HAPPYY READING
***
Jantung Vero maraton ketika pria itu melangkah mendekatinya. Vero menoleh menatap Ester, ia tidak tahu kenapa pria itu ada di sini menemuinya. Ia mengigit bibir bawah, bingung akan melakukan apa selain diam dan bergeming.
“Cowok lo Ver?” Tanya temannya yang lain.
“Eh, bukan-bukan,” sanggah Vero, ia tidak ingin sahabat-sahabatnya salah prasangka.
“Masa sih?” Ucap yang lain.
“Iya, beneran suer,” Vero mencoba meyakinkan kepada mereka.
“Ya ampun, dia ke sini,” desis Ester.
“Cakep gila.”
“Lebih oke dari Jay tau!”
“Ih, kalian apaan sih?”
“Kerja apa?”
“Udah deh jangan kepo, rese banget nih cowok, datang-datang ke sini,” dengus Vero kesal.
Vero menarik nafas ketika pria itu melangkah mendekat, ia meletakan gelasnya di meja. Kini Kafka berada di hadapannya. Mereka saling menatap satu sama lain, jika mengingat kejadian beberapa jam lalu membuat hatinya panas. Ia turun dari kursi, ia menghela nafas, memandang iris mata tajam pria itu.
“Ngapain kamu ke sini,” tanya Vero, ia seperti ini agar Kafka tahu kalau ia sangat tidak welcome.
Kafka melipat tangannya di d**a, bisa-bisanya wanita itu mengatakan kenapa ada di sini, tanpa rasa bersalah. Padahal, ia berada di sini karena dia memberitahu keberadaanya dengan sang mama. Kalau bukan karena mama dan papa, lebih baik ia pulang ke apartemen tidur, dari pada menjemput wanita sinting ini.
“Mama nyuruh kamu pulang,” ucap Kafka tenang.
Vero nyaris menganga mendengar mama menyuruhnya pulang, “Maksudnya? Ini yang nyariin mama kamu atau mama saya?” Tanya Vero gelagapan, jika mama nya jelas tidak mungkin karena dari tadi siang ia sudah ijin pergi bersama teman-temannya.
“Mama saya.”
Vero terbelalak kaget, “HAH! Mama kamu? What? Ngapain nyuruh saya pulang?”
Vero nyaris tidak percaya, dan ia shock luar biasa. Bisa-bisanya mama Kafka menyuruhnya pulang? Mereka baru kenal tadi, dan tiba-tiba menyuruhnya pulang. Sebenarnya orang tua kafka tidak berhak menyuruhnya pulang seperti ini, karena ia bukan siapa-siapa.
“Enggak hanya mama sih, papa juga,” ucap Kafka lagi.
Ester melirik ekpresi Vero yang tampak shock luar biasa, karena mungkin Vero tidak terima di suruh pulang medadak seperti ini, lagi pula party baru saja di mulai, ia menghela nafas. Ester mengulurkan tangannya kepada Kafka.
Tadi Vero mengatakan bahwa Kafka itu jelek, namun kenyataanya pria itu sangat tampan, terlebih tubuhnya tinggi proporsional. Terlihat jelas bahunya yang bidang. Ia menatap wajah Kafka hingga tidak bisa berkedip karena terlalu sempurna. Dia memiliki rahang tang tegas, hidung mancung, dan alis yang tebal.
“Saya Ester temannya, Vero,” Ester menglurukan tangannya kepada pria itu, ia tidak peduli bahwa ia berinisiatif berkenalan terlebih dahulu.
Kafka membalas uluran tangan wanita berambut sebahu itu, “Saya, Kafka.”
Sedetik kemudian Kafka melepaskan uluran tanganny.
“Oiya, ini temannya, ini Cakra dan Indah,” ucap Ester memperkenalkan Kafka kepada sahabat-sahabatnya.
Kafka tersenyum kepada pria dan wanita tidak jauh darinya dan mereka berkenalan. Ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 23.50, ini sudah hampir jam dua belas malam, ia harus segera pulang dari sini.
Kafka kembali menatap Vero, wanita itu masih menegak apple martini nya, “Ayo, balik,” ucap Kafka.
“Enggak, enak aja nyuruh balik,” ucap Vero.
Kafka berolak pinggang, “Kalau kamu nggak nyebutin, kamu ada di mana tadi sama mama, saya nggak akan repot-repot samper kamu di sini, paham?” Ucap Kafka penuh penekanan.
“Tapi kamu bisa kan, bilang kalau saya sudah pulang, tanpa perlu ikut kamu,” ucap Vero, tidak mau kalah.
“Mama saya nggak akan percaya kalau saya nggak ada bukti.”
“Ih, aneh aja deh, perlu bukti segala.”
“Itu lah mama saya. Cepat pulang, biar urusan kita cepat selesai.”
“Enggak mau! Enak aja, baru aja nyampe!” Dengus Vero.
Kafka menarik nafas, ia tahu betapa keras kepalanya wanita ini, ia lalu menarik pergelangan tangan Vero begitu saja. Langkah Vero terseok-seok dipaksa pulang oleh pria yang paling ingin ia hindari. Vero memberontak ingin melepaskan tangannya, namun tenaga Kafka lebih kuat dari dirinnya. Kafka terus melangkah menuju pintu keluar.
Sementara di sisi lain ada seorang pria menatapnya dari kejauhan. Ia segera berdiri melihat reaksi pria membawa Vero dengan paksa keluar. Ia tidak tahu siapa pria itu, namun ia tidak suka melihat pria yang memperlakukan Vero dengan tidak baik seperti itu.
Jay dengan cepat melangkah pintu keluar, ia lalu menghadang Vero dan pria itu. Seketika mereka saling berpandangan satu sama lain.
“Who are you? Lepasin tangan dia!” Ucap Jay penuh penekanan dengan berani menatap Kafka.
Kafka mengerutkan dahi, ia memandang Vero. Vero shock luar biasa ketika Jay menghadang mereka. Oh God, ia bingung akan berbuat apa menghadapi dua pria di hadapannya ini.
“Saya yang justru tanya, siapa kamu?” Tanya Kafka.
Jay tersenyum culas, “Saya mantannya, tolong lepasin tangan Vero,” ucapnya lagi, bagaimanapun ia seorang pria tidak suka melihat mantannya diperlakukan seperti ini.
“Owh ya?” Kafka menatap Vero.
“Mantan kamu?” Tanya Kafka lagi.
“I … ya,” ucap Vero gelagapan, oh Tuhan, ia bisa gila memikirkan Jay yang mangaku sebagai mantannya secara teran-terangan, padahal posisi pria itu bersama pasangan barunya. Beranii-beraninya menghadangnya.
Kafka lalu melepaskan tangannya, namun reaksi Vero justru mengapit lengannya. Kafka mengerutkkan dahi melirik reaksi Vero.
“Siapa dia?” Tanya Jay penasaran.
Vero menatap iris mata Kafka yang memandangnya. Vero menarik nafas panjang beberapa detik, sang mantan kini berada di hadapannya, menanyakan siapa Kafka. Dalam menyikapi ini tentu saja ini membuatnya kebingungan. Pria itu saja sudah memiliki gandengan baru dengan begitu cepatnya, ia tidak mengucapkan sesuatu karena ia memang tidak mampu, bukan karena tidak ingin, ada ego melebihi pikirannya.
“Siapa dia?” Tanya Jay lagi.
Vero menelan ludah, semakin ditanya jiwanya semakin ingin meronta, bagaimanapun harga dirinya dipertaruhkan di sini.
“Pacar aku,” ucap Vero pelan.
Kafka mengerutkan dahi, ia nyaris tidak percaya bahwa bibir penuh itu menyematkan dirinya dengan kata pacar. Ia hampir saja ingin menggeram, padahal beberapa jam yang lalu wanita itu membantah sana sini bahwa mereka tidak berpacaran, sekarang justru sebaliknya. Ia tahu bahwa wanita ini, memanfaatkan dirinya, di hadapan sang mantan.
Kafka melepaskan tangannya, sedangkan Vero menatapnya memohon. Kafka menyungging senyum, ia lalu merangkul bahu Vero, ia tahu apa yang harus ia lakukan menghadapi sang mantan.
“Kamu sudah dengarkan, dia siapa saya?”
Jay menatap Kafka cukup serius, ia menarik nafas beberapa detik, ia harus menerima kenyataan bahwa mantan kekasihnya itu memiliki pacar lain.
“Tolong, jangan kasar sama dia,” ucap Jay memandang Kafka, sejujurnya di dalam lubuk hatinya paling dalam, ia masih menyayangi mantan kekasihnya itu.
“Kamu tenang saja, saya nggak akan kasar, saya hanya ingin kekasih saya aman, di sini bukan tempat dia.”
“Ayo, sayang kita pulang,” ucap Kafka, ia menarik Vero ke plataran mobil.
“Iya,” ucap Vero pelan.
Vero menyeimbangi langkah Kafka menuju parkiran. Ia tidak tahu, ia akan berterima kasih atau kesal menghadapi situasi ini. Sekarang tugasnya bagaimana menjelaskan kepada Kafka, agar pria itu tidak salah paham.
***