Aileen menutup mulutnya. Ia hampir saja ketahuan, atau memang dirinya sudah tertangkap basah. Perempuan itu menutup matanya, berharap Draco tidak akan datang menghampiri. Astaga! Aileen tidak tahu akan berucap apa, jika pemuda itu mendatanginya dan bertanya yang tidak-tidak.
“Draco! Ibu datang mengantarkan buah-buahan untuk kalian.”
Samar-samar, Aileen dari balik pohon pinus mendengar ucapan dari wanita paruh baya yang ia yakini adalah calon mertuanya. Ralat! Ibunda Draco Zero.
Merasa tidak ada tanda-tanda yang membuat keberadaannya terancam, Aileen mencoba mengintip dari balik pohon.
Benar saja. Pemuda bersurai hitam sudah berbalik arah, mengambil anak panah dan menuju ke tempat di mana dua wanita tengah duduk.
Aileen, dengan langkah pelan, berjalan menuju satu pohon ke pohon yang lain, menyembunyikan dirinya, agar tak ketahuan. Bisa gawat bukan? Jika Aileen tertangkap basah diam-diam menguntit pemuda tampan yang selama ini menjadi idaman para wanita itu.
Ya, semua ini bermula dari hari itu. Hari yang telah membawanya mengetahui pemuda bernama Draco Zero.
***
Di sore hari yang cerah, Aileen sebenarnya malas untuk menemani Jacob pergi membeli madu dan roti. Tetapi, karena desakan sang ayah dan ini demi tamu yang baru saja datang dari jauh, akhirnya Aileen menurutinya.
Aileen berjalan malas-malasan di belakang Jacob yang tak henti-hentinya mengulum senyum. Pemuda itu terlihat senang sekali, entah apa alasannya.
“Kita akan naik satu kuda saja, apa kamu tidak keberatan?” tanya Jacob.
Aileen mengernyit, heran. “Kenapa kita tidak mengendarai kuda sendiri-sendiri saja? Lagi pula, aku ini bisa mengendarai kuda sendiri, tahu.”
Jacob tersenyum tipis. “Apa kamu yakin tidak akan tertinggal? Di sore hari, biasanya pasar sangat ramai.”
Aileen mengangguk pasti, membuat Jacob menyetujuinya. “Ya sudah. Jangan sampai tertinggal.”
Keduanya lalu segera menaiki kuda yang sudah dikeluarkan oleh para prajurit. Jacob sudah lebih dulu melajukan kudanya, pergi meninggalkan istana.
Sedangkan, Aileen melajukan kudanya dengan kecepatan sedang. Meski begitu, dari kejauhan, ia bisa melihat Jacob bersama kudanya. Sehingga, ia tak takut untuk tertinggal.
Aileen melihat Jacob turun dari kudanya, dan mendekati salah seorang pedagang. Ia sendiri memilih untuk menepikan kudanya ke dekat perpustakaan.
Mata Aileen menjelajah ke sekeliling pasar. Betul apa yang dikatakan oleh Jacob, pasar sangat ramai di sore hari. Aileen sampai pusing, melihat banyaknya orang yang berlalu-lalang.
Saat sedang asyik mengamati penjual sayuran yang ramai akan pembeli. Mata Aileen menangkap seorang nenek tua berjalan tertatih-tatih sambil membawa sekeranjang besar buah-buahan. Saking sulitnya membawa keranjang, ia terlihat sempoyongan. Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda satu pun orang yang bergerak untuk mendekatinya dan menolong.
Aileen yang merasa tidak tega, turun dari kudanya, berniat mendekati nenek tua itu. Lagian, terlihat pula bahwa Jacob belum selesai belanja.
Saat hendak menyeberang, seorang pria tanpa sengaja menubruk tubuhnya. Aileen hampir saja limbung, jika saja tangan Jacob tak segera menariknya.
“Kamu mau ke mana? Aku sudah belanja. Ayo kita pulang.” Jacob terlihat setengah marah dan khawatir.
Aileen tidak mampu menjawab. Apalagi terdengar keributan, dan entah sejak kapan nenek tua yang tadi ia perhatikan sudah jatuh dan buah-buahannya diinjak tanpa perasaan oleh pria yang tadi menabraknya.
Aileen berusaha melepaskan cengkeraman tangan Jacob. Namun, pemuda itu tak membiarkan adik tirinya itu pergi.
“Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa. Lebih baik, kita diam di sini,” ujar Jacob sambil menarik Aileen mendekati kuda keduanya yang sudah berjejer.
“Saya minta maaf ...,” kata Nenek itu dengan lirih. “saya tidak sengaja menabrak Anda, Tuan.”
“Hey, tua bangka! Kamu sudah membuat pria tampan ini jatuh. Enak saja meminta maaf! Sebaiknya kamu ganti rugi!”
Baru saja pria itu hendak memukul nenek tua, tangan kekar menahan pergelangan tangannya.
“Wow! Rupanya ada pahlawan kesorean!” seru pria itu. Akan tetapi, pemuda yang menggenggam tangannya tampak diam saja.
Pria itu sejurus kemudian, melepaskan tangannya dari cengkeraman si pemuda, lalu memukul pemuda yang hendak menolong si nenek. Tetapi, pemuda itu segera menghindar dan malah menyerang pria itu habis-habisan.
Aileen yang melihatnya, khawatir sampai mencengkeram jubah yang dipakai Jacob. Pemuda bersurai cokelat, menepuk pundak Aileen, mencoba menenangkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Pertarungan satu lawan satu yang baru saja terjadi, dimenangkan oleh pemuda yang memakai pakaian serba hitam. Pria yang sudah kalah, memilih segera kabur.
Tanpa basa-basi, pemuda itu pun membantu sang nenek mengambil buah-buahan yang masih bagus dan menaruhnya di keranjang. Tak lupa, pemuda itu memberikan beberapa uang logam kepada sang nenek untuk kerugian yang dialaminya.
Sang nenek menatap pemuda itu sendu, terlihat mengucapkan kata terima kasih berkali-kali. Tetapi, pemuda itu malah tersenyum dan membantu sang nenek membawa keranjangnya.
Aileen tersentuh dengan pemandangan yang ia lihat. Pemuda itu sangat baik hati. Ia hadir di saat, tidak ada satu pun orang yang berani membela sang nenek.
Jantung Aileen berdegup kencang, saat tanpa sengaja, mata pemuda itu menatap ke arahnya. Bukan! Jelas sekali, pemuda itu tak menatapnya. Akan tetapi, menatap pada perempuan cantik di belakang Aileen, saat putri kaisar itu menoleh ke belakang.
“Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu ya, Jessy. Kakakku sudah menjemputku.”
Perempuan bernama Jessy itu mengangguk, lalu berteriak sedikit keras kepada perempuan bersurai hitam sebahu, “Kakakmu, Draco, dia sangat tampan dan pemberani. Titip salam untuknya ya!”
Aileen melihat perempuan itu tersenyum pada Jessy. Kemudian menyeberang jalan menuju pemuda yang sudah menaiki kuda.
Nama pemuda itu adalah Draco Zero. Selamat! Telah berhasil masuk ke dalam hati tuan putri Aileen.
***
Aileen tersenyum, mengingat kejadian pertama dirinya mengetahui sosok Draco. Ia masih berusaha meyakinkan hatinya, apakah ini hanya perasaan sesaat berupa kekaguman atau bukan? Tetapi, setiap matanya menangkap pemuda yang memiliki surai segelap malam, d**a Aileen berdegup begitu kencang.
Kekaguman yang awalnya tidak akan menumbuhkan rasa yang disebut cinta, kini kian menggebu. Bahkan, ia rela membohongi para prajurit kepercayaan ayahnya, setelah kakak tirinya izin pergi untuk kembali ke istana.
Kesempatan itu, Aileen lakukan untuk membuntuti Draco dan memandangi pemuda idaman itu secara diam-diam saat sedang berlatih. Pemuda itu sangat tampan dan gagah.
Berakhir bersembunyi di balik pohon, Aileen bisa melihat keluarga kecil yang bahagia. Adik Draco yang Aileen ketahui bernama Krystal terlihat sangat lucu ketika merajuk. Perempuan itu pasti sangat cocok dijadikan sahabat dan teman berkeluh kesah.
Hati Aileen seketika tercubit, saat melihat nyonya Zero memeluk Krystal dengan penuh kasih sayang. Jujur saja, sejak kecil, Aileen tidak mengenal ibunda tercintanya. Aileen tersenyum miris, saat matanya melihat keakraban itu sangat nyata di hadapannya.
Air mata Aileen hampir saja jatuh, jika saja, ia tak dikejutkan dengan anak panah yang dilempar oleh nyonya Zero. Luar biasa! Tanpa busur, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu bisa menancapkan busur ke pohon yang lumayan jauh.
Aileen pun segera menyembunyikan dirinya kembali sambil tertawa kecil. Kembali mengintip, Aileen kalang kabut, sebab Draco menghampiri pohon tempatnya bersembunyi. Tidak punya banyak waktu untuk berlari, Aileen menutup matanya, saat ia mendengar langkah pelan menujunya.
Draco mengetahui keberadaan Aileen sedari tadi, pemuda itu pun tahu, jika Aileen bersembunyi tetap di pohon di mana anak panah yang dipelesatkan ibunya.
Pemuda bersurai hitam, mencabut anak panah. Sebelum meninggalkan pohon pinus yang kokoh dan tinggi. Ia sempat berkata, “Jika kamu ingin bergabung, kemari saja.”