Hari ini adalah rapat tahunan dewan direksi di Rumah Sakit Chinese Health. Evie duduk di tempat tidur di kamar Jenni dan membantunya memilih pakaian untuk dikenakannya saat mendampingi Evie. Tidak mungkin dia memakai baju kerja hijau mudanya. Evie ingin Jenni berpenampilan layaknya muridnya, bukan berpenampilan seperti pembantunya sekaligus perawat pribadinya.
“ Jangan yang itu. Kamu uda pernah pakai saat bertemu Leona di Shinkong Mall.” Kata Evie sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ketika Jenni mengangkat baju batik yang merupakan bajunya yang terformal. Jenni memang tidak membawa banyak baju formal ke Taiwan. Jenni pikir, ngapain juga membawa blazer ataupun kemeja karena pasti tidak akan terpakai. Siapa sangka, beberapa bulan bekerja, dia memerlukan baju-baju formal itu untuk mendampingi majikannya menghadiri rapat direksi di rumah sakit.
“ Uda, kita ke kamarku aja. Kamu pakai bajuku. Bajumu tak ada satupun yang cocok. Semua kaos dan celana jeans. Emang kamu nggak pernah berpakaian formal di Indonesia?” Tanya Evie sambil mengerutkan kening.
“ Hmm…Ada Madam, tapi memang tidak kubawa ke sini. Aku pikir, nggak mungkin aku bisa memakai blazer karena hanya bekerja di rumah dan tugasku adalah merawat Madam sedangkan untuk itu aku harus memakai seragam yang disediakan pihak agentku.” Kataku pelan sambil menunduk dalam-dalam.
Evie menghela nafas. Memang benar argument yang dikatakan Jenni. Dia lalu bangkit dan berjalan menuju kamarnya.Aku secepat kilat berdiri di belakang Madam Evie untuk menjaganya, agar tidak terjatuh, kalau tremornya tiba-tiba melanda.
Madam Evie membuka lemarinya dan mengeluarkan blazer warna kuning muda yang sangat modis dengan kancing emas sebagai pemanis di kedua bahunya.
“ Blazer ini tidak bisa lagi kupakai karena kesempitan. Coba kamu pakai. Kalau cocok buatmu. Kamu pakai aja nanti saat kita ke rumah sakit.” Katanya.
Aku ragu-ragu melihat blazer itu. Pasti harganya mahal, karena jahitannya rapi sekali dan bahannya juga bagus, semi wol yang pasti sangat cocok dipakai di cuaca dingin seperti sekarang, tanpa perlu lagi pake coat.
“ Ayo, nggak apa-apa. Coba dulu. Kalau bisa kamu pakai, kamu pakai blazer ini saja. Aku nggak mau kamu dikira pembantuku. Kamu itu kalau di rumah sakit adalah muridku. Jangan biarkan orang lain tahu, kalau kamu adalah TKI yang kugaji dengan tugas utama merawatku dan melakukan semua pekerjaan di rumah kami. Mulai hari ini kamu adalah muridku, asistenku dan orang yang akan bekerja untuk menggantikan semua tugas yang tidak bisa aku lakukan karena tremorku.” Madam Evie berhenti berbicara sebelum melanjutkan.
“ Bisa kamu pahami?”
“ Bisa Madam.”
“ Jadi jangan bertindak bagai b***k lagi. Angkat kepalamu. Kemukakan apa pemikiranmu. Kamu ada aura anggun dan berpendidikan, tapi aku lihat kamu tidak percaya diri. Bahumu selalu terkulai, kepalamu selalu tertunduk. Aku tidak mau body language seperti itu nanti. “ Katanya tegas.
Aku langsung menaikkan bahuku , berdiri tegak dan mengangkat tinggi kepalaku.
“ Iya gitu baru benar. Sekarang aku akan tukar baju dan setelah itu kamu juga tukar bajumu dengan baju ini. Lalu make up lah sedikit. Pulas blush on dan gambar alis mu. Jangan lupa pakai lipstick. Kamu bawa semua itu?” Tanya Madam Evie.
Aku hanya mengangguk dan mendampingi Madam Evie menukar bajunya . Dia memakai setelah rok span dan blazer warna abu-abu. Dia juga memakai diapers di dalam rok spannya supaya tidak ketahuan saat dia tidak bisa menahan pipis.
“ Bawa diaper satu lagi di tas dokterku. Jaga-jaga bila diaper yang kupakai ini penuh ” Katanya, tangannya tampak bergetar.
“ Perlu ku akupuntur dulu kah, Madam?” Tanyaku ketika melihat getaran tangannya.
“ Jangan. Nanti saat di ruanganku sebelum ke ruang rapat, baru kamu akupuntur tanganku agar tidak bergetar hebat. Kita sudah mencoba, biasanya setelah di akupuntur aku hanya akan mengalami tremor kecil tanpa berguncang hebat lagi. Meskipun hanya 1 jam an, tapi itu sudah cukup. Aku akan usahakan agar rapat selesai tidak lebih dari satu jam.” Katanya penuh rencana.
Setengah jam kemudian, aku sudah menyetir mobil Mercedes Madam Evie menuju rumah sakit Chinese Health. Sepanjang perjalanan, Madam Evie memberiku instruksi-instruksi singkat tentang apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan sepanjang mendampinginya di rapat dewan direksi.
“ Nanti kamu duduk di belakangku. Tapi jangan kejauhan ya. Catat semua yang kamu dengar, pake bahasa Indonesia dulu, seperti biasanya. Tidak boleh menyela, tidak boleh ngomong apapun kalau tidak ditanya. Kalau ada pertanyaan tentang siapa dirimu. Kamu hanya tersenyum dan aku yang akan menjawabnya untukmu. Karena rapat kali ini dengan direksi dan seluruh kepala departemen . Pasti ada Leona dan kamu uda tahu se kepo dan se vulgar apa dia kalau berbicara. Jadi supaya kamu tidak salah ngomong. Biarkan aku yang menjawabnya untukmu. Bisa dipahami.”
“ Iya Madam.” Kataku patuh.
“ Itu yang aku suka darimu Jen. Kamu tidak pernah membantah perkataanku. Kamu selalu rajin dan bertekad belajar keras. Aku senang sifatmu yang seperti itu dan yang terpenting, kamu itu tidak pernah mengeluh. Aku tahu kamu pasti kesusahan dengan semua pekerjaanmu di rumah kami. Kamu harus bangun jam empat sebelum kami semua bangun untuk masak, membersihkan rumah lalu mengurusku , setelah selesai semua pekerjaan, malamnya kamu harus membaca buku dan kamu bilang kamu sering latihan menusuk boneka busa agar tanganmu terbiasa. Aku senang dengan tekadmu itu, Jen.”
“ Nggak berat kok pekerjaanku, Madam. Aku menikmatinya. Setiap pekerjaan yang kita nikmati, tentu tidak terasa memberatkan.” Kataku tersenyum padanya dan Madam Evie juga tersenyum padaku.
Evie melihat Jenni dan bergumam dalam hatinya.
Semoga kamu juga bisa menikmati pekerjaan yang akan aku berikan kepadamu nanti. Aku sudah memikirkannya. Memang hanya itu satu-satunya cara, agar suamiku bisa sembuh kembali. Aku akan mempersiapkanmu Jenni.
+++
Kami sampai di Rumah Sakit Chinese Health. Rumah sakit besar terletak di pinggir jalan Tainan Road. Gedung putih besar itu berdiri megah seperti menyongsong kami. Aku memarkir mobil di tempat parkir khusus yang disediakan untuk Madam Evie sebagai pimpinan rumah sakit. Tempat parkir yang berada tepat di samping kiri pintu lobby rumah sakit besar milik keluarga Madam Evie.
Madam Evie berjalan pelan, memasuki pintu putar rumah sakit. Tangannya dimasukkan di saku blazernya, untuk menyembunyikan tremornya. Aku berjalan di sampingnya , mengikuti irama kakinya sambil mengangkat tas hitam, berisi peralatan akupunturnya. Satpam, para dokter dan suster mengangguk hormat padanya. Aku yang salah tingkah, karena berjalan disampingnya, sepertinya mereka semua ikut menggangguk hormat padaku. Kepalalu langsung menunduk dan bahuku melorot jatuh.
“ Angkat kepalamu. Tegakkan bahumu.” Kata Madam Evie tegas lalu terdengar lagi suaranya
“ Ingat, panggil aku doctor Evie, jangan panggil Madam!” Singkat dan tepat perintahnya untuk mengingatkanku.
Postur tubuhku langsung kuganti. Kepalaku, ku angkat tegak dan aku berdoa semoga aku tidak salah panggil majikanku itu dengan sebutan madam. Aku harus memanggilnya doctor.
Di pintu lift menuju ruangan doctor Evie , tampak seorang doctor muda yang langsung mengangguk hormat padanya.
“ Selamat Siang Doctor Evie.” Katanya sopan
“ Selamat siang.” Jawab Evie singkat.
“ Apakah nona ini, doctor baru yang akan anda interview untuk lowongan doctor akupuntur yang kosong?” Tanyanya.
“ Bukan, dia murid saya dari Indonesia yang sedang belajar ilmu akupuntur bersama saya. Saya kan nggak praktek lagi sejak berbulan lalu karena penyakitku. Jadi aku memutuskan untuk menerima murid dan ku ajar private di rumah agar dia lebih cepat memahami. Dia juga merangkap asistenku sekarang ini.” Kata Evie
“ Bagus dok, sayang kalau ilmu akupuntur dokter Evie yang sudah terkenal kehebatannya tidak ada penerusnya. Nanti nona ini pasti akan jadi akupunturis sehebat dokter.” Katanya dan tepat lift terbuka. Kami berdua keluar dari lift dan masuk ke ruangan Doctor Evie , yang langsung berteriak.
“ Kunci Pintunya!”
Dan dokter Evie bergetar hebat. Secepat kilat aku mendudukkannya di kursi. Mengeluarkan jarum akupuntur dari tas hitamnya dan mengenggam lengannya erat, lalu kutusuk dengan jarum akupuntur di bagian bahu sampai ke lengan bawah. Tremor pada bagian badan yang kutusuk mulai mereda. Tapi kepala dokter Evie masih bergetar, aku belum diajarin menusuk bagian wajah, jadi tidak berani menusuknya. Aku hanya membiarkannya karena tahu, sebentar kemudian tremornya ini pasti akan berhenti.
Ketika mereda, Madam Evie, Eh, doctor Evie hanya menghela nafas dan menutup matanya. Sepertinya ada beban besar yang ada di pundaknya. Dia merasa terbebani dengan penyakit yang mengakibatkannya tidak bisa melakukan pekerjaan yang dicintainya. Pekerjaan menyembuhkan pasien dengan menusuk jarum kecil dan tipis terbuat dari baja yang ditusukkan ke 350 titik akupuntur yang ada di tubuh seseorang.
Aku hanya bisa melihatnya dengan tatapan nelangsa dan membiarkan doktor Evie menutup matanya untuk menghalau beban di hatinya.