Bab 5

1069 Kata
Pikiran-pikiran gila mengenai seorang pembunuh yang sengaja memperlakukan Jessi dan Rachel memenuhi isi kepala gadis muda itu sekarang. Bahkan meski pakaiannya telah berganti dengan sebuah piyama tidur biru bercorak polkadot putih, Jessi tetap tidak bisa berhenti memikirkan gagasan yang terlontar dari mulut Jason pagi ini. Seseorang mungkin berniat membunuh kalian. Terdengar sedikit mengerikan. Bagaimana seorang murid berusia 17 tahun sudah memiliki musuh yang bahkan mampu memikirkan cara untuk menghabisi nyawa mereka berdua dengan cara yang sangat rumit untuk diprediksi. Jessi ditemukan sekarat di belakang sekolah, sementara Rachel tewas karena terjatuh dari lantai empat bangunan sekolah. Gadis itu memperhitungkan di dalam diam, jarak lokasi mereka cukup jauh. Posisi Rachel sangat mencolok, karena lokasi tubuhnya terjatuh berada di area lapangan sekolah. Jalur pusat semua murid dapat melihat jasadnya dengan sangat jelas. Bahkan ketika murid-murid baru memasuki gerbang First High School, pemandangan pertama yang akan mereka tangkap adalah lapangan sekolah yang sangat luas dengan ring basket di masing-masing tepi. Namun hal berbeda justru terjadi kepada Jessi. Meski mereka ditemukan bersama-sama, area kebun di belakang sekolah tentu bukanlah titik utama bagi semua orang. Perlu usaha untuk menemukan gadis sekarat itu di sana. Beruntung intuisi sang ibu tidak pernah salah, Emma tidak menyerah dan akhirnya berhasil menemukan putri sematawayangnya di sana. Namun bukankah semuanya sudah jelas, bahwa pelaku mungkin memang menginginkan Jessi mati di sana , dengan cara yang lebih menyakitkan –setidaknya. Jessi bangkit dari ranjangnya. Mata birunya yang terasa sudah jauh lebih baik dan tidak mengalami bengkak menoleh, menatap jam dinding berbentuk lingkaran yang menggantung di kamarnya. Pukul delapan, sudah cukup malam untuk berpura-pura belajar. Namun tangan kurus gadis itu tetap piawai saat mengetikkan sesuatu pada Macbooknya. “Mari kita lihat apakah ada sesuatu yang bisa kutemukan.” Gadis itu membuka laman google, tempat dimana dirinya akan menemukan sebuah artikel berita mengenai insiden yang terjadi beberapa hari lalu di sekolah. SEORANG MURID TEWAS SETELAH TERJATUH DARI GEDUNG SEKOLAH. FHS TELAH KEHILANGAN PENGAWASAN. SEORANG MURID MEMBUNUH DIRINYA SENDIRI. KORBAN BULLYING? Judul dan isi artikel berita yang berkaitan dengan insiden yang menimpa dirinya dan Rachel justru membuatnya mengernyitkan kening dalam-dalam. Ia menggigit bibir bawahnya pelan sebelum kemudian berkata, “Kenapa semua berita ini hanya membahas Rachel?” Ya. Tidak ada dari satupun artikel berita itu yang menyebutkan tentang dirinya. Padahal Jessi ada di sana, di tempat dan dalam insiden yang sama. Dirinya juga terluka, bahkan lebih parah daripada yang orang lain kira. Amnesia ringan diagnosanya, kehilangan memori karena syok dan trauma. Ujung telunjuk Jessi terus bergerak dengan cepat, men-scroll halaman demi halaman, artikel demi artikel agar bisa menemukan sebuah berita yang memuat gadis lain di dalam adegan mengerikan tersebut. Namun semakin cepat gadis itu bergerak, gejolak penasaran di dalam dadanya justru dibuat semakin meningkat. Ia tidak menemukan apa-apa dan hal tersebut justru menghasilkan tanda tanya besar. Mengapa dirinya tak ada di berita manapun? “Semua orang hanya membahas kematian Rachel, tapi tidak ada satupun tentang aku,” ucap Jessi, berbicara kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba sebuah kalimat yang juga didengar Jessi pagi ini dari Monnie terlintas begitu saja. Dosa. Apa sungguh yang terjadi kepadanya dan Rachel adalah karena dosa mereka berdua? Namun, dosa apa? Sebesar apa dosa mereka sampai-sampai seseorang tega membunuh sebuah nyawa? Dering ponsel yang mendadak terdengar berhasil mengejutkan gadis itu. Jessi terkesiap dan menyadari bahwa ponselnya yang tergeletak di atas kasur terus begetar dan menghasilkan suara. Penasaran, tubuh gadis itu pun beranjak dari meja belajar dan kembali duduk di tepi ranjangnya sendiri. Netra biru itu menatap layar ponsel dengan nama Williams yang muncul di bagian depannya cukup lama. Sejak kapan dirinya dan sang ketua basket di kelasnya berteman, sampai-sampai mereka bertelponan pada waktu selarut ini? Rasa ingin tahu di dalam diri Jessi jelas lebih besar. Ia pun menekan ikon hijau di layar dan mulai menempelkan ponselnya ke telinga. “Hi, Jessi?” “Um, Hi,” balas Jessi ragu. “Aku tidak ingat bahwa kita cukup dekat untuk saling menelpon di waktu selarut ini, William.” Ada tawa kecil yang terdengar dari sebrang sana. Sedikit rendah dan terdengar dipaksakan. Hanya sebentar, sebelum kemudian sang penelpon kembali membuka suara. “Kau mungkin akan sedikit bingung. Aku turut prihatin atas amnesiamu.” Gadis itu mengernyitkan kening meski William jelas tidak dapat melihatnya sekarang. “Tapi apa kau sibuk sekarang?” Dan Jessi menggumam di sana, berpikir untuk melontarkan jawaban apa kepada salah satu murid popular di sekolah. “Tergantung situasinya. Ada apa?” “Begini, bisakah kita bertemu dan membicarakan kembali soal pertukaran loker?” “Pertukaran loker?” William menggumam, terdengar mengiyakan. “Kau sempat memintaku untuk bertukar loker.” “Kapan?” Karena Jessi benar-benar tidak yakin pernah melakukan hal semacam itu. Ia sungguh tidak mungkin melakukan hal semacam itu – terutama dengan William. Mereka tidak cukup dekat dengan itu. Kalaupun Jessi terlalu bosan dengan lokernya, ia pasti akan meminta Rachel untuk melakukannya. Sungguh, ini terdengar aneh. “Kurasa sebelum insiden itu.” Artinya sebelum Jessi kehilangan sebagian memori di dalam otaknya dan sebelum Rachel – “Aku tidak yakin pernah memintamu melakukan hal itu, Will. Seperti, sungguh?” “Um, ya, aku hanya berpikir apa yang kau katakan itu benar,” jelas William, yang justru membuat kepala Jessi terasa nyeri, karena tak mengerti sama sekali. “Soal rahasia di antara kita.” Rahasia? Tentu bibir gadis itu sudah gatal sekali ingin bertanya rahasia apa yang dimaksud oleh William. Namun, Jessi berpikir-pikir lagi. William mungkin akan memanfaatkan situasi ini untuk berbohong atau melakukan sesuatu. Sehingga satu-satunya yang terpikirkan oleh Jessi yang notabenenya tidak tahu apa-apa adalah berbohong, bersikap pura-pura tahu. “Bagaimana jika aku berubah pikiran?” William kembali menggumam, kali ini sedikit lebih lama. Ada jeda yang cukup panjang sebelum teman sekelas Jessi dan Rachel itu kembali mengisi percakapan. “Kupikir kau tidak akan suka jika seseorang mengetahui apa yang sudah kita lakukan kepada Rachel,” katanya. Pertanyaan seperti, memangnya apa yang sudah mereka lakukan terhadap Rachel memenuhi rongga d**a Jessi. NAmun lagi-lagi gadis itu berusaha menahan diri. Ia tidak ingin ketahuan, ia tidak boleh tertangkap basah. Sehingga Jessi kembali terpaksa memutar otak, mencari diksi yang tepat untuk kembali memancing sang lawan bicara untuk mengungkap rahasia. “Um, aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan, William. Mungkin kau membahas sesuatu yang lain atau mungkin kau salah orang,” dalihnya. “Ck! Ayolah, Jessi. Kau tidak mungkin lupa, bukan, bahwa kita berdua pernah berkencan dan mengkhianati Rachel?” “A –apa? Berkencan denganmu dan –apa apaan ini?!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN