Bab 6

1564 Kata
Happy Reading *** “Kok bisa menyebalkan?” Tanya Ester penasaran, ia menyesap brandy nya menatap sahabatnya. “Lo tau nggak, tadi pas gue di sana, apesnya mas Andre nggak ngasi gue kartu RSVP. Otomatis gue nggak bisa masuk dong, apalagi gue salah dress code, semuanya pakek putih, gue sendiri pakek item sendiri. Sumpah itu bete banget.” “Gue panik, gue telfon-telfon mas Andre nggak bisa, gue mau balik aja.” “Terus, terus,” Ester semakin penasaran. “Ada cowok gitu bantuin gue masuk. Ternyata dia tuh si adik pemilik acara.” “Wih, tajir abis dong, anak yang punya Mayapadi Group itu kan?” “Tapi tetep aja resek, sok kegantengan, sok cool menyebalkan deh.” “Kenapa?” “Lo tau apa yang terjadi gue di sana, gua ngambil minuman di meja prasmanan, eh tuh buket jatuh di hadapan gue, otomatis gue ambil dong, kaget gua dapat buket segala.” “Terus.” “Semua orang yang di sana ngeliatin gue terheran-heran, karena katanya yang di undang itu hanya orang-orang terdekat pengantin, orangnya nggak banyak, semua nggak kenal gue siapa. Gua bingung banget sumpah, cemas gue. Eh, si dokter itu di samping gue, dan doi ngomong kalau gue temen deketnya dia dan akan nyusul saudaranya segera.” “Nyusul kawin?” “Iya.” “Punya nyali juga tuh dokter.” “Gue otomatis marah dong sama dia. Lo tau kan sendiri, cowok profesinya dokter itu, paling gue hindari. Gue ngomel-ngomel tuh sama dia, gila aja gue pacar dia? Baru aja kenal, udah ngaku-ngaku, gue berantem sama dia. Lo tau apa yang terjadi selanjutnya? Ada bokap nyokanya, nyangka gue sama dia beneran pacaran. Gue pusing banget ketemu sama tuh cowok, gila, sinting tuh cowok.” “Iya, parah sih, kalau udah ngaku-ngaku pacar apalagi di sana ada bokap dan nyokapnya, jadi ribet gitu kan?” “Setuju sama lo!” “Terus, terus.” “Yah, gitu deh. Semoga aja gue nggak ketemu lagi sama dia,” ucap Vero. “Cakep nggak?” “Siapa?” “Yang ngaku-ngaku jadi pacar lo?” “Enggak, jelek banget. Ogah gue sama dia.” “Masa sih?” “Kalau nggak percaya yaudah, dia cowok paling jelek yang pernah gue lihat. Jelek banget pokoknya.” “Masa sih,” Ester masih ragu dengan ucapan Vero. “Siapa namanya?” “Kafka.” “Dari namanya sih ganteng.” “No, no, jangan dilihat namanya. Dia nggak seganteng yang lo bayangin.” Vero menatap ponselnya bergetar di meja begitu juga dengan Ester. Vero dan Ester saling berpandangan. Ia menatap nomor baru yang tidak di kenal sedang memanggil. “Siapa?” Tanya Ester. Vero mengedikan bahu, “Enggak tau. Biarin aja lah, palingan orang iseng.” “Angkat aja dulu, siapa tau penting.” Vero menghela nafas, ia mengigit bibir bawahnya sejenak, ia bingung harus angkat apa tidak. “Enggak, ah, berisik, ini kan di bar. Lo angkat deh.” Ester mengambil ponsel Vero, ia menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga kirinya. “Iya, halo,” ucap Ester. “Halo, nak Vero, ini tante, mama nya Kafka,” mama Kafka mendengar suara dentuman music di balik speaker. Ia menatap Kafka dan suaminya nya. “Kenapa ma?” Tanya Kafka yang sedang memanuver mobil menuju rumahnya. “Ini, mama telfon pacar kamu. Kayaknya dia lagi di club.” “HAH! Vero? Mama nelfon Vero.” “Mama Cuma mastiin dia udah apa belum.” “Kenapa mama nelfon Vero? Ampun deh.” “Kayak nggak ada kerjaan aja, deh,” ucap Kafka, lagi-lagi tentang Vero, mau Vero ke mana aja, ya terserah dia, enggak ada urusan sama dia. Ia juga sudah malas jika berhubungan dengan cewek pengangguran itu. Alis Ester terangkat, ternyata yang menelfon itu adalah mama nya Kafka. “Siapa?” Tanya Vero, menatap reaksi wajah Ester. “Mamanya Kafka,” ucap Ester pelan. “What!” Ester turun dari kursi dan lalu berlari menuju toilet, lalu diikuti oleh Vero dari belakang. Vero terheran-heran kenapa mama nya Kafka menelfonnya, ia tidak habis pikir kenapa seperti itu. Ester bersyukur bahwa toilet tidak terlalu ramai, namun tetap saja dentuman music terdengar. “Nak Vero ada di club?” Tanya mama Kafka memastikan. Ester menarik nafas, “Maaf tante, ini temannya Vero. Kebetulan Vero lagi di toilet tante.” “Owh temennya Vero, tante pikir ini nak Vero.” “Tante mau ngomong sama Vero?” “Iya.” “Bentar ya tante, Vero bentar lagi keluar.” “Iya.” Ester menunggu beberapa detik, lalu menyerahkan ponsel itu kepada Vero. Vero hanya bisa nelangsa dalam hati, kenapa malam-malam seperti ini mama Kafka menelfonnya. Ia ingin sekali membenturkan kepalanya. Dalam rangka apa, menelfonnya larut malam seperti ini. “Iya, halo tante,” ucap Vero hati-hati. “Nak Vero ada di club?” “Iya tante,” ucap Vero, karena begitulah kenyataanya. “Club mana?” Tanya mama Vero penasaran. “Di Fable SCBD tante.” “Sama siapa nak Vero?” “Sama temen-temen tante. Kenapa tante?” Tanya Vero penuh hati-hati. “Tante cuma tanya aja, kirain tante kamu udah sampe rumah. Tante Cuma khawatir sama nak Vero. Tadi mau mastiin udah sampe belum di rumah,” ucap mama Kafka, lalu memandang Kafka. “Tadi Vero, dari pesta langsung ke sini tante. Soalnya udah janjian sama temen-temen kampus dulu.” “Yaudah kalau gitu, nak Vero hati-hati, ya.” “Baik tante.” Mama Kafka mematikan sambungan telfonnya, mobilpun tiba di komplek perumahannya. Ia menatap Kafka. “Kamu samper Vero sana!” Perintah mama. “HAH!” Kafka menghentikan mobilnya di plataran rumah, ia menoleh menatap sang mama. “Samper ke sana? Ngapain ma?” “Mama takut Vero kenapa-napa, Kaf. Vero lagi di club, tau kan kalau di club bagaimana?” “Ya, itu urusan dia ma, mau club atau mau ke mana aja terserah Vero.” “Kamu jadi pacar kok nggak ada perhatian sama sekali Kaf,” ucap papa, menghidupkan lampu dasbor. “Iya, bener banget pa. Itu pacarnya ada di club, bukannya khawatir, malah di biarin. Kalau Vero kenapa-napa bagaimana?” Tanya mama. Papa keluar dari mobil menatap putra keduanya, ia bertolak pinggang, “Kamu samper Vero sana, ini udah hampir jam sebelas.” “Tapi pa.” “Cepet sana samper Vero,” perintah papa. “Mama takut Vero kenapa-napa, Kaf.” “Oh God,” desis Kafka, ia tidak habis pikir kedua orang tuanya menyuruh samper Vero, ia hampir gila memikirkan ini semua. Kenapa ia harus mengurusi Vero, Vero yang notabene bukan kekasihnya. “Cepat samper sana.” “Emang di mana sih, dia?” Tanya Kafka ogah-ogahan. “Katanya tadi di Fable sama temennya.” “Cepet kamu ke sana,” ucap papa memperingati. “Iya, iya.” Kafka masuk ke dalam mobil, ia bisa gila ketemu wanita sinting itu lagi. Ia merasa kesal luar biasa kenapa orang tuanya semua mengkhawatirkan Vero. Padahal ia tidak memiliki hubungan apa-apa dengan pria itu. Kafka kembali memanuver mobilnya, ia meninggalkan rumah berpagar tinggi itu, mau tidak mau ia ke Fable. Bagi Kafka Fable itu tidak asing untuknya, jujur ia pernah ke sana bersama teman-temannya. Dari Menteng ke SCBD memang tidak terlalu jauh. Ia melajukan mobilnya menuju SCBD di mana Vero berada. Ia tahu bagaimana ibu nya seperti apa. Jika tidak di samper si Vero, maka akan menjadi bulan-bulanan setiap hari dan menyalahkannya. Ia tahu efeknya seperti apa jika mendengar ocehan itu. *** Tidak butuh lama akhirnya ia tiba di Fable, ia memarkir mobilnya di tempat parkiran. Ia membuka jas nya, dan menyimpannya di sandaran kursi. Seperti biasa suasana club ini selalu ramai, ia menggulung kemejanya hingga siku. Setelah itu ia mengunci pintu mobilnya, ia menuju lobby Fabel. Ketika ia berada di pintu masuk, ia menarik nafas panjang, bagaimana cara ia menemukan Vero dari keramaian manusia yang ada di sini, di tambah suasana club yang gelap, belum lagi banyak yang mabuk-mabukan. Ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 11.20 menit. Ia membeli tiket masuk di kasir, setelah itu ia masuk ke dalam lounge mencari keberadaan Vero. Suara dentuman music terdengar dari segala sisi. Ia memfokuskan penglihatannya, agak sulit mencari seorang wanita bernama Vero di sini, apalagi dia menggunakan dress hitam. Music DJ membuat siapapun yang datang akan ikut bergoyang. Ia tidak menyangka bahwa Vero senang ke tempat-tempat seperti ini. Ia melihat beberapa gadis menggodanya, ada pria yang sedang merangkul wanita, mengecup dan mencumbu. Ada yang sudah mabuk dan dibawa security menggunakan kursi roda, ada yang berantem di table, begitulah keadaan di club, blum lagi ada yang memakai obat-obat terlarang. Langkahnya terhenti menatap seorang wanita duduk di kursi bar, sambil tertawa-tawa bersama teman-temannya. Ia merasa lega sudah menemukannya. Wanita itu masih mengenakan pakaian yang sama. Wanita itu mengenakan pakaian yang sama ketika pesta tadi. “Vero!” Otomatis Vero menoleh ke arah sumber suara, ia menatap seorang pria di sana. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku, ia tahu siapa pria itu, dia adalah pria yang ada di pesta tadi. Semua sahabat-sahabatnya juga ikut menoleh ke samping dan mereka bertanya-tanya siapa pria tampan yang sedang berdiri di sana memanggil namanya. Mereka saling berpandangan satu sama lain dan Kafka secara reflek mendekati wanita itu. “Siapa, Ver?” Tanya Ester. “Kafka.” “Yang tadi di pesta?” “Iya.” “Ngapain dia ke sini?” “Enggak tau, aneh,” dengus Vero. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN