Membaca Pikiran

1206 Kata
Keesokan harinya, Sora sudah harus kembali ke Selopanggung. Memang benar masih libur, tapi sudah saatnya berganti giliran dengan teman - teman lain yang juga ingin pulang. Kebetulan pada kelompok KKN ini, Sora paling dekat Wenda si manis dari Nganjuk, dan juga Dana si kaca mata yang berasal dari program studi PG - PAUD. Tapi sedekat - dekatnya mereka, Sora belum cerita apa pun pada keduanya tentang rencana perjodohannya. Sora masih ragu mau bercerita atau tidak. Pertama karena perjodohannya dengan Samran belum tentu lanjut. Dan kedua, ia dan teman - teman KKN - nya baru kenal selama beberapa minggu terakhir. Makanya Sora belum senyaman itu jika bercerita apa pun yang bersifat personal pada mereka. Sora memikirkan sahabat - sahabatnya dari program studi, dari kelas yang sama, yang sudah saling kenal lebih dari 3 tahun yang lalu. Biasanya tiap kali ada apa - apa, Sora selalu bercerita pada mereka. Sayangnya sejak KKN mereka jadi jarang bertemu. Malah bisa dibilang, hampir tak pernah bertemu. Hanya bertemu dengan Sari dan Tyas, setiap kali ada jadwal bimbingan skripsi. Mengingat dosen pembimbing mereka sama. Yaitu Bu Meta sang penguasa kegelapan. Yang sudah terkenal seantero jagad tentang kegarangannya. "Beb, astaga ... aku kemarin tuh dichat sama cowok desa sebelah. Katanya mau ngajak taaruf. Orangnya ganteng, sih. Udah punya kerjaan bagus juga. Tapi aku ogah ah. Takutnya ntar keburu saling cinta, eh, malah ketikung restu. Soalnya kan nggak boleh tuh nikah sama tetangga sendiri kalau kata orang Jawa. Pusing aku tuh." Wenda tiba - tiba nyelonong sambil curhat. Sora masih belum memberi tanggapan. Masih merasa aneh karena Wenda bisa dengan begitu mudah bercerita tentang masalah personal pada teman - teman yang baru ia kenal. Justru Dana yang memberi tanggapan duluan. "Kenapa nggak kamu terima aja, sih? Kalau jodoh, kan, nggak kan nggak ke mana. Misal dalam takdir kamu yang tertulis sebagai jodoh kamu adalah cowok itu gimana? Apa kamu mau jomblo sampai mati hanya karena saat akan ketemu jodoh malah kamu tolak. Malah nunduk sama aturan adat yang kurang logis?" Wenda mencebik. "Aku tuh, nggak mau ribet aja, Dan. Seperti yang kamu bilang, kalau jodoh nggak ke mana. Meski pun sekarang aku tolak, kalau kenyataannya dia adalah jodoh aku, ya nggak akan ke mana - mana. Gimana pun jalannya, akan tetap jadi. Akan tetap berakhir di pelaminan." Wenda dengan menggebu - gebu mengucapkan isi hatinya. Dana berdecih. "Udah lah, Dan. Kita ini hidup di zaman milenial. Di zaman modern. Udah nggak waktunya lahi takut sama ilmu titen. Ya kali nggak jadi jodoh cuman karena tetangga, nggak jadi jodoh cuman karena weton nggak cocok. Udah lah. Semua itu tergantung yang menjalani. Kakak sepupu aku nikah sama tetangga RT sebelah. Buktinya sampai sekarang harmonis aja keluarganya. Saudara aku yg lain, nikah sama orang jauh, malah cerai. "Kakak sepupu aku yang lain, nikah sama yang wetonnya nggak cocok, malah harmonis sampai sekarang anaknya 4. Lhah, sepupu aku yang satunya lagi, nikah sama orang yang wetonnya cocok. Dibilang malah hasil hitungannya adalah satuan ratu. Tapi mereka berantem melulu, dan cerai saat anaknya masih kecil - kecil. Kasihan. Semua itu tetap tergantung yang menjalani. Bukan tergantung dia tetangga apa bukan. Bukan tergantung pada weton juga!" Sora masih mendengarkan dalam diam. Ia setuju sih dengan perkataan Dana. Memang jodoh itu misteri ilahi. Banyak yang katanya cocok tapi berpisah. Banyak yang katanya tidak cocok tapi langgeng. Tetap tergantung yang menjalani. Tapi ia tidak menyalahkan Wenda juga yang memilih untuk main aman saja. Dari pada urusannya jadi runyam saat sudah telanjur. "Aku bukannya takut, Dan. Aku hanya menghargai kearifan lokal yang ada aja. Kita ini tinggal di tanah Jawa. Ya kita wajib jaga budaya setempat, sebagai penduduk yang baik. Lagi pula ilmu titen dari orang Jawa itu, bukan hanya asal jeplak. Namanya aja ilmu titen. Berarti berasal dari meneliti satu per satu kejadian yang pernah terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, kemudian menerapkan ilmu titen. "Niteni, alias memberi tanda akan peristiwa yang pernah terjadi jika melanggar apa - apa saja yang sudah dipantangkan. Jadi apa bedanya sama penelitian ilmiah yang dilakukan sama orang - orang barat? Udah lah, kalau nggak suka sama sesuatu, jangan terlalu dibenci. Kalau suka sama sesuatu, juga jangan terlalu dipuja. Kita hidup dengan arus yang ada aja, sambil terus tawakal sama Allah. Insya Allah ada jalan." Wenda makin menggebu - gebu saja mengungkapkan isi hatinya. Dan Sora masih diam mendengarkan argumen demi argumen dari teman - temannya. Kalau menurut Sora, Wenda juga tidak salah sih. Aduh ... jadi bingung. Mendadak Sora jadi mempunyai kekhawatiran baru. Bagaimana jika nanti ia dan laki - laki yang ia cintai -- entah siapa itu kelak -- tiba - tiba memiliki ketidak cocokan pada perumusan urusan jodoh secara budaya? Apakah mereka harus berpisah saat sedang cinta - cintanya? Atau mereka akan nekat melanjutkan ke pelaminan dengan segala ancaman dan risiko yang ada? Tapi kembali lagi pada rumus yang ada, teori yang disampaikan oleh Dana. Banyak yang patuh pada aturan, tapi cerai. Banyak juga yang rebel, tapi harmonis. Aduh ... makin pusing. Dan Sora bingung dengan dirinya sendiri yang sudah memikirkan apa - apa yang bahkan belum terjadi. Sora sepertinya sudah tidak waras. "Eh Sora ... ngapain kamu diem - diem bae dari tadi? Jangan diem aja, ntar kesambet lho." Wenda akhirnya menegur Sora sang wakil ketua kelompok KKN mereka. Yang mendadak jadi banyak diam setelah pulang kampung. "Iya, Sora. Kamu kenapa coba? Jangan - jangan kemarin kamu pulang terus dijodohin ya. Kamu masih bingung menentukan mau atau enggak. Eh, terus di sini aku sama Wenda malah ngomongin tentang teori perjodohan. Makanya kamu jadi baper, terus milih buat diem aja kayak gitu!" Dana terkikik setelah menggodai Sora. Dan Sora mendelik, bingung kenapa prediksi Dana bisa begitu akurat? Jangan - jangan Dana punya bakat jadi peramal?. Atau jangan - jangan Dana punya kemampuan membaca pikiran orang lain? "Ih ... jangan ngawur, deh," jawab Sora. "Aku diem gara - gara sariawan nih." Sore membuka bibir bagian bawahnya dengan tangan. Dan benar ada sariawan yang lumayan besar di sana. Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Sora bersyukur karena ia mengalami sariawan. Karena ia jadi punya alibi untuk tidak menjawab tuduhan -- yang lebih mirip ramalan -- yang dilakukan oleh Dana. "Udah ah, yuk anterin aku ke WC aja. Aku mendadak sakit perut gara - gara denger kalian debat." Dan Sora baru saja menemukan alasan lain untuk tidak lagi membahas masalah perjodohan - perjodohan itu. Ini untuk pertama kalinya juga Sora merasa bersyukur karena di sedang sakit perut mendadak. Sora sudah berjalan duluan. Wenda dan Dana terkikik sambil membuntut di belakang Sora. Urusan persakit perutan selama KKN memang telah menjadi isu. Tidak ada anggota kelompok di posko perempuan yang berani buang air besar sendiri. Semua selalu minta diantar. Mengingat di rumah ini tidak ada WC. Jadi kalau mau buang air besar, harus numpang ke WC yang ada di balai desa, atau di belakang masjid. Dan itu letaknya sedikit jauh dari posko. Dan berada pada area bambu - bambu yang cukup creepy. Jujur Sora baru tahu fenomena rumah tanpa WC saat KKN ini. Ia pikir sudah tak ada lagi rumah yang tidak memiliki jamban pribadi. Tapi ternyata di daerah sini masih banyak sekali rumah yang belum memiliki jamban. Yang mengakibatkan mereka semua harus antre dengan warga yang membutuhkan juga, saat akan numpang buang air besar. Astaga .... ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN