Memberi jawaban seperti itu, Sora seakan tanpa beban. Padahal ia sebenarnya kepikiran juga. Ia takut jika jawaban yang akan diberikan kiai itu tentang hitungan Weton mereka, ternyata hasilnya sama dengan hasil yang dikantongi oleh Bude Pangestutik.
Tapi di lain sisi, Sora juga tidak mau terlalu peduli. Toh, ia dan Samran belum ada hubungan apa-apa, masih mentah sekali perkenalan mereka. Belum bisa dikatakan memiliki hubungan apa pun bukan?
"Ya udah kalau gitu. Tadi Bapak tanya ibu, sebaiknya iya atau nggak. Ibuk juga bingung. Makanya ibuk tanya kamu aja. Soalnya kan kamu juga yang akan menjalani semua nantinya. Anggap aja ini bagian dari ikhtiar kita untuk mendapatkan solusi terbaik. Soalnya kan semua maunya menikah itu sekali seumur hidup. Sambil cari pendapat, juga kita sambil pikirkan lagi semuanya. Kiai itu bukan orang sembarangan. Banyak yang cocok setelah bertemu dan meminta solusi padanya. Yang kasih tahu saudaranya Bapak yang buka kedai ketan itu lho. Dulu dikasih tahu kalau mau buka ada syarat-syarat yang harus dilakukan sesuai dengan hari kelahiran. Ternyata benar-benar cocok dan ramai sampai sekarang. Terus Mbak Lia yang jualan rumah makan lawas itu. Jualannya juga laris manis setelah mendapatkan solusi buka di hari apa oleh sang kiai. Insya Allah asal demi kebaikan, nggak apa-apa ya, Mbak. Bapak juga mau tanya perihal tanah di Besuki itu. Gimana caranya biar cepat laku. Soalnya nanti kalau emang beneran kamu jodoh sama Samran, butuh biaya juga untuk mengurus segala hal tentang pernikahan, kan."
Sora mendengar ucapan panjang kali lebar sang ibu dengan seksama. Perasaannya campur aduk dan berkecamuk.
Di lain sisi ia cukup tertarik dengan kesaktian kiai itu sampai bisa memprediksi laris tau tidaknya usaha hanya dengan mengetahui Weton orang yang bersangkutan. Dan juga tahu harus buka di hari apa, dengan segala persyaratan yang pastinya setiap orang beda syarat.
Tapi ia juga kasihan dengan orang tuanya. Jika benar ia akan menikah dalam waktu dekat, mereka pasti butuh banyak biaya untuk menggelar acara pernikahan.
Misal mau dilakukan secara sederhana pun, tetap saja namanya menikah, tetap butuh banyak biaya. Apa lagi lokasi rumah ini di desa. Meski tidak memberikan undangan, tetangga pasti banyak yang datang tepa selira sesama tetangga. Tidak mungkin tuan rumah tidak menyediakan makanan, minuman, cemilan, dan juga suvenir.
Lagi pula jika Sora benar-benar menikah, itu adalah prosesi mantu pertama kedua orang tuanya. Yang pasti di momen mantu pertama, kedua orang tua Sora ingin menyajikan prosesi yang spesial dan penuh arti, meski tidak mewah-mewahan.
Pak Fuad memang punya sebidang tanah seluas dua hektar. Luas sekali bukan? Letaknya di pegunungan Besuki di Kediri bagian paling barat.
Sayangnya keberadaan tanah itu tidak disertai lokasi yang strategis. Juga medannya yang tidak rata, bagian depan tunggu, bagian tengah sangat anjlok, dan tinggi lagi di belakang. Itu yang selama ini membuat orang maju mundur untuk membeli. Karena jika akan didirikan bangunan, pasti biaya untuk meratakan tanah tidak lah sedikit.
Belum lagi akses air di sana juga masih sangat sulit. Harus mengebor sumur sendiri. Dulu sudah pernah Pak Fuad coba minta orang untuk mengebor sumur di sana. Tapi sudah sampai 50 meter ke dalam tanah, tidak ditemukan juga sumber airnya.
Diperkirakan baru akan ada sumber mata air di kedalaman 150 meter di atas permukaan tanah. Di mana hal itu membutuhkan biaya ratusan juta.
Akhirnya proses pengeboran pun dihentikan.
Tanah itu pun akhirnya terbengkalai sampai sekarang.
Sudah diiklankan untuk dijual, tapi tak kunjung ada yang membeli. Sehingga membuat Pak Fuad pusing tujuh keliling. Punya aset, tapi tidak bisa dijual. Sementara kebutuhan mereka semakin bertambah saja seiring berjalannya waktu.
Tanah itu dulu dibeli dari hasil bagi warisan keluarga Pak Fuad. Bu Rahma sebenarnya menyarankan untuk memperbaiki rumah yang sudah ada saja. yakni rumah warisan orang tua Bu Rahma yang mereka tempati sekarang ini. Memang rumahnya sudah tua dan rawan ambrol di sana-sini
Tapi Pak Fuad tidak mau. Ia ngeyel ingin menginvestasikan uang warisannya pada tanah murah yang dijual oleh keluarga temannya. Dua hektar itu hanya dihargai 100 juta saat itu. Ekspektasi Pak Fuad, ia ingin memboyong keluarganya tinggal di sana suatu hari nanti.
Tapi Pak Fuad tidak memikirkan tentang banyak hal yang baru ia ketahui belakangan. Untuk beli material bangunan, sulit untuk mengangkut ke atas.
Untuk mengebor sumur, butuh ratusan juta.
Untuk pemasangan listrik, juga pasti dibutuhkan penanganan khusus.
Apa lagi mereka adalah manusia modern yang butuh koneksi internet dan pasang wifi. Sementara sinyal di sana sangat lah buruk.
Rencana mendirikan rumah di sana pun gagal. Mau dijual pun belum kunjung laku.
Apa lagi proses sertifikat tanah juga sangat sulit. Mengingat tanah itu katanya masih diakui sebagai tanah antah berantah. Belum pernah disertifikasi bahkan oleh pemilik sebelumnya. Hanya ada bukti beli berupa selembar kertas bernama petok D.
Tinggal sesal yang tersisa di hati Pak Fuad. Rencana besar yang ia gagas, hanya tinggal rencana.
Belum lagi jika Bu Rahma membahas kembali masalah tanah itu. Bu Rahma juga kesal. Andai saja waktu itu uangnya untuk membangun rumah ini, pasti sekarang rumah mereka sudah bagus.
Dan sisa uangnya jika ada untuk tambah modal usaha mereka di rumah.
Bu Rahma pun akhirnya keluar dari kamar anak pertamanya itu.
Tersisa Sora yang kini lemas. Sehingga ia kembali berbaring dan terlentang sambil menatap langit-langit kamar.
"Ya Allah ... kemarin-kemarin saya selalu berdoa. Saya pengin segera menikah, karena usia saya sekarang sudah 24 tahun. Udah banyak yang bilang saya perawan tua. Tapi sekarang saya baru tahu, ternyata urusan nikah itu ribet. Bahkan ini belum ada omongan tentang pernikahan lho. Tapi udah pusing aja saya mikirnya. Keluarga saya juga. Tolong berikan petunjuk ya Allah. Supaya kami tidak salah langkah. Supaya kami tidak salah mengambil keputusan. Tolong mudahkan dan lancarkan segala urusan kami. Tanpa halangan yang berarti. Aamiin."
Setelah Sora berdoa seperti itu, terdengar suara adzan maghrib berkumandang.
Sora mendengarkan dulu adzan itu sampai habis. Belum pernah ia merasa sesak sampai menangis ketika mendengar kumandang adzan. Baru sekali ini.
Bertepatan sekali dengan selesainya doa yang ia ucapkan.
Membuat Sora merasa Allah langsung memberi respons atas doanya. Seolah Allah meminta Sora untuk semakin mendekatkan diri pada-Nya, supaya ia bisa mengambil keputusan terbaik, sesuai dengan ala yang ditunjukkan oleh Allah.
Selesai Adzan, Sora pun akhirnya bangkit. Ia langsung berlari ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, dan segera sholat maghrib dengan khusyuk.