Sora mengerjap sesekali, menatap langit - langit kamar yang berbatasan langsung dengan asbes warna putih, tanpa plafon. Ya, memang seperti itu kondisi rumah Sora. Sangat sederhana.
Sudah butuh perbaikan di sana sini. Dinding serba mengelupas, atap sering bocor, apa lagi talang. Saat hujan, pasti harus memperbaiki dulu, kalau tidak mau rumah kebanjiran lokal.
Tapi meski begitu, Sora dan keluarga tetap bersyukur dengan rizki tempat tinggal yang mereka punya ini. Karena di luar sana masih banyak orang yang ingin punya tempat tinggal, tapi belum diberi.
Sora rasanya tidak bisa tidur. Entah karena adaptasi lagi karena sebulan ini lebih sering tidur di posko, entah karena memikirkan pertemuan keluarganya dengan keluarga Samran -- sekali lagi -- besok, atau memikirkan kata - kata Kiki ketika mereka akan sama - sama pulang ke rumah masing - masing tadi siang.
"Ya, KKN kita sudah berakhir. Tapi bukan berarti pertemuan kita berakhir pula. Nggak apa - apa dong sesekali kita ketemu. Nanti diumumkan di grup. Untuk yang mau aja. Yang nggak mau juga nggak apa - apa. Nggak maksa."
Sora terharu sekali dengan ucapan Kiki itu. Dan berharap ... benar - benar akan ada pertemuan lagi antara mereka.
Sora ... ingin bertemu semuanya lagi. Wenda, Dana ... Alshad ... dan semuanya.
Menghabiskan waktu berkualitas dengan Alshad yang tidak seberapa lama, Sora tidak menyangka jika efeknya akan sedasyat ini.
Sampai Sora tak bisa berhenti memikirkan pemuda itu. Terus terngiang - ngiang wajahnya, senyumnya, cara memperlakukan Sora yang seperti ratu.
Seandainya ia sedang rindu pada Samran, gampang. Tinggal chat saja.
Tapi kalau ia merindukan Alshad seperti ini ... tidak semudah itu lah untuk sembarang mengirim chat jika tidak ada alasan pasti.
Huff ... sekarang Sora sudah tahu penyebab pasti ia tidak bisa tidur.
Ternyata yang paling benar adalah ... ia sedang merindukan Alshad setengah mati.
Merindukan tiap kali Alshad mengganggunya. Merindukan cara Alshad memperlakukannya. Merindukan cara Alshad menatapnya.
Bahkan belum ada satu hari. Astaga ....
***
Pagi - pagi sekali Bu Rahma sudah pulang dari pasar. Membawa banyak sekali belanjaan. Membuat Sora satu - satunya anak dewasa yang ada di rumah, segera berhambur membantu ibunya.
Adik - adiknya yang besar - besar sudah kembali ke Surabaya dan ke pondok. Tinggal Sora dan Zona yang masih suka bangun siang.
Untung ini adalah hari libur. Jadi Zona tidak kena omel jika bangun siang hari ini.
"Belanja apaan aja, sih, Buk? Kok banyak amat?" Sora terheran - heran sembari mengangkat dua tas kresek besar belanjaan ke dalam rumah.
Bu Rahma melepas jaket dan helm, meletakkan pada tempatnya. Lalu sekalian memasukkan motor. Di wilayah pinggir jalan raya seperti ini sangat rawan terjadi peristiwa kemalingan. Malingnya juga nekat - nekat.
Sudah kenyang Sora dan keluarganya dengan pengalaman kemalingan. Jadi mereka sama sekali tak ingin peristiwa yang sama terulang kembali, dan mau tak mau terpaksa menciptakan trauma baru.
"Ya belanja buat dibawa ke rumah Samran nanti dong, Mbak. Mereka kemarin bawa makanan banyak saat ke sini. Ya nggak enak kalau kita nggak bawa makanan ke mereka juga." Bu Rahma baru menjawab pertanyaan Sora setelah menyusul putri sulungnya itu ke dapur.
Sora hanya manggut - manggut mendengar penjelasan ibunya. Ya benar sih. Malah tidak enak jadinya kalau ke sana tidak membawa makanan juga. Apa lagi jika tidak membawa apa - apa.
Sora mengeluarkan belanjaan sang ibu satu per satu. Ada banyak sekali jenis sayur - sayuran. Ada ayam yang dipotong kecil - kecil. Dan ada ayam yang utuh juga.
"Wuih ... ini buat apaan, Buk?" tanya Sora yang semakin heran saja dengan belanjaan ibunya.
"Buat ingkung, Mbak." Ingkung adalah masakan yang terbuat dari ayam utuh, yang biasanya digunakan untuk sebuah acara sakral atau peringatan hari tertentu.
"Wuih ... kok masak ingkung segala. Buat apaan? Emang ada yang ulang tahun? Emang ini tanggal 1 suro?" Sora benar - benar dibuat bingung dengan kelakuan ibunya.
"Kok masih nanya lagi, to. Ya nanti buat dibawa ke rumah Samran, Mbak." Bu Rahma jadi sedikit emosi juga lama - lama, karena Sora terus menanyakan hal yang sama sejak tadi, menurutnya.
"Astaga naga bonar! Buk ... apa nggak berlebihan kalau ke rumah Samran aja kita malah bawa ingkung segala? Ini baru aja sowan alias main lho, Buk. Kecuali kalau udah lamaran, itu baru lazim!" Sora berusaha menjelaskan pada ibunya. "Udah dimasak biasa aja deh, Buk. Ingkungnya buat kita makan sendiri aja."
"Astaga ... orang Ibuk mau kasih ingkung kok ke keluarga, Samran. Kamu jangan ngelarang - ngelarang deh. Bilang aja kamu yang pengin makan ingkung!"
Sora cemberut saja diomeli oleh ibunya. Ya benar sih Sora memang juga ingin makan ingkung. Tapi kan bukan begitu konteksnya.
***
Bude Liza masih sibuk berjualan daging. Hari sudah mulai siang, tapi pasar masih begitu ramai. Bude Liza bersyukur karena menurut pada sang jagal untuk menyetok banyak daging sapi hari ini. Ternyata sebagian besar sudah laku terjual. Tinggal sedikit lagi ia bisa pulang dengan membawa banyak uang.
Dari sekian pengunjung yang datang, baru saja tiba seorang pengunjung yang paling menarik perhatian Bude Liza.
Bude Liza langsung memasang tampang semringah. Tentu saja karena orang itu sebentar lagi akan menjadi saudaranya. Dia lah, Bu Pangestutik. Partner perjodohan Bude Liza, dalam menjodohkan keponakan mereka masing - masing, Samran dan Sora.
Seperti biasa, Bude Pangestutik selalu terlihat cantik dan modis di mana pun berada. Ia berjalan dengan langkah pasti menuju stand jualan Bude Liza.
Bude Liza langsung pasang senyum terbaik. Bersiap untuk menyambut Bude Pangestutik.
Dan benar saja, Bude Pangestutik baru saja berhenti tepat di depan stand daging sapi Bude Liza.
"Selamat siang, Bu Pangestutik. Tumben ke pasarnya agak siang, Bu." Bude Liza langsung melakukan basa - basi. Bude Liza sudah berencana, nanti ia akan memberi bonus yang banyak pada Bude Pangestutik untuk pembelian daging sapi yang ia lakukan.
Tapi, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi Bude Liza. Ia pikir Bude Pangestutik akan langsung menanggapi basa - basi Bude Liza dengan ramah dan antusias. Tapi Bude Pangestutik hanya diam, tidak tersenyum sama sekali.
Bude Liza curiga, tapi tidak mau berpikir macam - macam. Pikirannya, mungkin Bude Pangestutik sedang sangat lelah. Bahkan sampai siang sekali hari ini baru berangkat ke pasar.
"Daging hari ini 110 ribu, Bu." Bude Liza lanjut menawarkan dagangannya. "Khusus buat Bu Pangestutik saya kasih diskon. Satu kilo 100 ribu aja. Nanti masih saya kasih bonus paru - paru." Bude Liza menjelaskan masih dengan segenap keceriaan yang terpancar.
Bude Pangestutik lalu berdeham. Sebelum akhirnya ia angkat bicara. "Saya mohon maaf ya sebelumnya, Bu Liza. Maaf sekali lho, ya." baru juga membuka suara. Tapi nada bicara Bude Pangestutik sudah tak enak didengar sama sekali.
Saat itu lah, Bude Liza mulai percaya, bahwa memang ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang salah.
"Ada apa ya, Bu Pangestutik? Kenapa kok Anda tiba - tiba minta maaf?" Bude Liza langsung bertanya pada intinya. Perasaannya pun tak enak. Merasa kedatangan Bude Pangestutik ada hubungannya dengan perjodohan Sora dan Samran.
"Jadi begini, Bu Liza. Saya kemarin kan sempat menanyakan pada Bu Liza tentang apa weton - nya Sora. Nah, setelah itu saya pergi ke orang pintar untuk menanyakan kira - kira weton Selasa Pon dan Sabtu Legi. Ternyata jawaban orang pintarnya ... weton mereka berdua tidak cocok untuk perjodohan, Bu."
Bude Liza langsung terdiam setelah mendengar penjelasan Bude Pangestutik. Benar kan perasaan tak enaknya. Ini ada hubungannya dengan Samran dan Sora.
Bude Liza sebenarnya juga adalah seseorang yang percaya dengan perhitungan weton yang menentukan jodoh terbaik.
Tapi ... ia tidak suka dengan cara Bude Pangestutik.
"Mohon maaf ya, Bu Pangestutik. Lalu maksud kedatangan Bu Pangestutik tiba - tiba datang, dan menyampaikan hal ini pada saya apa?" Bude Liza lanjut bertanya. Sebenarnya ia sudah emosi. Tapi ia tahan sebisanya.
"Bukannya sudah jelas, Sora dan Samran bukan jodoh yang tepat jika dihitung berdasarkan weton mereka. Apa saya masih harus menjelaskan secara gamblang?" Bude Pangestutik malah naik pitam duluan.
Bude Liza pun tak bisa menahan emosi lagi. "Bu ... bukan kah kita sudah saling tahu apa weton mereka sejak sebelum mereka kita kenalkan. Seharusnya jika Bu Pangestutik berencana mengetahui kecocokan mereka atau tidak, lakukan sebelum kita mengenalkan mereka. Nah sekarang ... mereka sudah saling mengenal. Bahkan mungkin sudah saling suka. Apa Ibu tega mau memisahkan mereka?"
Bude Pangestutik hanya diam. Sebelum akhirnya menjawab dengan sama menyebalkan nya. "Ya saya nggak tahu. Saya akan bilang pada Samran. Dan Ibu Liza bilang pada Sora. Saya pamit dulu, assalamualaikum."
Bude Liza bahkan tidak nafsu untuk memanggil Bude Pangestutik kembali saking kesalnya. Ia menjawab salam dengan sedikit tidak ikhlas. Sambil memikirkan bagaimana caranya memberi tahu hal ini pada Sora dan keluarganya.
***