumpangi tiba di bandara Changi, Singapore. Rissa hapal nama bandara ini karena dulu sering bermain monopoli. Hahaha. Nama bandara Changi memang sering muncul di monopoli kertas waktu ia masih kanak-kanak dulu. Dan ketika berada di dalamnya. Waw! Dari gambar monopoli yang begitu kecil kini berhasil mengantarnya ke bangunan fisiknya yang begitu besar dan nyata.
"Kita ke mana?"
Keduanya bingung.
"Ikut aja orang yang di depan. Tadi yang ada keluar pasti ke Imigrasi deh," tutur Rissa. Itu ucapan yang masuk akal. Akhirnya keduanya ikut berjalan di belakang keramaian orang. Rissa kembali melihat tolilet. Rasanya ingin sekali pipis. Tapi ia terus menahannya selama di pesawat tadi. Karena tak pernah mencoba toilet pesawat dan merasa aneh.
"Pipis aja dulu geh," tutur Khanza. Ia juga ingin pipis karena suasana dingin pesawat dan bandara. Akhirnya keduanya berjalan menuju toilet dengan pertimbangan tak ada barang yang perlu diambil di bagasi. Setelah itu, baru berjalan menuju Imigrasi. Mereka mengisi beberapa data terkait akan tinggal di mana dan berapa lama. Setelah itu berjalan menuju pintu keluar.
"Sumpah ini bandara ngebingungin."
Khanza mengangguk-angguk. Ia juga setuju.
"Lo tanya geeh sama siapa gitu. Kita kan mau ke MRT!" titah Khanza. Gadis itu mendorong-dorong bahunya.
"Bentar-bentar, gue lupa cara ngomongnya," keluh Rissa sambil komat-kamit. Khanza terkekeh. Lalu keduanya berjalan menuju petugas perempuan yang berdiri di dekat pintu keluar. "Excuse me. Can you tell me where is the MRT station?"
"Malaysia?" tanyanya. Rissa mengangguk bodoh karena gugup. Khanza terkikik-kikik tanpa suara. "Pusing kanan, lurus je. Tengok kiri, dah ade bilik antri."
Rissa mengangguk-angguk bodoh, sok paham. Padahal bingung. Hahaha. Itu gara-gara si ibu itu terlalu cepat mengatakannya. Tak lupa....
"Terima kasih, Mak Cik," tuturnya sok akrab. Khanza tertawa dalam hati. Lalu menjajari langkah Rissa.
"Lo tahu ke arah mana?"
"Kagak ngerti gue. Dia bilang pusing-pusing," ceplosnya yang tentu saja membuat Khanza hampir terbahak. Gadis itu langsung menutup mulutnya. "Gue kira bakal dijawab pakek bahasa Inggris juga."
Lalu keduanya berhenti. Saat Khanza mendongak ke atas, ia akhirnya melihat papan petunjuk arah yang memberitahu lokasi-lokasi angkutan transportasi. Ia menepuk-nepuk bahu Rissa.
"Keknya bahasa Inggris gue gak berguna di sini," tuturnya. Khanza malah fokus dengan peta jalur MRT yang ia pegang. Tadi ia mengambilnya. Sementara Rissa sibuk membayar kartu MRT mereka. Seperti rencana, mereka hanya akan menaiki MRT selama di sini untuk menghemat ongkos perjalanan selama di sini. Satu atau dua dolar Singapore itu mahal sekali kan. Satu dolar Singapore saat ini saja mencapai sepuluh ribu rupiah. Biaya transportasi mereka dalam sekali jalan bisa mencapai 16 ribu hingga 20 ribu rupiah untuk sekali jalan. Lumayan mahal memang. Maklum, negara Singapore kan termasuk negara dengan biaya hidup termahal di dunia.
"Line A and B. Line A is on the right," tutur sang ibu. Ia sedang menjelaskan jalur MRT di sini pada Rissa. Rissa mengangguk-angguk. Tak lama, keduanya sudah berjalan menuju sebuah bangku yang masih kosong.
"Apa katanya?" tanya Khanza. Tadi ia tak begitu menyimak.
"Tunggu di sini aja. Kalo naik yang itu, transit ke mana gitu dulu. Kalau yang langsung ke stasiun kita, naik yang ini aja."
Tak lama, kereta sudah tiba. Keduanya segera masuk. Suasana di kereta tak terlalu ramai tapi juga tak sepi. Ya seperti jam-jam siang di hari biasa di commuterline. Bangkunya di sini ya sama saja. Berhubung mendapat tempat duduk, keduanya memilih duduk. Ah ya, tak ada pemandangan apapun di luar jendela bahkan suasananya sangat gelap. Mungkin karena jalur bawah tanah. Bagi Khanza, ini serasa seperti menaiki kereta di Jepang. Hihihi. Meski jelas berbeda. Tapi untuk ukuran negara maju, Singapore memang terbaik di Asia Tenggara. Khanza tak bisa memungkiri itu.
"Ini simpen nih," tutur Rissa. Ia memberikan kembali peta jalur MRT yang mereka dapatkan tadi. Mereka akan memerlukan ini karena perlu menghemat uang. Kalau membeli paket internet dengan nomor lokal di sini, jelas sangat mahal. Bisa habis 300 ribuan rupiah padahal mereka hanya tiga hari di sini. Berhubung tak lama, mereka berencana untuk menggunakan internet di hotel untuk perjalanan nanti. Sekarang kan teknologi sudah canggih. Jangan takut tersadar karena pasti akan selalu ada orang baik yang datang menolong.
"Gue kira kereta bandaranya bakalan kayak yang di Indonesia."
"Beda lah. Ini harganya juga berbeda jauh."
"Iyee tapi kan kita beli kartu paket untuk seminggu!"
Rissa terkikik. Memang benar. Tapi enaknya, bisa digunakan sepuasnya. Jadi mereka tak perlu memikirkan untuk mengisi ulang nominal di dalam kartu. Dihari terakhir sebelum meninggalkan negara ini, mereka juga bisa mengembalikan kartu dan mendapat uang deposit sebesar sepuluh dollar Singapore. Kalau ditukar ke dalam rupiah, sekitar seratus ribu. Kan lumayan!
"Setengah jam gak sih? Yang lo searching di bandara tadi," tutur Rissa. Mereka tadi bisa menggunakan wifi bandara.
"Lupa tadi. Yang udah gue simpen aja," tuturnya.
Hampir satu jam kemudian, mereka tiba di tempat tujuan. Karena sudah kelaparan, keduanya bergerak mencari makanan di dekat stasiun lalu menemukan sebuah warung makan sederhana yang punya.....orang India. Karena sepertinya muslim dan halal, keduanya membeli di sana. Tadinya mau membeli dua porsi. Tapi saat melihat pesanan milik pembeli lain, keduanya mengurungkan niatnya. Akhirnya hanya membeli satu porsi dan dua teh tarik. Lalu keduanya berjalan mengikuti gambar di ponsel Rissa. Gadis itu tentu saja sudah menyimpan gambar arah jalan menuju hotel sehingga mereka masih bisa melihat arahnya meski tak punya internet. Tanpa tersadar, keduanya tiba di sana setelah sedikit berputar-putar di beberapa jalan. Sebetulnya ada banyak jalan menuju hotel itu. Tapi kan mereka tak tahu kalau semua jalan itu akan bersambung ke arah hotel yang mereka tuju.
"Udah masuk jam check in kan?" tanya Rissa.
Khanza melirik jam tangannya laku mengangguk-angguk. Keduanya berjalan masuk ke dalam hotel yang dari luar seperti gedung rumah milik orang China di kampung halaman Rissa. Gedung hotel ini berlantai tiga. Mereka mendapatkan kamar di lantai dua. Begitu membuka pintu kamar.....
"Waaah!"
Khanza berseru. Ia heboh membongkar isi kamar laku menoleh ke arah kamar mandi.
"Bahtub! Bahtub!" hebohnya.
Rissa tentu saja langsung ikut beranjak. Melupakan sejenak kelaparannya. Karena mereka hanya sempat makan roti. Ia juga dibuat ternganga oleh kamar mandi yaang sangat besar. Ada bahtub-nya. Untuk ukuran kamar yang dibayar 370-an ribu per malam, bukan kah itu fasilitas yang sangat bagus? Apalagi tempat tidur mereka juga besar, ada televisi, ada sofa. Luasnya? Rasanya dua kali liat luas kamar kos Rissa dan Khanza.
