"Ada apa denganmu yang gemar sekali datang tanpa permisi, kemudian pergi begitu saja tanpa aba-aba."
-----
Sepanjang perjalanan pulang menuju kamar, Alya tak bisa menahan tawanya mengingat kejadian saat sesi pemotretan pre-wedding berlangsung.
Kenzie yang biasanya selalu menyebalkan tak berkutik sedikipun dengan apa yang dilakukan Alya kepadanya. Wanita itu sangat berpuas diri, bahkan di otaknya kembali muncul ide gila lain yang ingin ia segera lakukan untuk menyiksa Kenzie.
"Tunggu saja pembalasan berikutnya Ken, kejadian tadi baru permulaan. Kau salah besar telah berani bermain-main denganku selama ini," guman Alya.
"ALYA ... "
Di tengah kesenangan yang kini menyelimuti Alya, suara seseorang mengacaukan suasana. Suara yang sangat ia kenal pemiliknya. Alya yang seakan terhipnotis dengan suara yang baru saja memanggil namanya, langsung berbalik badan. Seketika tubuh wanita itu terasa kaku, ia bahkan hampir kehilangan keseimbangan mendapati sosok seseorang yang kini berdiri sempurna di depannya.
"Apa kabar, Al?"
Kalimat singkat namun sukses membangkitkan emosi Alya.
"Radit ... "
Alya berlari kecil dan langsung memeluk erat tubuh Radit tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. Ia membenamkan kepalanya pada dadaa bidang milik pria itu. Menangis sekencang-kencangnya seakan tidak ada seorang pun yang mendengar. Jemari lembut Radit menghapus derai air mata di pipi wanita itu.
Radit sendiri tak bisa menahan diri untuk tidak membalas pelukan Alya. Menciumi puncak kepala mantan kekasihnya itu sembari membelai rambut indah yang terurai cantik di pundaknya.
Teringat akan pertemuan terakhir kali di rumahnya dan kemudian Radit menghilang begitu saja. Lalu baru-baru ini kembali sukses memporak-porandakan hati Alya dengan mengirimi wanita itu sebucket bunga lengkap dengan ucapan pernikahan. Hati Alya terlalu sakit, sakit karna harus merelakan kebahagiannya sirna tanpa permisi.
"Aku merindukanmu, sangat merindukanmu Al," bisik Radit.
"Apa kau tahu aku mencarimu selama ini! Jangan pergi lagi Radit, ku mohon jangan!"
Radit bergeming. Ia hanya sibuk membelai dan mencium pipi Alya dengan lembut. Rasa rindu yang menyelimutinya kini terbayarkan walaupun pertemuan ini sejatinya tidak akan berlangsung dengan lama. Radit sadar akan hal itu.
"Dari mana kau tahu kalau aku berada di sini?" sambil terisak, Alya memberondong dengan pertanyaan. Merasa heran kenapa mantan kekasihnya itu bisa tiba-tiba berada di Bali.
"Selama ini, aku masih memperhatikanku dari kejauhan, Al. Maafkan aku kalau belum bisa sepenuhnya melupakanmu."
Alya meringis.
"Tidak bisa kah kau membawaku pergi? Aku mohon bawa aku kemana saja kau melangkah."
Radit menggelengkan kepala pelan. "Aku sudah pernah bilang, Al, kalau aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan selalu ada untukmu. Tapi, untuk bersama seperti dulu sepertinya kita tidak akan bisa."
"Aku mohon," lirih Alya kembali memelas. Namun sesaat kemudian Radit mengendurkan pelukannya.
"Maaf, Al. Aku minta maaf. Kali ini aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Aku harus pergi sekarang. Perlu kau ingat, akan akan selalu ada untukmu." Radit mengecup bibir Alya singkat sebelum pergi meninggalkannya.
Seketika tubuh Alya ambruk, ia terduduk di lantai begitu saja. Tangisnya kembali pecah. Jangan di tanya perasaannya saat ini. Hancur, lebih hancur dari pada sebelumnya. Berusaha sekuat tenaga untuk bangkit tapi kenyataan susah untuk dilakukan. Alya kembali menengadah keatas berusaha menahan turunnya air mata. Lalu mencoba bangkit dan kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kamar. Namun bukan kamarnya yang menjadi tujuan melainkan kamar Kenzie.
Tepat di depan kamar pria itu, Alya mengetuk dengan kencang. Hanya butuh tiga kali ketukan, kamar itu sukses terbuka. Kenzie hanya menatap aneh melihat keadaan Alya yang saat ini terlihat begitu kacau.
"Aku mohon hentikan pernikahan ini Ken." Kata itu yang pertama kali lolos dari bibir Alya setelah melihat Kenzie berdiri di hadapannya. Dan tiba-tiba saja Alya bersujud tepat di bawah kaki calon suaminya itu. Bahkan, Alya juga kembali menangis sesenggukan. Sontak Kenzie begitu kaget mendapati perlakuan tidak biasa dari Alya.
Alih-alih membantu Alya bangun atau sekedar menenangkan agar tidak kembali menangis, Kenzie malah mundur selangkah dari posisnya semula.
"Berdiri, aku tak butuh tangisanmu, Alya. Harus kau tahu, aku tidak akan menghentikan pernikahan ini apa pun yang terjadi!"
"Ku mohon Ken, lepaskan aku. Aku akan melakukan apa saja untukmu agar kau membatalkan pernikahan kita." Tangis Alya masih pecah, rasa sedih dan sakit hati bercampur jadi satu. Berharap Kenzie mengabulkan permintaannya kali ini. Alya tidak perduli dengan masalah yang akan timbul di kemudain hari bila membatalkan pernikahannya.
"Cukup Alya! Berhentilah memohon!" Bentak Kenzie, lalu tersenyum masam ke arah calon istrinya yang masih saja memandang dengan penuh pengharapan.
Kenzie mengeraskan rahangnya dan mengepal kedua telapak tangannya berusaha menahan emosi yang sudah bergemuruh di dadaa.
"Aku tidak ingin sedikitpun bernegosiasi. Dan sampai kapan pun kau harus ingat, aku tidak akan pernah membatalkan pernikahan ini dan tidak akan pernah menceraikanmu di kemudian hari. Sekarang hentikan tangisanmu. Aku tak mau matamu bengkak dan menjadi perhatian banyak orang."
Kenzie menutup keras pintu kamar begitu saja setelah menyelesaikan kalimat yang terdengar begitu menohok hati. Ia sama sekali tidak memperdulikan Alya yang masih duduk bersimpuh di depan pintu.
Melihat pemandangan yang mengiris hati, Richard yang memang memperhatikan dari kejauhan langsung menghampiri Alya dan membantunya untuk berdiri dan melangkah menuju kamar.
****
Jauh sebelumnya saat hendak kembali ke kamar usai pemotretan, tanpa sengaja Kenzie dan Richard tanpa sengaja melihat Alya sedang bercengkrama dengan seorang pria. Kenzie bahkan memastikan hal ini pada Richard.
"Rich, kau kenal pria yang sedang bersama Alya?"
"Aku tidak begitu jelas melihat wajahnya Ken, tapi aku akan segera mencari tahu siapa pria itu,"
Setelah tadi berhasil membuat jantung Kenzie sedikit bergetar. Sekarang Alya berhasil membuat pria itu penasaran. Dan lima belas menit setelahnya, pria itu akhirny tahu siapa pria yang sedang bersama calon istrinya. Dari informasi yang Richard berikan, Kenzie tahu ternyata pria yang yang sedang bersama Alya adalah mantan kekasih wanita itu terdahulu.
Kenzie mengatupkan rahangnya kuat, ia terlihat tidak suka. Benci sekali melihat kejadian ini. Yang mana setelahnya pria itu meminta Richard untuk memperketat keamanan agar calon istrinya tidak sembarangan menerima tamu. Ia hanya tidak ingin kejadian seperti tadi tertangkap kamera media yang mana hanya akan menimbulkan pemberitaan tidak sedap.
****
Sayu-sayu mata Alya memandang keheningan senja. Semilir angin tidak sedikitpun membantu menyejukkan hati Alya saat ini. Sudah seharian ini ia hanya berdiam diri menatap hamparan pasir atau bahkan sekedar menatap luasnya langit dari balik balkon. Kehampaan itu terasa jelas di hatinya. Tak ada yang lebih sakit dari apa yang Alya rasakan saat ini. Bulir-bulir air mata kembali jatuh di pelupuk pipi. Terkadang di biarkan mengering begitu saja.
"Alya! Buka pintunya, Al. Jangan seperti ini terus." Suara itu sudah berulang kali menggema di telinga. Namun tidak sedikitpun di gubrisnya.
Kesabaran pria itu akhirnya habis ditandai dengan di dobraknya pintu kamar saat ini. Ia langkahkan kakinya segera menyusuri tiap ruangan mencari sosok Alya.
"Astaga, apa yang kau lakukan disini? Kami semua khawatir, Al." ujarnya dengan nada cemas tidak melepas pandangan sedikitpun dari wanita itu.
"Aku hanya butuh waktu untuk sendiri Rich," ucap Alya tanpa memandang wajah Richard. Manik matanya begitu asik memperhatikan matahari yang makin lama makin meredup.
Richard menarik kursi dan mensejajarkan kursinya tepat di samping Alya, "Mau sampai kapan kau begini? Terpuruk seperti ini?"
