"Ibu kira kamu lembur," ucap Deswita, Ibu Renee, setelah membukakan pintu.
Renee melirik jam di ruang tamu sederhananya, jam menunjukkan pukul satu dini hari. "Tidak, Bu," jawabnya singkat lalu berjalan ke dapur untuk mencari air. Belum sampai tujuannya, Heri muncul dengan raut wajah yang tak terbaca.
"Kenapa tidak lembur saja, sih? Kamu sudah tahu keuangan kita sedang sulit, bukan?" timpal Heri, Ayahnya.
Aluh-alih menjawab, Renee tetap melanjutkan ke dapur. Entah mengapa lelah sekali jika harus meladeni Heri yang mata duitan. Seharusnya seorang ayah yang baik itu mampu menafkahi keluarganya. Ini boro-boro, yang ada Renee menjadi tulang punggung keluarga. Namun mau bagaimana lagi, Renee tulus menjalaninya.
Semenjak masih sekolah, Renee benar-benar belajar mandiri juga prihatin. Renee bahkan pernah menjadi pelayan toko saat libur sekolah dan tanggal merah. Ia lulus SMA tiga tahun lalu, tidak pernah kuliah dan terpaksa bekerja ke sana-sini demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Besok kamu harus lembur, ya," kata Heri lagi.
"Aku lembur bukan kehendakku. Biasanya kalau ada pesta yang membuat kafe di-booking hingga dini hari dan kami merapikan semuanya sampai pagi," jawab Renee kemudian menatap Deswita. Renee bisa mengerti bahasa tubuh Ibunya itu. Ya, Deswita pasti melarangnya berdebat dengan Heri. Sejak dulu Deswita memang begitu, selalu mengalah hingga Heri selalu merasa di udara dan menindas mereka dengan mudah.
Renee pernah kepikiran untuk melawan, tapi untuk sekarang ia belum memiliki cukup keberanian. Terlebih ia tidak ingin melihat Deswita terluka dan bersedih.
Heri lalu bertanya, "Bukankah di kafe itu sering ada acara?"
"Dua bulan aku kerja di situ, memang iya sering sekali ada acara. Hanya saja untuk malam ini sedang tidak ada. Ayah, tolong mengertilah," pinta Renee.
"Tidurlah, Nak. Kamu pasti lelah," timpal Deswita, berharap bisa memutus perdebatan suami dan putrinya.
"Baiklah, kamu boleh istirahat tapi...." Heri sengaja menggantung kalimatnya. "Apa kamu lupa? Mana uang makan hari ini?" lanjutnya dengan nada memaksa.
"Renee merogoh saku bajunya, kemudian mengeluarkan uang dan memberikannya pada Heri.
Sejak Renee bekerja di kafe itu, Heri memang selalu meminta jatah setiap hari. Jatah uang makan Renee selalu untuk Ayahnya itu. Sampai detik ini, Renee hanya menurut saja.
Di dalam kamar, entah kenapa Renee tak bisa langsung tidur meski amat kelelahan. Tampaknya wanita ini sedang memikirkan pertemuannya dengan Dewo. Dewo memang tampan, bahkan mungkin banyak wanita yang mengejarnya. Renee juga bingung kenapa pria itu malah tertarik pada dirinya yang sangat jauh dari kata sempurna.
Bukan hanya itu yang Renee pikirkan, ia juga memikirkan nasibnya. Renee merasa dirinya sungguh rela dan tak berdaya dengan segala perlakuan Dewo.
Bukan! Ini mesti diralat, pikir Renee. Sebenarnya ia tidak rela. Ia hanya dimanfaatkan oleh Dewo. Terlebih Dewo memiliki fotonya saat membuka kancing di kafe.
Renee benar-benar tidak habis pikir bisa berurusan dengan pria macam Dewo. Andai bisa diulang, waktu itu Renee lebih memilih tak mau mengantarkan minuman pada meja nomor lima yang ditempati Dewo. Sayang itu hanyalah sebatas andai. Pada kenyataannya Renee sudah telanjur terperangkap pada jebakan seorang Dewo.
***
Pagi ini Renee berangkat kerja seperti biasa. Matanya tampak besar efek kurang tidur. Karena jarak rumahnya ke kafe cukup dekat, ia selalu berjalan kaki. Seharusnya ia off, tapi hari ini Renee enggan mendengar ocehan Heri jadi lebih baik batal mengambil jatah liburnya.
Saat sedang berjalan, sebuah motor besar berhenti tepat di sampingnya. Refleks, Renee menghentikan langkah. Seulas senyum tampak terukir dari bibirnya saat melihat siapa yang menghampirinya. Renee sudah hafal betul siapa pria itu meskipun menggunakan jaket dan helm, tetap saja Renee dapat mengenalinya dengan mudah, sangat mudah.
Pria itu membuka helmnya, kemudian turun. "Selamat pagi," sapa pria itu dengan sangat ramah.
"Kamu ini ke mana saja? Sibuk terus sampai melupakanku. Apa kamu tidak merindukanku? Jahat sekali! Kamu tahu, sejak diangkat jadi manager … kamu jadi sok sibuk. Tak pernah ada waktu untukku. Apa kamu tidak sadar, Affan?" tanya Renee yang malah cemberut seraya menghujani pria itu dengan banyak pertanyaan.
"Ah, bukannya menyambut … malah marah-marah. Jelek tahu, kalau cemberut seperti itu," goda Affan.
"Terserah," ketus Renee.
"Apa masih ngambek kalau aku memberi ini?" Affan menyodorkan bingkisan.
Renee mengambil dan melihat apa sebenarnya bingkisan itu. Renee menjerit bahagia setelah melihatnya. Akhirnya dengan refleks memeluk Affan. Tentu saja Affan membalas pelukan Renee.
Mereka baru menyadari sedari tadi banyak yang memperhatikan. Bagaimana tidak, Renee dan Affan berada di pinggir jalan. Apalagi pagi begini banyak orang yang berlalu-lalang untuk berangkat ke tempat kerja.
"Kalau aku bilang, berarti bukan kejutan dong."
"Memangnya ini kejutan? Tapi terserah, yang jelas aku senang sekali mendapat bunga darimu yang tersayang," jawab Renee dengan mata berbinar.
Alih-alih menjawab, Affan malah tertawa.
"Kenapa tertawa?" tanya Renee dengan ekspresi penuh kebingungan.
"Kamu lucu."
Renee menunjuk hidungnya sendiri dengan jari telunjuknya, "Aku? Lucu?"
Affan mengangguk. "Ya kamu, siapa lagi? Dari tadi aku hanya berbicara denganmu."
"Lucu bagaimana?"
"Belum ada lima menit yang lalu kamu marah, sekarang tertawa kegirangan."
Renee nyengir dan memamerkan barisan giginya yang rapi. "Terima kasih ya bunganya. Maaf tadi marah-marah. Habisnya kamu pergi tanpa jejak. Tidak mengaktifkan ponsel. Menyebalkan."
"Maaf membuatmu khawatir. Aku sayang kamu, Renee."
"Ya. Aku juga sayang kamu, Affan. Kita memang benar-benar sahabat yang sempurna."
Affan tersenyum dengan raut wajah yang tak terbaca. Sebenarnya mereka sudah lama bersahabat. Bahkan, itu yang membuat Affan tidak bisa menebak perasaan Renee padanya. Jauh di dalam hatinya, Affan sangat berharap lebih dari sekadar sahabat. Namun, ia takut jika harus mengungkapkan. Ia takut Renee menolak lalu menjauh. Itu sebabnya, ia sampai detik ini masih terjebak dalam status friendzone-nya.
"Matamu kenapa? Jangan bilang setiap malam menangis karena memikirkanku?"
"Kamu ini percaya diri sekali, Affandi. Aku hanya kurang tidur."
"Kenapa sampai kurang tidur seperti itu? Apa aku perlu mendonorkan tidurku untukmu?"
"Kamu gila! Aku serius. Mungkin efek jam lemburku. Tapi kamu tak perlu khawatir tentang ini." Lagi-Lagi senyuman terukir di bibir manis Renee. Jelas saja Affan selalu terpesona pada sahabatnya itu.
"Sudahlah, nanti aku terlambat. Sekali lagi terima kasih ya bunganya," tambah Renee.
Renee bersiap untuk pergi. Namun, Affan menahannya. "Tunggu!"
Sontak Renee kembali menoleh. "Iya?"
"Kenapa kamu tidak bertanya apakah ada oleh-oleh lain selain bunga?"
Renee tampak berpikir sejenak. "Hmm, memangnya ada?"
"Tentu saja.”
Renee mulai penasaran. "Mana?"
"Ada deh. Nanti malam aku jemput ya, aku ingin kita jalan-jalan sepulang kerja. Aku sangat sangat merindukanmu."
Renee pun mengacungkan jempolnya. "Okay … jam sebelas, ya?"
Affan mengangguk.
Setelah itu, Affan hanya menatap kepergian Renee dengan senyuman dan terus memperhatikan wanita itu dengan saksama. Setelah Renee menghilang dari penglihatannya, Affan pun memakai helm dan bergegas mengendarai motornya lagi.
Tanpa Renne maupun Affan sadari, sejak tadi ada yang menguping pembicaraann mereka. Orang itu dengan tangan mengepal menatap kepergian Affan. “Awas saja.”