@@@
"Kita norak banget ya?"
Khanza terbahak. Bukannya norak sih. Mereka kaget saja. Karena kan biaya sewanya hanya 700 ribuan untuk dua malam tapi seperti mendapatkan kamar seharga satu juta rupiah per malam di Indonesia. Jauh lebih murah kan? Meski agak jauh dari pusatnya. Tapi yaa karena dekat dengan stasiun MRT, mereka tak masalah. Karena untuk ke mana-mana hanya perlu naik MRT saja. Tips mencari penginapan murah ala mereka adalah tak masalah kalau letaknya agak jauh dari pusat kota, yang penting dekat dengan stasiun.
Usai Ashar mereka berjalan kaki keluar hotel. Niatnya sih kulineran. Karena sekitar setengah jam dari hotel, ada semacam food market begitu seperti yang ada di foodcourt mall. Tapi yang di sini, hanya gedung khusus food market saja dan tidak menyambung dengan mall.
"Tinggal lurus aja kan?"
Khanza mengangguk. Ia tampak serius dengan peta di ponselnya. Mereka asyik berjalan di trotoar karena bersih tidak seperti di Indonesia. Di sini, tidak ada orang yang akan membuang s****h sembarangan dan tidak ada juga yang akan menyeberang sembarangan. Kalau mau menyeberang ya gunakan lah zebra cross.
"Enak ya kalau tinggal di sini?"
"Enak sih tapi mahal."
"Ya jangan pakek kurs rupiah lah."
Benar juga. Khanza mengangguk-angguk. "Gaji orang di sini pasti gede-gede ya?"
"Gue pernah dengar ibu-ibu cerita di angkot. Katanya ada keponakannya yang kerja di sini, gajinya sampai 25 juta per bulan."
"Waw!"
"Ngiler kan lo?"
Khanza terkekeh. Sementara Rissa menghela nafas. "Kadang mungkin ada yang bahagia dengan gaji sebesar itu. Tapi sebaliknya ada yang enggak."
"Kan tergantung tingkat syukur sih."
"Iya. Tapi kalau orang-orang tahu gajinya gede, biasanya suka dijadiin orang sebagai tempat untuk menghutang."
Khanza terbahak. Betul juga.
"Mendingan hidup biasa aja. Kalau gak ada, jangan sampai ngutang. Selama masih bisa diusahakan sendiri."
Khanza mengangguk-angguk. Ia setuju.
"Omong-omong ini berapa lama sih?"
Rissa tertawa. "Hampir sampai gak sih? Rasanya dari tadi jalan tapi gak sampai-sampai."
"Kayaknya udah deket deh," tutur Khanza. Keningnya smaoai mengerut. Ia mengamati sekitar lalu berseru sembari menunjuk gedung di seberang jalan. "Hampir kelewat."
Keduanya mengambil jalur penyeberangan lalu segera berjalan masuk.
"Kayaknya bakal mahal banget gak sih? Kalo porsinya kayak yang rumah makan orang India tadi, gue ikhlas sih."
Rissa tertawa. Lagi pula, yang tadi itu terhitung murah. Karena ayamnya saja besar sekali. Ukurannya seperti ayam seperempat kilogram. Lalu nasinya terlihat sedikit tapi saat dimakan berdua, mereka bahkan kesulitan menghabiskannya. Dengan hanya membayar 2,5 dollar Singapore atau sekitar 25 ribuan rupiah, mereka mendapat dua porsi kuli. Tentu saja sangat mengenyangkan.
"Kayaknya yang ini lebih mahal deh," tutur Rissa. Ia mencicitkan langkah.
Khanza menarik tangannya. "Beli apa aja dah yang murah," tuturnya. Sayang juga kalau dilewatkan karena mumpung mereka ada di sini.
Rissa manut-manut saja. Mumpung perdana baru tiba di sini, kenapa tak dinikmati saja perjalanannya?
@@@