"Entahlah Rich, aku sudah tidak punya semangat untuk hidup. Kau tak tahu sakit yang kurasakan saat ini. Aku memilih untuk mati daripada merasakan sakit hati yang tak kunjung sembuh seperti ini." Alya menyeka air mata yang kembali jatuh di pipinya, melihat itu Richard memberanikan diri mengusap puncak rambut Alya.
"Kau berlebihan, Al. Kau kira di dunia ini hanya kau yang pernah patah hati?"
"Apakah kau pernah?" Alya mengalihkan pandangannya dan menatap wajah Richard.
"Hmm ... ya, dulu sekali. Tunanganku berselingkuh tepat satu bulan sebelum hari pernikahan kami. Aku sempat ingin memberikan maaf, tapi ia lebih memilih pria itu daripada aku. Apa menurutmu aku kurang tampan?" Richard tersenyum hambar menceritakan masa lalunya yang kelam. Sementara Alya sedikit terkekeh mendengar pertanyaan yang di lontarkan oleh Richard.
"Menurutku kau tampan dan mapan. Apakah pria sainganmu lebih kaya atau lebih tampan darimu?"
"Tunanganku beralasan kalau aku terlalu sibuk sehingga tak memiliki waktu sedikitpun untuknya. Tapi aku rasa itu hanya alasannya saja."
"Oh ayolah, Rich, semua wanita memang butuh perhatian lebih. Kau juga pasti tahu kalau kaum wanita lebih menggunakan perasaan dalam apapun ketimbang logikanya,"
"Ya itu sebabnya para wanita sering marah dan menangis karena hanya masalah sepele, bukan? Dan kami kaum pria yang selalu disalahkan."
Alya terkekeh mendengar ucapan Richard, setidaknya saat ini hati nya kembali tenang. Untuk sekarang Richard memang teman yang bisa Alya andalkan.
"Begini lebih baik Al," ucap Richard sengaja menjeda kalimatnya.
"Maksudmu, Rich?"
"Dalam hidup selalu ada kebahagiaan dan terkadang kita harus sesekali merasakan sakit tapi berlama-lama dalam keterpurukan bukan pilihan yang tepat."
Hening beberapa saat.
Alya mencoba mencerna apa yang sedang Richard ungkapkan kepadanya. Ada benarnya apa yang di ucapkan Richard. Apakah berlama-lama dalam keterpurukan dapat merubah nasib Alya saat ini? Tentu tidak.
"Apa sekarang kau berubah menjadi seorang pujangga?" ucap Alya memecah keheningan.
"Aku akan menjadi apa saja asalkan kau kembali seperti Alya yang sebelumnya. Wanita kuat yang selalu ingin membalas dendam kepada Kenzie." Ada senyum tulus di raut wajah Richard saat ini. Padahal Alya baru saja mengenalnya, tapi Richard seakan-akan manusia yang paling perduli kepadanya.
"Rich, kenapa bukan Kenzie yang menghiburku atau menenangkanku saat ini? Apa ia benar-benar membenciku karena perjodohan ini?"
Richard sedikit tertegun mendengar pertanyaan Alya, namun setelahnya ia kembali tersenyum kepada Alya.
"Kenzie juga mengkhawatirkanmu Al, percayalah. Apa kau tahu, Kenzie adalah sosok pria yang lembut dan penyayang. Dan bila ia sudah memutuskan untuk memilih seseorang, ia akan menjaganya sampai kapan pun."
"Tapi aku dan Kenzie bersatu karena terpaksa, Rich. Bukan atas pilihannya sendiri."
"Nanti, setelah menikah, kau akan tahu sendiri sifat Kenzie yang sebenarnya bagaimana. Sungguh, dia tidak seperti yang kau bayangkan selama ini." Richard kemudian bangkit dari duduknya. Bersiap untuk keluar kamar.
"Sekarang kau harus mebersihkan diri, lalu makan setelah itu beristirahatlah. Ingat besok hari pernikahanmu jadi kau harus mwngumpulkan semua energi mu untuk besok."
Alya mengangguk tanpa melakukan protes sedikitpun. Mau bagaimana pun Hari itu sudah di depan mata. Hari dimana Kebebasan Alya akan terenggut dengan paksa. Hari dimana Alya akan menjadi bagian Keluarga Winata.
.
.
Aku nggak pernah bosan buat ingatin kalian semua. Semua Visual/Jadwal update/spoiller cerita/atau berita lainnya, aku info di story sss/ig story @novafhe. Silakan follow/add ya.
Atau gabung di grup sss khusus pembaca : Fhelicious
Grup wa khusus pembaca, bisa klik link nya di profile i********:.