Sutradara Terbaik

2473 Kata
Di sini banyak juga yang bisa bahasa Melayu. Salah satunya petugas perempuan yang ditanya Rissa saat di bandara Changi kemarin. Melihat Rissa dan Khanza yang tampaknya bukan keturunan Chinese meski mata Rissa sebetulnya agak kecil. Bukan sipit ya tapi kecil. Hidungnya juga tapi tolong jangan bawa-bawa hidung atau ia akan tersinggung. Hihihi. Malam ini, keduanya berkemul di dalam selimut. Usai membeli jajanan dan berjalan-jalan sebentar ke mall, keduanya solat Magrib di masjid Khadijah. Masjid indah yang mereka lihat searah dengan jalanan menuju hotel. Lalu kembali ke hotel. Mereka tak berani keluar dari hotel gara-gara pencarian di internet. Mereka kan saat itu sudah terlanjur mem-booking hotel ini. Meski agak jauh dari pusat kota tapi kan terjangkau dari segi harga. Apalagi tidak sia-sia pula karena kamarnya begitu besar dan begitu pula dengan kamar mandinya. Tapi sialnya, ada kabar buruk. Katanya jalan di mana hotel itu berada, akan ramai dengan pada perempuan yang menjajakan diri di pinggir jalan. Ini jelas mengerikan. Hahaha. Rissa mengira kalau hal semacam ini hanya terjadi di Indonesia. Tapi ternyata tidak. Di beberapa negara lain juga ada hal semacam ini. Sungguh mengerikan bukan? Ya tentu saja. Makanya mereka nekat menahan diri untuk tak ke mana pun dimalam hari. Hahaha. "Sumpah, kita udah kayak apaan sih ini?" Khanza hanya bisa terkekeh. Mereka memutar televisi tapi entah kenapa filmnya berbahasa Mandarin. Ya mana keduanya mengerti? Meski Rissa pernah belajar bahasa Mandarin selama tiga tahun saat SMA (Sekolah Menengah Atas), bukan berarti sudah mahir bukan? Memangnya dikira gampang? Yang ia ingat hanya menyebut nama guru, mengucapkan salam, kata-kata cinta dan terima kasih. Sisanya ia mana ingat. Hahaha. "Tuh kata lo di dekat rumah lo banyak orang China." "Orang China sana ya beda lah bahasanya. Bahkan temen gue yang asli China aja kagak bisa ngomong Mandarin karena tinggal di sana," Rissa menyolot. Khanza terbahak mendengarnya. Ini lucu, menurutnya. Orang China gak bisa Mandarin memang banyak sih. Karena kan rata-rata sudah tidak tinggal di di China dan merantau ke negeri orang. Ada yang menikah dengan suku lain sehingga mungkin tak bisa mengajarkan bahasa ibunya kepada turunannya atau mungkin terbata-bata. Ada yang menikah dengan sesama China tapi karena tinggal di negara orang, tidak terbiasa menggunakan bahasa ibunya sendiri. Bahkan bukan hanya China, turunan Padang atau Batak yang lahir dan lama tinggal di Jakarta juga ada yang tidak terbiasa atau tidak bisa berbicara bahasa ibu mereka. Karena ya tadi, sudah hidup dan menyatu dengan budaya hidup di daerah lain. Waah lagi ke luar ya. Berapa lama. Senior atau temen kantornya mungkin. Hhe. Pp aja sih. Ada balasan pesan dari lelaki itu. Khanza melirik Rissa diam-diam. Gadis itu sibuk dengan ponselnya sendiri. Mungkin sedang bermain media sosial atau sibuk menulis? Ya terserah lah, pikirnya. Ia agak menjauh lalu mengambil tempat duduk di atas sofa. Tanya sibuk mengetik. Dari 22 sampai 28. Wah PP? Palembang-Jakarta? Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sebetulnya agak aneh. Meski pembicaraan mereka kali ini bukan lagi urusan kampus. Tapi tetap aja ada yang aneh. Ia masih perlu memahami lebih dalam sebetulnya ta'aruf dalam Islam itu seperti apakah? Apakah benar seperti ini? Obrolan-obrolan mereka sebetulnya sederhana. Tidak ada yang macam-macam. Namun hakikat dari ta'aruf itu sendiri belum dapat. Maksudnya, niatnya kan memang ingin menikah tapi obrolan ke sana belum ada sekali. Baru hari ini ada obrolan tentang kegiatan masing-masing. "Ris," panggilnya. Rissa hanya berdeham. "Menurut lo, ta'aruf itu kayak gimana sih?" Rissa tampak berpikir. "Dari film yang pernah gue tonton, yaaa kenalan." Khanza menghela nafas mendengar jawabannya. Sementara orang yang baru saja memberikan jawaban seperti itu malah cekikikan. Ta'aruf memang berkenalan. Tapi berkenalan seperti apa? "Tapi ya kalau menurut gue," ia mengatur sandaran bantalnya. "Kayak tukeran CV terus kalau ada yang mau ditanya atau didiskusikan panjang-lebar ya tanyain mungkin gak ke orangnya langsung? Eh atau boleh? Gue juga gak paham sih. Tapi pemikiran gue menerka-nerka seperti itu. Terus kalau uda sevisi dan semisi baru khitbah barangkali." Khanza mengangguk-angguk. Harusnya mungkin seperti itu. Tapi ketika ia melihat riwayat pesannya, sungguh jauh dari itu. Ia belum pernah ta'aruf sih. Baru mencoba dan ini yang pertama. Kalau gagal? Ya barangkali memang bukan jodohnya. Tidak ada yang perlu disesali dari sebuah gagal karena ta'aruf. Tahu kenapa? Ya karena itu yang terbaik menurut Allah. Ketika Allah menghendaki demikian, berarti kita baru saja terhindar dari satu keburukan yang mungkin bisa saja menimpanya suatu saat nanti. Siapa yang akan tahu hidup. Ya kan? "Tepi semisal elo nih, kalau ada cowok yang mau ta'aruf sama lo. Dia udah kerja meski belum mapan. Tampang biasa aja tapi yaa gak ngebosenin lah. Lo mau?" "Kalo akhlaknya baik ya dicoba sih." "Pakek sih?" Rissa tertarik. "Karena bagi gue ya harus ada ketertarikannya juga, Za. Gak sekedar dia ini dan itu tapi kalau dari gue-nya gak tertarik, ngapain? Gue gak bisa kayak orang lain yang....iyain aja dulu atau jalanin aja dulu gitu istilahnya. Karena bagi gue ya, nikah itu kan ada perasaan juga di dalamnya. Perasaan itu penting juga bagi gue buat menyemarak hidup pernikahan. Kalo nikah tanpa cinta rasanya sulit dan rumit. Dan gue gak suka hal semacam itu." Khanza mengangguk-angguk. Ia juga tak bisa kalau begitu ceritanya. Meski mungkin di sebagian besar orang, ada yang bisa seperti itu. "Kenapa dah? Ngomong-ngomong ta'aruf segala. Mending juga mikir skripsi, bentar lagi mau nyusun tuh," tukasnya yang membuat Khanza tertawa. Ya memang benar sih. Tapi pikirannya sendiri terdistorsi dengan hasrat ingin menikah. Meski ia bertanya-tanya juga, apakah ia sudah benar-benar siap untuk menikah? @@@ Pagi-pagi mereka sudah berjalan mencari makan sebelum berangkat untuk berjalan-jalan. Makanan dibawa pulang ke hotel efek memakai cadar. Mereka masih belum terbiasa dengan cadar ini. Niatnya sih bukan niat main-main. Tapi murni untuk berharap perlindungan diri. Dengan harapan semoga Allah melindungi mereka yang memiliki niat baik untuk kehidupan mereka. "Kenapa ya semua orang selalu nge-judge gue kayak orang gak punya pikiran untuk menikah?" Khanza tertawa mendengar itu. Ia hampir tersedak ketika meminum air dari botol. "Gue tuh kayak cewek yang gimana gitu saking gilanya dugaan itu," tuturnya sambil menggelengkan kepala sendiri. Mungkin tidak habis pikir. Sementara Khanza masih terkekeh. "Sebenernya bukannya gak ada pikiran sih, kalo menurut gue ya. Nikah itu belum masuk prioritas lo aja." "Tapi gue seringkali ngekhayal sih, gue ntar nikah sama cowok yang model begini. Sosok yang belum pernah gue temui di dunia nyata." "Bukannya sosok fiksi di dalam buku-buku lo itu?" Rissa tertawa. Beberapa memang benar. Tapi belum ada yang menjadi nyata dari apa yang ia tulis. Nyata untuk orang lain sih iya. "Tapi gue gak berharap apa yang gue tulis itu jadi nyata buat gue, Za. Gue justru berharap Allah menetapkan skenario dan cerita tentang asmara gue sendiri dengan Dia yang menjadi sutradaranya." "Kalau itu sih udah gak perlu diraguin. Film-film romantis muslim lain juga bakal kalah." Rissa tertawa. Memang benar. Kalau Allah langsung yang turun tangan, ceritanya akan sangat indah bukan? Dan diam-diam Khanza juga berharap demikian. Usai makan, keduanya malah kembali berkemul. Setelah saling menendang p****t dan Rissa yang terjatuh dari atas tempat tidur, gadis itu terpaksa beranjak. Ia mandi dulu agar mereka segera bisa berangkat. Begini lah kemageran untuk jalan-jalan. Padahal sejak semalam, mereka sudah heboh merekam jalan untuk berangkat ke Marina Bay hari ini. Rencana perjalanan mereka selama di Singapore adalah tempat-tempat wisata gratis. Disneyland dan tempat berbayar lainnya tidak menjadi tujuan. Karena sudah bisa dipastikan, tiket masuknya saja mahal. Sebagai anak kosan yang kere dan masih menyusahkan orangtua, keduanya tahu diri untuk menggunakan uang yang ada. Setelah Khanza bersiap, keduanya berangkat. Tujuan pertama tentu saja stasiun. Tak lupa membawa minuman di dalam tas. "Untung stasiunnya gak jauh-jauh amat." "Tapi panasnya sama aja kayak di Indonesia." Rissa terkekeh mendengarnya. "Ye lah kan tetangganya. Lo berharap beda musim? Kurang jauh kita mainnya kalau begitu." Khanza tertawa. "Setidaknya masih ada sedikit perbedaan. Di sini gak macet kayak Jakarta. Zebra cross di mana-mana. Jalanan aman. Aman copet juga sepertinya." Rissa mengangguk-angguk. Memang benar. Tiba di stasiun, keduanya mulai bingung lagi. Setelah bertanya ke beberapa orang melayu, mereka akhirnya paham harus menaiki line yang mana. "Gaya mau pakek bahasa Inggris. Sampe di sini nanya pakek bahasa melayu juga." Khanza terbahak mendengar itu. Itu sindiran untuk dirinya sendiri. Makanya Khanza tertawa. Tapi ya memang sebagian besar yang tinggal di sini juga berbahasa melayu. Bahkan saat di hotel, si abang yang menjaga resepsionis juga berbicara bahasa melayu. Tapi lelaki itu juga jago bahasa Inggris dan Mandarin. Rissa sampai iri melihatnya. "Ngerasa aneh gak sih?" "Apanya yang aneh?" "Dari kemarin, tiap kita jalan, kayak dilihatin terus gitu." "Iya-ya, kenapa ya?" Khanza tertawa. Ia menunjuk cadar yang digunakan Rissa. Gadis itu baru tersadar. Hahaha. Kalau di Depok, ia terbiasa menggunakan masker karena yaa polusi udara itu bisa membahayakan kesehatan untuk jangka panjang. Selain itu, cahaya matahari juga kurang bagus kan? Ditambah pemanasan global, ah entah apa hubungannya. Tapi semua hal itu bisa berakibat buruk untuk kulit dan kesehatan pernafasan. Jadi Rissa tak sadar kalau ia sedang mengenakan cadarnya dan berkeliaran di Singapore seperti ini. Tapi tidak seperti gadis-gadis bercadar lain, penampilan Rissa jauh lebih cerah dengan kaos berwarna mustard dan rok yang dimodifikasi. Sementara Khanza? Memakai baju beraroma gelap, berwarna abu-abu dan hitam. Ia sama sekali tak mau mendengar protes Rissa saat membawa masuk baju-baju gelapnya ke dalam tas. Hahaha. "Ngerasa gak kalau mereka agak takut?" "Mungkin? Bisa jadi?" Khanza terkekeh pelan. Mereka tampak asyik berbicara sambil menahan tawa. Saat itu lah, salah satu cowok yang sedari tadi mengamati pun berdeham. Merasa kalau mereka agak menganggu karena ribut, Khanza agak menarik Rissa. Tapi eh tapi.... "Orang Indonesia juga?" tegurnya dengan senyum sok ganteng tapi anehnya, wajahnya penuh lawakan. Alih-alih menanggapinya, Rissa malah ingin tertawa. "Oi, Bang Dan!" Cowok itu dipanggil. Rissa menoleh. Ia hanya memerhatikan orang-orang yang ada di dekatnya. "Ke sana yuk, Bang! Pada ke sana!" Gadis berambut panjang yang dikuncir ekor kuda menarik-narik lengannya. Sementara yang cowok dan tampak tengil, merangkul bahunya. "Helah, gue baru aja mau ta'arufan sama cewek." Dua orang di kiri dan kanannya yang mendengar itu pun langsung terbahak. Merasa lucu dengan kata-katanya. "Udeh-udeh! Gak usah maksain diri. Kagak mau juga tuh cewek pastinya." "Asem lo!" Kedua orang itu terbahak. Sementara Khanza menyenggol lengannya. Ia merasa kalau Rissa agak melamun. "Awas ayan lo!" "Sejak kapan bengong bikin ayan?" Khanza tertawa. Yang ada kerasukan. Tapi tak semua hal bisa berakibat hal yang sama kan. Sementara Rissa berdeham. Ia masih berpikir tentang cara gadis tadi menatapnya. Meski tampak biasa saja. Tapi tatapan itu mengingatkan Rissa pada orang-orang yang ia jumpai hari ini. "Lo ngerasa gak kalau kita kayak dijauhi gitu?" Khanza terkekeh. Ia hendak menggeleng. Tapi setelah dipikirkan lagi, Rissa ada benarnya juga. Herannya, ia juga baru menyadari saat Rissa mengatakan itu. "Karena cadarnya ya?" Rissa mengangguk. Ia tak bisa menampik hal itu. "Gue gak terganggu sih. Hanya mencoba menyelami perasaan cewek-cewek yang mantap bercadar. Jadi salut. Karena gue ngerasa belum kuat. Apalagi ngehadapi keluarga gue? Baaaah! Emak gue bener-bener ngira gue gabung organisasi miring yang ada." Khanza tertawa. "Tapi justru itu yang juga membuat gue sadar. Artinya agenda mereka yang membenci syariat pun berhasil. Karena menanamkan hal ini yang merupakan bagian dari syariat meski bukan kewajiban tapi dibenci oleh pemeluk agamanya sendiri. Bukan kah sebuah ironi?" Ya memang benar. Ironi yang sangat mendalam. "Sebuah kepahitan yang tidak bisa terbantahkan." "Kita sok tahu ngebahas hal kayak gini." Rissa tertawa. Terkadang mereka memang sering membahas hal-hal yang tidak begitu penting. Tapi ketika bahasan yang berkualitas muncul, rasanya tak pernah habis untuk dibahas. "Tapi kalo lo diberi kesempatan untuk tinggal di sini, gimana?" Rissa mengendikan bahu. "Telinga gue belum terbiasa berada di dunia di mana azan hampir tak terdengar." Ya memang benar. Tidak seperti di Indonesia, gema azan memang tak begitu terdengar di sini. Meski ada banyak sekali masjid yang dijumpai. "Negara yang dipimpin oleh muslim yang taat tidak akan pernah merasa tidak adil. Dari sejarah zaman Nabi hingga Khalifah dan seterusnya. Tapi jika yang memimpin muslim munafik, itu rasanya lebih mengerikan." "Tapi itu lah dunia yang sedang menuju akhirnya." Rissa menghela nafas. "Tapi gue gak berani menawarkan diri untuk hidup sampai hari kiamat. Takut gak kuat ketemu Dajjal. Karena katanya, perempuan paling banyak mengikutinya. Bahkan ada yang mengatakan untuk mengikat para perempuan di rumahnya agar tidak keluar dan bertemu Dajjal. Saking ngerinya sampai kayak begitu." "Obrolan kita makin ngeri ini. Anyway udah sampe sepertinya." Rissa terkekeh. Ia tidak sadar. Gadis itu segera beranjak dari tempat duduknya lalu ikut berdiri di belakang Khanza. @@@ "Kanan apa kiri sih? Gue lihat harusnya deket. Apa salah pintu keluar? Aah sumpah gue gak ngeri bakal banyak pintu keluar gini." Khanza juga sibuk melihat petunjuknya lalu bertanya kepada salah satu petugas. Setelah itu keduanya berjalan. Angin yang berhembus kencang langsung terasa saat keduanya sudah berada di luar stasiun. "Harusnya sih gak jauh." Rissa hanya mengangguk-angguk. Padahal mereka baru berjalan tapi kenapa ia sudah lelah? "Lurus? Belok?" tanyanya. "Belok sini kayaknya. Naah lurus.....," Khanza tampak sangat fokus melihat petunjuk di ponselnya. Keduanya terus berjalan. Rissa mengeluarkan topi putihnya. Ia gunakan untuk melindungi setengah wajahnya yang masih terlihat. Aah apakah kening dan mata bisa disebut setengah? Yaa intinya itu lah. Khanza masih fokus dengan jalannya sendiri. Ia sampai tak mengamati Rissa yang malah bengong. Gadis itu tak sengaja bersenggolan dengan seorang lelaki. Ponselnya jatuh lalu diambil lelaki itu. Bagai adegan di sinteron, lelaki itu memberikan ponsel bututnya. Dalam hati ia ber-istigfar. Dalam wujud asli, mulutnya ternganga lebar. Untung saja ia memakai cadar. Ia hampir memperlihatkan wajah bodohnya. "Sorry," ucap lelaki itu. Rissa balas dengan anggukan bodoh. Ingatan untuk menjaga mata dari hatinya sudah tak terdengar lagi karena sorakan dari setan. Saat cowok itu pamit dari hadapannya pun ia masih mengikuti punggung lelaki itu. Tapi eh tapi ada yang salah dengan cara jalannya. Kenapa ya? "Giiirrrllss! I've been waiting too long! You guuuuysss! Why are you so long?!" omel cowok tadi yang berlari ke arah teman-temannya dan mendengar itu membuat Rissa syok parah. Padahal tadi terlihat cool dan ganteng sekali saat mengambil ponsel Rissa dan memberikannya pada Rissa. Astaga-astaga! Kenapa yang seperti ini harus ada di sini juga dan terjadi di depannya? Astagaaa! "Oi! Oi! Oi! Rissaaaaaaa!" Khanza sudah berteriak di depan sana. Ia baru sadar kalau sahabatnya tertinggal cukup jauh. Padahal Khanza sudah melihat Marina Bay yang indah itu di depan mata. Tidak terlalu jauh. Tapi orang yang menemani perjalanannya ini malah menghilang. Melihat kehadiran Khanza dari jauh, Rissa terkekeh. Ia menampar pipinya sendiri agar segera tersadar lalu berjalan menghampiri Khanza. "Lu ngapa daaah?" "Gue ngelihat cowok." "Terus?" "Gue kira cowok beneran." Kening Khanza mengerut. Saat Rissa mempraktekkan gaya tangannya yang lentik, Khanza langsung terbahak. Astaga, lelucon apalagi yang membuatnya tertawa semudah ini? "Gue kira ketemu jodoh gue gitu. Padahal tadi adegannya udah bagus. Sialnya, emang cuma khayalan gue aja yang ketinggian." Khanza masih terbahak. Si nyonya yang hobi berimajinasi ini memang suka membayangkan hal yang aneh-aneh. "Lagian elo, niat kita kan liburan ke sini." "Kata siapa?" "Kesepakatan?" "Kagak lah. Ada misi terselubung juga," ucapnya dengan menaikan alisnya. "Apaan?" "Hanya gue dan Allah yang tahu." "Heiissh!" Rissa terbahak. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN