Draco menggulung lengan pakaiannya lalu menghampiri Krystal yang sudah siap berlatih dengan memasang kuda-kuda depan.
“Are you ready?” tanya Draco menatap pada Krystal yang mengangguk.
Pemuda berpakaian serba hitam itu, langsung memosisikan diri dengan kuda-kuda depan. Bersiap latihan tarung dengan sang adik.
Baru saja Draco hendak memberi aba-aba, Krystal malah lebih dulu melancarkan aksi memukul. Adiknya itu, bergerak sangat gesit, dan berkali-kali menggunakan teknik menebah, membuat Draco cukup kewalahan untuk menangkis.
Krystal mundur beberapa langkah dengan senyum miring. Ia menunggu aksi sang kakak untuk menyerangnya terlebih dahulu. Namun, Draco malah mengayun-ayunkan tangannya, membuat Krystal keheranan.
“Ayo--” ucapan Krystal terhenti, saat tiba-tiba Draco menyerangnya.
Sang kakak bergerak sangat cepat dan tak terkendali, membuat perempuan itu terus memfokuskan diri untuk menangkis dengan cepat agar tidak kalah.
Ketika Draco mulai bergerak pelan, Krystal memutar tubuhnya dan menendang dengan entakkan telapak kaki yang sejajar dengan bahu. Akan tetapi, belum mengenai sang kakak, Draco malah lebih dulu menangkap kakinya. Kemudian, memutarnya sehingga tubuh Krystal jatuh telungkup ke rumput.
Krystal menghela napas. Ia selalu saja kalah dari sang kakak yang lebih tua dua tahun darinya. Kakaknya itu selalu saja bisa membuat dirinya jatuh dan memenangkan latihan. Ingin rasanya, sekali saja, perempuan itu bisa mengalahkan Draco yang terkenal tangguh.
Krystal pun bangun, tak memedulikan pakaiannya yang basah. Ia memosisikan dirinya kembali dan memiliki tekad yang bulat untuk membuat sang kakak kalah. Perhitungan sebelum menyerang, sangat diperlukan kali ini.
Krystal dan Draco saling berputar sambil menatap. Pemuda bersurai hitam, menyuruh Krystal menyerang lebih dulu. Tetapi, perempuan dengan rambut sebahu itu masih belum bergerak sedikit pun.
Krystal akhirnya menyerang dengan melakukan pukulan dan sikutan berkali-kali. Tak lupa, diiringi dengan tendangan dengan kaki bagian atas dan samping. Terus-menerus, tetapi Draco dengan cepat menghindar dan menangkis. Pemuda itu benar-benar tak bisa ia kalahkan.
Akhirnya, Krystal mengeluarkan teknik yang lain. Perempuan itu menatap ke kakaknya penuh isyarat, seakan mengucapkan bahwa kali ini Draco harus bersiap-siap untuk kalah. Ia menyerang Draco dengan pukulan atas dan hampir mengenai kepala pemuda berpakaian serba hitam. Jika saja, Draco tak menahan tangan Krystal dan sedetik kemudian menggelengkan kepala.
“Kamu ini sungguh tidak sopan. Aku ini Kakakmu!”
Krystal melepaskan tangannya dari genggaman Draco. Ia lalu berkacak pinggang. “Itu kan hanya teknik. Lagian, tidak bisakah Kakak mengalah untuk kali ini saja?”
Pertanyaan itu terdengar konyol di telinga Draco. Ia mengerutkan kening sambil memandang ke arah adiknya. Benar sekali! Sang adik memang sangat payah, teknik yang digunakan pun itu-itu saja. Ia hanya berusaha melawan dan mengharapkan kemenangan.
“Begini, Krystal. Kakak tidak mungkin mengalah darimu. Sebab, lawan yang sesungguhnya tidak akan pernah mengalah sebelum dirinya menang.”
Krystal menelan ludah. Draco sendiri memilih untuk mengambil tas tali tarik milik Krystal dan mengambil kendi kecil yang ada di dalamnya. Pemuda itu meneguk sedikit sebelum kembali menatap sang adik.
“Lagi pula, kamu sendiri bukan yang meminta Kakak untuk mengajarimu untuk bertarung. Lalu, kenapa kamu malah mengeluh?”
Krystal menjawab dengan lantang, “Aku tidak mengeluh!”
“Jadi, yang tadi namanya apa? Sudahlah, kamu kan tahu, Kakak tidak suka mengajari orang yang hanya ingin menang saja.”
Krystal menunduk, mencoba mencerna kalimat yang keluar dari bibir sang kakak. Ia lantas tersenyum kepada Draco yang keheranan.
“Ayo, coba sekali lagi!”
Draco menuruti ucapan Krystal, sekaligus mengetes adiknya yang keras kepala ini. Keduanya sudah siap dengan kuda-kuda. Perempuan dengan rambut sebahu, mulai bersiap menyerang kembali.
Kali ini, ia akan menang. Mengingat sang kakak yang menggunakan teknik yang sama terus-menerus untuk menghindari serangannya. Ya, ia sudah memikirkannya matang-matang.
Krystal mulai menyerang Draco dengan teknik sebelumnya, yaitu menebah. Berkali-kali pun Draco menahan serangan itu, sampai Krystal mengubah teknik menjadi menampar. Tetapi, Draco kembali menangkis dengan cepat.
Perempuan dengan rambut hitam sebahu tidak mau mengalah. Ia harus mampu mengalahkan sang kakak. Dengan perhitungan yang matang, ia melakukan pukulan tanpa jeda diteruskan dengan tendangan lurus dan samping.
Hasilnya ... ia tetap tidak bisa mengalahkan Draco yang sudah kembali berdiri tegap. Sungguh menyebalkan!
Draco yang mengetahui kekesalan sang adik, menggelengkan kepala. “Sudahlah! Kamu memang tidak cocok untuk bertarung. Sebagai perempuan, kamu harusnya dilindungi, bukan melindungi. Lebih baik, kamu diam di rumah dan memasak untuk suamimu.”
Ucapan Draco menohok Krystal yang melupakan satu hal, bibir kakaknya itu sangat pedas. Meskipun, apa yang diucapkannya ada benarnya juga. Akan tetapi, Krystal tetap berpegang teguh pada pendiriannya.
Perempuan memang tidak perlu susah payah berlatih tarung, karena akan ada pria yang melindunginya. Namun, tak ada salahnya bukan? Sebagai antisipasi, barangkali saja, tidak ada pria yang bisa melindunginya.
“Aku ingin menjadi kuat. Ajarkan aku, Guru!” Krystal tiba-tiba berubah sikap menjadi formal. “Agar kelak, jika suamiku tak bisa melindungiku, aku bisa melindungi diriku sendiri.”
Draco mengernyit. “Pulanglah. Aku akan berlatih memanah,” katanya sambil mengambil busur dan panah.
Krystal merengut kesal. Apakah kakak tampannya itu, baru saja mengusirnya?
Draco sudah memakai busur dan siap berlatih untuk memanah. Tetapi, Krystal malah menghadangnya. Pemuda itu menghela napas dan menurunkan anak panah yang baru saja ia ambil.
“Apa kamu ingin mati?”
Krystal menggeleng. Ia harus membuat kakaknya mau berlatih sekali lagi. Ia akan mengalahkan kakaknya yang menyebalkan ini.
“Ayo bertarung sekali lagi. Aku tidak akan kalah!” ucap Krystal dengan tegas dan berani.
Draco maju mendekati Krystal, lalu memegang bahu sang adik. “Berhentilah merajuk dan pulang. Tidak akan ada perubahan, jika kamu hanya ingin menang. Berlatihlah di rumah dan katakan pada Ibu bahwa--" ucapan Draco terhenti saat jari telunjuk Krystal berada di bibirnya.
“Baiklah ... baiklah. Mari kita akhiri latihannya. Tapi, jangan menyuruhku pulang. Aku ingin melihat Kakak berlatih memanah.”
Krystal pasrah dan memilih menghampiri batu besar berbentuk pipih. Ia duduk di atasnya sambil meminum air dari kendi.
Draco sendiri sudah siap berlatih memanah. Ia melirik sang adik beberapa saat, sebelum matanya memandang pada pepohonan yang lumayan jauh. Pohon-pohon yang berjejer itu akan menjadi sasaran utamanya.
Draco menempatkan anak panah ke busur, matanya menyipit sebelum memelesatkan anak panah berkali-kali dengan posisi yang bergeser tiga puluh derajat ke kanan dan kiri.
Krystal yang baru saja menaruh kendi, menatap hal itu dengan takjub. Perempuan itu tak pernah tahu jika sang kakak sehebat itu dalam memanah. Tidak hanya itu, anak panah pun tertancap dengan sempurna ke sasaran. Krystal lalu bertepuk tangan, memberi apresiasi kehebatan kakaknya.
Draco yang menyadari hal itu, hanya menggeleng. Ia lalu mengambil satu per satu anak panah yang tertancap di pohon. Jumlahnya ada tujuh anak panah yang ia pelesatkan, hanya tertinggal satu lagi yang belum terlepas.
Baru saja Draco ingin mendekati pohon terakhir, dan melepaskan anak panah yang tertancap di sana. Matanya tanpa sengaja melihat sosok perempuan berparas jelita. Pemuda itu tidak salah lihat, putri Kaisar Alvate, Aileen, ada di sana dan memperhatikannya lalu bersembunyi di balik pohon pinus.
Draco menoleh sesaat pada sang adik yang belum menyadari kehadiran Aileen. Ia pun hendak menghampiri sosok yang ia duga Aileen, jika saja suara yang tak asing di rungunya, tak membuat ia mengurungkan niatnya.
“Draco! Ibu datang mengantarkan buah-buahan untuk kalian.”