Happy Reading
***
“Saya seorang dokter,” ucap Kafka.
“Really?”
“Yes.”
“Oh God, pasti kamu cerdas sekali,” ucap Vero, ia memperhatikan Kafka, wajahnya tampan, rambutnya tertata rapi. Ia tidak bisa membayangkan betapa cerdasnya pria itu.
“Dokter spesialis?”
“Iya, saya dokter spesialis bedah jantung.”
“Wow, itu luar biasa. Good, semoga ilmu kamu bermanfaat.”
Kafka lalu tersenyum, ia kembali melihat Vero, ia menatap ke arah depan. Mereka memandang pengantin di sana sedang berdansa. Mereka fokus ke acara pernikahan. Suasana pesta tampak bergembira, dan server mulai menyediakan makanan di meja. Sejujurnya ia lebih suka, ketika ada acara pesta, makanan utama tersedia di meja seperti ini diibanding mengambil di buffet.
Vero mengambil gelas bertangkai tinggi itu, menyesap wine secara perlahan. Ia bingung ingin berbicara apa lagi dengan pria bernama Kafka. Sejujurnya ia tidak terlalu tertarik dengan pria berprofesi dokter seperti Kafka. Ia tidak tahu alasanya apa, mungkin karena terlalu cerdas, dan hidupnya terlihat sangat flat, monoton, dan kaku.
Setelah memberikan gift ini, mungkin ia akan pulang. Lagi pula, di dalam pesta ini tidak ada satu orangpun yang ia kenal kecuali Kafka. Apalagi ia memasang wajah tebal, karena ia merupakan satu-satunya orang mengenakan dresscode hitam.
“Kafka,” ucap Vero.
“Iya, kenapa?” Tanya Kafka.
“Kayaknya saya nggak bisa lama-lama deh di sini.”
“Acara belum selesai, Vero.”
“Apa saya nggak bisa nitip ke kamu, gift dari mas Andre,” ucap Vero.
“Kenapa buru-buru banget? Kamu juga baru datang,” Tanya Kafka.
Vero menarik nafas, “Enggak enak aja sih dilihatin banyak orang karena beda sendiri, soalnya saya salah dress code. Semua tamu undangan pakek dress code putih, hanya saya yang hitam sendiri.”
“No problem, bukan masalah besar. Semua orang taunya, kamu tamu saya.”
“Bukan seperti itu, Kaf.”
“Tunggu habis pelemparan bunga saja, sebentar lagi juga acara hiburan,” Kafka menenangkan Vero yang buru-buru mau pulang.
Vero kembali memperhatikan ke arah depan, step by step acara pesta sudah di lakukan. Ia menyesap wine nya lagi secara perlahan. Ia melirik Kafka yang masih berada di sampingnya.
“Umur kamu berapa?” Tanya Kafka penasaran.
“Umur saya tahun ini 25. Kamu?”
“30 tahun. Kesibukan kamu sekarang apa?”
Vero tertawa, “Saya menganggur, di rumah aja. Nonton Netflix, kalau capek ya belanja, ke rumah temen, bikin kue, ke club. Nothing special, kalau nggak, ya bantu papa dan mas Andre di office,” gumam Vero.
“Udah punya pacar?”
Vero kembali tertawa, “Cowok kalau mau pacarin saya juga bakalan mikir beberapa kali.”
“Kenapa?”
“Yah, mana ada cowok suka cewek pengangguran seperti saya. Saya juga kadang males sih pacaran, ada beberapa yang suka, cuma kadang saya males balas w******p, atau males angkat telfon, nggak tau deh, males aja. Saya aja nggak tau, mau arah ke mana tujuan hidup saya. Pacaran males banget.”
“Why?”
“Ada beberapa alasan, saya masih punya trust issue dengan laki-laki. Saya sedikit egois, kayaknya masih belum bisa menyatukan dua kepala yang literally berbeda. Saya lebih sering mikir bahwa pacaran itu bukan jalan menuju kebahagiaan melainkan complicated things yang bisanya bikin riweh diri sendiri. Dan saya merasa masih cukup dan penuh dengan diri saya sendiri.”
“Yah, seperti itulah. Pokoknya bukan tipe idaman banyak pria. Lagian masih enak sendiri gini dibanding dengan pasangan.”
“Bukan tipe kamu banget deh pastinya,” Vero terkekeh.
“Bagaimana kamu tahu, kalau kamu bukan tipe saya.”
“Random aja,” Ucap Vero memandang Kafka.
“Justru kamu ngomong seperti itu, pria tertantang mendapati kamu.”
“Really?” Vero meraih cangkirnya lagi, ia menyesap wine secara perlahan.
Kafka menyungging senyum, ia melipat tangannya memperhatikan Vero. Ia akui bahwa wanita di hadapannya terlihat biasa, seperti wanita cantik pada umumnya, tapi ada yang menggelitik di hatinya. Wanita itu tidak ingin berpacaran, itu point utamanya.
Secara nalurinya sebagai seorang pria ia memang suka dengan wanita cantik, karena laki-laki adalah mahluk visual. Secara ideal tentu saja ia suka dengan wanita pintar, cerdas, baik, dan cantik. Untuk menjadi cantik itu gampang, tinggal pergi ke dokter kecantikan, maka wajahnya bisa berubah menjadi boneka Barbie yang bisa berbicara.
“Saya lebih suka wanita apa adanya. Dan lagi pula saya juga tidak terobsesi dengan wanita yang terlalu cerdas. Cukup saya saja yang cerdas, bukan wanita saya.”
“Semoga kamu segera menemukannya.”
“Semoga saja.”
Kafka dan Vero menatap ke depan, akhirnya acara hiburanpun di mulai, penyanyi menyanyikan lagu Taman Hidup – Tulus dan sudah masuk ke sesi hiburan. Vero beranjak dari kursinya, ia melihat para tamu undangan melakukan hal yang sama. Karena ini akan masuk ke moment yang paling ditunggu-tunggu oleh para tamu di sebuah pesta pernikahan.
Di mana wanita dan pria lajang berkumpul bersama. Sampai sang mempelai wanita melempar buket untuk perebutkan. Karena siapa saja yang berhasil merebut buket bunga tersebut diyakini akan beruntung dan segera menyusul menikah.
“Kamu mau ke mana?” Tanya Kafka menatap Vero.
Sebenarnya yang ada di dalam pikiran Vero saat ini adalah menghindari pria bernama Kafka, “Mau ke buffet,” ucap Vero, ia meraih gelas bertangkai tinggi itu, ia berjalan menjauhi Kafka.
Namun Kafka juga ikut beranjak dari duduknya, ia menyeimbangi langkah Vero menuju buffet. Ia memperhatikan Vero. Wanita itu memiliki postur tubuh yang ideal, mereka melangkah menuju meja presmanan.
“Kamu ngapain?” Tanya Vero, padahal ia ke sini ingn menghindari Kafka.
“Nemanin kamu.”
Padahal ia ingin sendiri, bukan di temani seperti ini. Jika ditemani rasanya kurang bebas, ia ingin mencicipi berbagai dessert di sana, karena terlihat sangat mengguggah selera.
Suara riuh dan sorak gembira terdengar dari sana. Vero hanya menatap dari belakang, ia memilih berdiri di dekat meja prasmanan, sambil menyesap wine nya, sesekali memperhatikan tamu dan pengantin. Mereka mendengar suara hitungan dari para tamu dan MC.
Satu … Dua … Tiga …
Pengantinpun melempar bunga dengan semangat, Vero yang berdiri di dekat meja prasmanan, ia mendongakan wajahnya ke atas, memandang bunga itu di atas kepalanya. Dengan reflek Vero lalu menyambut buket bunga itu dan tangannya menyambut buket. Kini bunga itu dalam genggamannya.
Suasana pesta yang tadinya meriah dan riuh, tiba-tiba senyap. Semua orang memandangnya dengan tatapan bertanya-tanya, siapa dirinya. Vero bergeming dan canggung luar biasa, ia menelan ludah, bingung harus berbuat apa. Ia menelan ludah karena sekarang ia menjadi pusat perhatian banyak orang. Terlebih dia salah satu orang yang mengenakan pakaian berbeda di sini.
Kafka melirik Vero dan Vero menatapnya balik. Mereka saling berpandangan stau sama lain beberapa detik. Mereka sama-sama masih terlalu bingung.
“Dia Veronica, pacar saya,” ucap Kafka tenang.
Veronica yang mendengar itu nyaris menganga, “What the f**k?” Umpat Veronica dalam hati.
“Terima kasih, semoga saya dan Veronica segara menyusul saudara saya,” ucap Kafka dengan jelas di hadapan semua tamu.
Vero tidak bisa berkata-kata ketika pria itu lalu merangkul bahunya, ia yang masih shock bibirnya terasa kelu ingin perotes. Semua tamu undangan bertepuk tangan untuk Kafka dan Veronica. Senyum mengembang diperlihatkan kedua orang tuanya di sana.
Suasana pesta kembali semarak dan berbahagia. Setelah itu diisi dengan acara hiburan. Vero bertolak pinggang menatap Kafka. Vero menarik tangan Kafka ke arah sudut area.
“Maksud kamu apa sih, ngomong kayak gitu di depan banyak orang!” Ucap Vero penuh emosi.
“Orang pasti nyangkanya, saya pacar kamu!”
“Kamu tuh gila ya. Saya aja, baru kenal kamu tadi!”
“Bagaimana bisa, kamu berpikir saya menjadi kekasih kamu!”
“Apalagi nyusul saudara kamu menikah. Oh Tuhan, saya nggak bisa bayangin seperti apa.”
“Di sini kamu tuan rumah saya, pasti keluarga besar kamu ada di sini semua. Dan mereka nyangkanya saya pacar kamu.”
“Jujur saya tidak ada tertarik sedikitpun sama kamu!”
“Ingat, saya nggak tertarik sama kamu!”
“Saya nggak suka dokter, bagi saya dokter itu hidupnya sangat membosankan, flat, kaku,” timpal Vero.
Kafka memperhatikan Vero, dia berbicara dengan penuh emosi dan mengatakan dia tidak tertarik dengan seorang dokter, karena hidupnya sangat membosankan. Jujur baru kali ini ada seorang wanita yang mengatakan secara gamblang bahwa dokter itu hidupnya sangat kaku.
Padahal survei mengatakan bahwa wanita mendambakan pria yang berprofesi sebagai dokter. Survey juga mengatakan pekerjaan paling sexy itu adalah dokter. Dokter itu profesi yang paling perhatian dan pintar. Banyak wanita modern mengungkapkan mencari pasangan seorang dokter, karena dianggap paling sexy ketimbang di dunia perbankan dan ekonomi.
Sekarang ada wanita dengan lantangnya tidak menyukainya. Padahal dia hanyalah wanita yang baru saja ia tolong beberapa menit yang lalu dan pekerjaanya juga tidak jelas.
Dia hanyalah seorang wanita pengangguran yang ia tolong dan standar kecantikannya biasa saja. Ia merasa tertampar, bahwa proses belajarnya hingga belasan tahun di dunia kedokteran, terasa sia-sia hanya dengan satu kata monoton, kaku, flat dan membosankan.
“Saya juga tidak suka dengan wanita pengangguran dan bodoh seperti kamu.”
Vero terbelalak kaget, “HAH!”
“Saya pikir kamu wanita manja yang hidupnya tidak lebih mengandalkan uang orang tua.”
“Saya yakin hidup kamu jauh lebih membosankan dari pada saya. Dengan hanya stay di rumah tidak melakukan apa-apa. Apa yang kamu kerjakan tidak memiliki manfaat apapun selain menyusahkan banyak orang.”
“Ingat, saya juga tidak suka dengan wanita bodoh seperti kamu.”
“Siapapun prianya, dia tidak akan suka dengan cewek yang tidak tahu ke mana arah tujuan hidupnya.”
“Kamu hanya bisa bermimpi, pria berkualitas akan suka dengan kamu.”
“Saya yakin, pria yang suka dengan kamu itu, hanya ingin memanfaatkan tubuh dan uang orang tua kamu.”
Vero shock, mendengar Kafka memakinya secara blak-blakan. Wajahnya memerah dan panas, karena gejolak emos yang ditimbulkan, ucapan Kafka seolah tertancap pada dirinya, hingga ia ingin sekali melayangkan high heels nya pada pria itu sekarang juga. Tidak hanya itu dia juga sangat tidak sopan dan sarkatis,
“Kafka.”
****