Bab 4

1594 Kata
HAPPY READING *** Vero dan Kafka lalu menoleh ke arah sumber suara, mereka menoleh ke arah samping menatap seorang wanita separuh baya, mengenakan kebaya putih. Siapa dia? Vero bertanya-tanya dalam hatinya. Vero dan Kafka, sama-sama saling menetralkan nafas, ia berusaha setenang mungkin, karena ada orang lain di antara mereka. Ia tidak mungkin cek cok dihadapan orang tua. “Mama,” ucap Kafka. Vero yang melihat itu nyaris menganga, ternyata yang ada di hadapan mereka ini adalah mama-nya Kafka. Vero menahan nafas beberapa detik. “Mama ngapain di sini?” Tanya Kafka. “Mama mau kenalan sama pacar kamu,” ucap mama, menatap wanita cantik di samping putranya. Kafka lalu menoleh menatap Vero, mereka saling berpandangan satu sama lain. “Maaf tante, saya bukan pacar Kafka,” sanggah Vero. “Iya, ma. Vero bukan pacar Kafka kok. Tadi hanya iseng, keceplosan,” Kafka juga ikut menjelaskan, ia tidak sudi berpacaran dengan wanita bernama Vero. Mama Kafka tersenyum menatap putranya, “Mama tahu kalau kalian berdua masih malu-malu. Tadi mama denger sendiri, kalian berdua mau nyusul Eros.” “Siapa namanya?” Tanya mama, kepada Vero. “Saya tante?” “Iya, kamu.” “Saya Veronica tante,” ucap Vero, ia mengulurkan tangannya kepada wanita separuh baya itu, sangat tidak sopan jika seperti ini, ia tidak memperkenalkan dirinya, apalagi sudah di tanya secara langsung. Mama Kafka lalu memeluk tubuh Vero, “Senang kenalan dengan kamu Vero.” “Iya, sama-sama tante.” Mama Kafka melepaskan pelukannya, ia memandang wajah cantik Vero, “Udah lama sama Kafka?” Tanya mama penasaran. “Saya sama Vero, nggak pacaran kok tante,” timpal Vero klarifikasi. “Ah, masa. Tadi ngakunya pacaran.” “Enggak tante, beneran.” Mama Kafka tersenyum, “Biasa anak muda biasa malu-malu.” “Wah, calon menantu lagi ma?” Vero dan Kafka memandang pria separuh baya mendekati mereka. Vero yakin, bahwa pria itu adalah ayahnya Kafka. “Iya, ini namanya Veronica, pacarnya Kafka.” “Vero, ini ayahnya Kafka,” ucap mama memperkenalkan Vero kepada suaminya. “Halo, Vero, senang berkenalan dengan kamu,” ucap papa, ia memandang gadis di samping Kafka. “Iya, o*******g juga kenalan dengan, om.” Papa menatap Kafka yang hanya diam, “Kenapa nggak pernah di bawa ke rumah, Kaf?” Ucap papa. Kafka melirik Vero yang hanya diam, “Baru kenal kok, pa.” “Jadi pacarannya baru?” Kafka tidak menjawab pertanyaan papa, papa lalu tersenyum memandang Vero. Ia menepuk bahu Kafka. “Kalian belum makan kan? Makan sama-sama ya,” ucap papa. “Tapi pa,” Kafka ingin perotes, ia tidak ingin Vero berada satu meja dengan kedua orang tua, karena akan memperkeruh keadaan. “Ayo, kita duduk di sana. Kita makan dulu sama-sama,” ucap mama, ia merangkul bahu Vero, menuju table keluarga. “Haduh, tante maaf. Enggak enak Vero.” “Enggak enaknya di mana?” “Vero salah dresscode tante.” “Ah, enggak apa-apa, enggak masalah besar, kok,” ucap mama. “Silahkan duduk Vero,” ucap mama, beliau mempersilahkan Vero duduk di kursinya. Vero lalu duduk di samping mama Kafka, ia memandang Kafka yang berada di hadapannya. Pria itu memperhatikannya dengan tatapan tidak suka. Mereka tiba-tiba terjebak di table ini. “Calon menantu baru,” ucap wanita yang berada di table yang sama mereka. “Iya, ini pacarnya Kafka, yang tadi dapat buket bunga.” “Wah, bentar lagi Kafka nyusul dong.” “Semoga aja,” ucap mama Kafka tersenyum. “Vero, tadi itu adiknya tante. Itu juga kakaknya tante, terus itu juga abang tante. Semua di meja ini, keluarga besar kita,” tunjuk mama memperkenalkan kepada Vero. Vero memperhatikan wajah-wajah baru di table. Dan ia pun berkenalan dengan semua keluarga besar Kafka satu persatu, ia melihat Kafka yang hanya diam dan menatapnya. Ia di sini juga karena kepalang tanggung. Ini semua karena Kafka, jika pria itu tidak mengatakan bahwa dirinya sang pacar di hadapan semua orang, ia tidak mungkin terdampar di sini. Vero meraih cangkir berisi wine, ia menyesap itu untuk mewaraskan pikirannya, ia bersumpah setelah ini ia tidak akan bertemu dengan Kafka lagi. Apalagi ia sudah terlambat untuk pergi berkumpul dengan teman-temannya di club malam ini. “Vero, tinggalnya di mana?” Tanya mama, memasukan makanan ke dalam mulutnya. “Vero tinggal di Permata Hijau tante.” “Permata Hijau di dekat Senayan itu,” ucap papa. “Iya,bener om, dekat Sudirman.” Kafka melirik Vero, ia tahu bahwa itu adalah salah satu kawasan perumahan elit di Jakarta selatan. Hunian apartemen dan perumahan mewah ada di sana. Property di sana, di hargai dihargai sangat fantastis. “Orang tuanya Vero ada bisnis?” Tanya papa, karena beliau tahu bahwa yang tinggal di Permata Hijau memiliki status social yang tinggi. “Papa punya perusahaan tambang Nikel di Sulawesi, dan sekarang yang bantu kerjaan papa mas Andre, saudaranya Vero.” “Vero berapa saudara?” “Dua om.” “Berarti sama dong, dengan Eros dan Kafka. Kalian sama-sama anak kedua, biasanya cocok,” ucap papa terkekeh. Vero melirik Kafka, pria itu memakan makanannya dengan tenang. Oh Tuhan, ia tidak bisa berkata-kata, karena terlalu shock. Kini ia sudah seperti memasuki sesi interview keluarga. Ia pastikan tidak akan bertemu lagi dengan Kafka, karena dia sangat memperumit keadaan. Kafka yang ia lihat sekarang seolah menulikan telinga dan bisa makan dengan tenang. Sementara dirinya, memutar otak menjawab rentetan pertanyaan yang di berikan oleh kedua orang tua Kafka. “Papa dan mama Vero, masih sehat?” “Sehat banget tante.” “Nanti kapan-kapan, tante sama om ,silatuhrami ke rumah kamu ya. Oiya, nomor HP Vero berapa?” Tanya mama lagi. Kafka yang mendengar itu memandang sang mama. Ia hanya nelangsa dalam hati, ia ingin sekali menggeram, karena kesal. Bisa-bisanya alur ceritanya seperti ini. Vero dengan sangat terpaksa ia menyebutkan nomor ponselnya dan mama Kafka menyimpannya di ponsel. Papa menatap Vero, pada dasarnya ia sebagai orang tua mencari calon besan yang setara dengannya. Baginya Vero sudah sesuai dengan keluarganya, dan ia lihat sangat cocok dengan putranya Kafka. Bagaimanapun, family’s heritage. “Kaf, nanti kapan-kapan kita silaturahmi ke rumah Vero, ya.” “Iya, pa,” ucap Kafka tenang, ia menarik nafas, suasana mendadak gerah. “Vero ke sini sama siapa?” Tanya mama. “Sama driver tante. Drivernya nungguin Vero di parkiran.” “Aduh, kasihan drivernya. Kenapa nggak di suruh masuk, di suruh makan dulu. Nanti di bawain aja makan, tante minta server buat take away.” “Iya tante.” “Vero kuliah di mana?” Tanya papa, sambil memasukan makanan ke dalam mulutnya, ia hanya ingin tahu calon menantunya seperti apa. “kuliah di Ecole Ducasse di Prancis spesialis Patisserie, om.” “Wah, hebat itu. Jadi pinter ya Vero buat, bakery.” “Yah, gitu deh om. Rencananya mau bisnis cookies gitu.” “Hebat itu, tante dukung. Kamu sama Kafka, sama-sama spesialis. Kafka spesialis bedah jantung dan kamu spesialis patisserie.” Eros dan Kenny mendekati keluarganya, mereka juga ingin tahu siapa kekasih Kafka, karena mama dan papa terlihat bersemangat. “Jadi ini pacarnya Kafka?” Tanya Eros. Vero menatap ke pengantin, ia tahu bahwa pria itu adalah saudaranya Kafka. Vero tersenyum, ia lalu berdiri. Ia menatap wanita cantik di samping Eros. “Iya, namanya Veronica. Vero, ini Eros dan ini Kenny, nanti yang bakalan jadi kakak ipar kamu.” Vero lalu berkenalan dengan Eros dan wanita bernama Kenny itu. Vero lalu menyerahkan paperbag itu kepada Eros. “Ini dari mas Andre, gift wedding.” “Andre?” Tanya Eros, ia memandang Kenny. Andre itu temen aku sayang. Kamu tahu kan, Andre yang punya Citra Silika Malawi, atau CSM Group, yang punya tambang Nikel di Sulawesi.” “Owh Andre yang itu. Aku tahu kok orangnya yang mana. Biasa selalu di undang ke istana presiden, wajah Andre sering masuk ke majalah bisnis, karena salah satu produsen nikel terbesar di Indonesia. Sekarang katanya kerja sama dengan pemerintah,” ucap Eros. Eros memandang Kafka yang hanya diam, pria itu hanya menyimak percakapan mereka. Eros menepuk bahu Kafka, “Selamat ya, kamu bentar lagi nyusul. Karena Vero yang berhasil dapat buketnya,” ucap Eros tertawa. “Iya.” Eros dan Kenny kembali, berbaur dengan tamu-tamu yang lain. Sementara Vero masih menjawab rentetan pertanyaan dari mama dan papa. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada orang tuanya dan mengatakan bahwa Vero itu bukan siapa-siapannya. Agar semuanya tidak terlalu banyak berharap dengan yang tak pasti. Ia juga tidak sudi bersanding dengan Vero. Akhirnya acara, ia dan kedua orang tuanya mengantar Vero ke area parkiran, wanita itu berisap untuk pulang. “Makasih ya Vero sudah datang.” “Iya, sama-sama tante.” “Om, tante, Vero pulang dulu ya,” ucap Vero sebelum ia masuk ke dalam mobil Alphard putih itu. “Hati-hati ya pak bawa mobilnya,” ucap papa Kafka, kepada driver. “Baik pak,” ucap pak Irwan. “Salam buat mama dan papa kamu, Ver.” “Baik om.” “Mari, om, tante. Vero pulang dulu ya,” Vero berpamitan, ia lalu masuk ke dalam. Semenit kemudian mobil Kafka menatap mobil Alphard itu mulai meninggalkan area parkiran. Kafka merasa lega akhirnya Vero menghilang dari pandangannya. Semoga saja ia tidak pernah bertemu lagi dengan Vero setelah ini. “Kafka,” ucap papa. “Iya, pa.” “Kamu dan Vero, kapan nyusul nikah?” Tanya papa. Alis Kafka terangkat, “Belum tau pa. Kafka juga belum yakin dengan Vero,” ucap Kafka, ia lalu melangkah meninggalkan mama dan papanya, sebelum rentetan pertanyaan tentang Vero. Karena baginya Vero adalah wanita yang baru ia kenal tadi dan ia juga tidak tahu apa-apa tentang Vero. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN