6. Dari Masa Lalu

1272 Kata
Bab 6  Zizah dengan tidak sabar ingin segera melapor ke Ika tentang apa yang baru saja didengarnya. Saat Ika mendengar kabar ini pasti akan menjadi hiburan menarik bagi Zizahmelihat reaksi Ika yang kalang kabut. Di sela istirahat, Zizah mendatangi tempat latihan ekskul PMR. Ika juga tengah mengambil rehat dari kegiatan ekskulnya. “Lo udah denger soal persami?” Todong Zizah begitu sampai di ruang ekskul PMR. Ika mengangguk. Tangannya tetap bergerak melakukan apa yang tengah ia kerjakan. “Lo ikut ‘kan?” “Ikut-ikut.” Jawab Zizah cepat. “Permasalahnnya itu Salman belom tentu bisa ikut pergi persami.” Kabar buruk yang Zizah bawah hampir membuat Ika menumpahkan botol berisi arkohol digenggaman tangannya. Ekskul PMR hari ini latihan tentang prosedur pertolongan pertama. Ika sedang membereskan kotak P3K yang digunakan untuk latihan. “Bohong?” Ika menyangkal segenap kenyataan. “Idih, lo sendiri yang suruh gue jadi mata-mata. Terus buat apa juga gue bohong.” Sampai Zizah langsung berlari pada Ika seperti ini agar dia secepatnya tahu, kurang apa coba Zizah di mata Ika sebagai teman. “Bohong, kenapa gak ikut?” Ika masih ngotot menggunakan kata bohong. “Karena orang tuanya belum tentu kasih ijin.” Saat Zizah bicara seorang anggota PMR lain masuk ruangan yang memang pintunya memang dalam keadaan terbuka sejak awal. Tapi Ika dan Zizah terlalu fokus pada pembicaraan mereka. “Jadi gimana, seriusan gak ikut?” Wajah Ika sudah dihiasi dengan kekecewaan berat. Padahal Ika berpikir pasti seru bisa melihat dan bertemu Salman di luar lingkungan sekolah. Apalagi selama dua hari satu malam. Saat Salman bangun tidur, saat malam hari, atau saat Salman menggunakan baju bebas. Semua bayangan khayal itu sudah membuat Ika bersemangat tak sabar. “Gue belom selesai cerita.” Zizah memang sengaja memotong ceritanya untuk menggoda Ika. “Apa-apa? Masih soal Salman ‘kan?” Kembali harapan Ika melampung. Mendengar nama Salman, Sarah berpaling mengawasi dua teman yang tengah berbincang itu. Satu seorang yang ia kenal sebagai rekan satu ekskul dan satu orang lain wajah yang terasa asing baginya. Sarah penasaran kenapa mereka menyebut nama Salman. “Kata temannya yang bernama Fahri,” Sarah semakin yakin ia tidak salah dengar karena kali ini nama Fahri yang disebut. “Salman pasti bisa ikut, dia mau bantu Salman buat bujuk orang tuanya.” “Pasti bisa?” Ulang Ika. “Memang siapa temennya itu bisa menjamin seyakin itu?” “Fahri? Hmm...” Bagaimana Zizah harus menjelaskan pada Ika ya, terlalu banyak gambaraan untuk menjabarkan orang seperti apa Fahri itu. Zizah sendiri memang tidak kenal secara pribadi dengan Fahri tapi sudah banyak rumor tersebar tentang pandangan orang terhadap sosok Fahri. Jadi apa yang Zizah jelaskan pada Ika berikut ini adalah menurut pembicaraan orang. Bernama lengkap Fahri Kusuma merupakan teman Salman sejak sekolah tingkat menengah pertama.  Teman dekatnya yang sudah biasa keluar masuk rumah Salman saking seringnya mereka main bareng. Di sekolah Fahri dan Salman berada di satu kelas, satu ekskul dan satu OSIS sehingga tak diragukan lagi merupakan teman paling dekat Salman. Karakteristik kepribadiannya sedikit berbeda dengan Salman atau mungkin jauh berbeda sebenarnya. Fahri sosok orang yang secara sosial mendominasi. Salah satu karakteristik yang membuat Fahri dominan dalam pergaulannya berhubungan dengan aspek fisik, bertubuh tinggi. Selain itu, penuh percaya diri, selalu bertanggung jawab pada ucapannya, punya suara yang karismatik, populer karena kepribadian yang menyenangkan, mudah akrab dan suka menolong. Meski begitu Fahri tidak terobsesi mencari pengakuan orang lain. Ia hanya menikmati hipupnya dengan rule of my way dan free spirit. Pembawaan karakter santai itu yang membuat Fahri lebih populer dari pada sahabatnya Salman sang penyandang gelar kehormatan siswa terpandai di angkatan mereka. Belum selesai sampai di situ, bukan hanya populer karena kepribadian yang ramah-tamah. Fahri juga cukup baik dalam akademik dengan nilai berada di atas rata-rata kalau tidak demikian, pasti sulit untuknya bergabung menjadi anggota OSIS. Di mata kakak senior sosok Fahri bisa dipercaya dan diandalkan. “Anu... Sorry kalau gue ikut curi denger obrolan kalian.” Sarah mengintrupsi cerita Zizah saat datang kesempatan. “Fahri dan Salman itu temenan sejak sekolah dasar.” “Oh! Lo kenal mereka?” Tanya Zizah antusias. “Iya, gue temen satu sekolah mereka tingkat sekolah menengah pertama.” Aku Sarah polos. Padahal pengakuannya itu bisa menjadi awal lingkaran setan pada kehidupan sekolahnya. *** Sungguh kabar baik bagi Ika, Sarah bisa menjadi sumber informasinya tentang bagaimana kehidupan Salman di masa lalu. Sejauh ini belum ada orang yang Ika kenal mengenal Salman juga sejak jaman SMP. Ya ampun, haruskah Ika sampai mencari tahu juga tentang seluk-beluk Salman pada masa lalu. Ika menggeser kursinya, memperpendek jarak duduknya tepat di sebelah Sarah. “Jadi gimana Salman jaman sekolah dulu?” “Eh, gimana ya...” Sarah rasa tidak berbeda dengan Salman saat ini. “Apa dia udah sepinter itukah dari dulu?” Jawaban dari pertanyaan Ika adalah iya. Karena saat di sekolah Salman hanya kenal belajar. Tidak pernah kumpul atau bergaul secara intens dengan satu kelompok yang sampai harus melakukan segala sesuatu selalu bersama, seperti itu. Salman dengan tegas menarik garis batas dalam pertemanannya, kecuali dengan orang-orang yang sudah dianggapnya nyaman saat bersama. “Kalau begitu, apa dia punya orang yang ditaksir saat ini atau dulu?” Ika semakin semangat bertanya lebih dalam. Sarah memutar otaknya sebelum menjawab. “Kalau itu, gue gak tahu. Teman-teman lihat selama ini Salman gak pernah menunjukkan ketertarikan khusus sama lawan jenis. Dengan kata lain, dia masih kaya bocah. Semua dia anggap sama rata sebagai teman, titik.” “Oh ya!” Seru Ika girang. Ini kabar paling membahagiakan yang ia dengar sepanjang tahun ini. Salman tidak tertarik pada siapa pun, dan tidak ada jejak seseorang pada masa lalunya juga. Sejarah kehidupan percintaan Salman bersih dari skandal. Zizah meresa terabaikan saat ini, bagai manis sepah dibuang oleh Ika. Ya apa boleh buat, Zizah bisa memaklumi sikap Ika sekarang. Jatuh cinta dan menyukai seseorang bukanlah suatu kesalahan atau dosa, apalagi Salman tidak memiliki hubungan dengan siapa pun jadi sah-sah saja. “Oh Sarah... Lo mau ‘kan jadi teman gue. Mulai sekarang kita temenan ya!” Binar bola mata Ika membuat Sarah terbebani rasa bersalah bila sampai menolak permintaannya. “O-oke...” Tiba-tiba mendapat ajakan berteman membuat Sarah agak canggung. “Tapi kenapa lo penasaran banget sama Salman. Lo suka dia?” Jelas hanya ada alasan itu yang paling masuk akal dalam situasi ini. Dengan kepercayaan diri penuh Ika mengangguk semangat menjawab pertanyaan Sarah. “Aahh...” Jadi begitu, kini Sarah baru paham. “Eh by the way, lo kelas mana?” Tanya Zizah yang sedari tadi diam hanya jadi pendengar di antara mereka. “kelas 1-5.” “Oalah... Great! Bahkan kelas kalian sebelahan.” Suara Ika kembali melengking karena antusias. Tak luput ia bertepuk tangan entah untuk merayakan apa. “Gue Zizah kelas 1-3, sekelas sama ini anak satu yang heboh sendiri dari tadi.” Ledeknya pada kelakuan Ika yang konyol. “Jadi-jadi, ada cerita laen gak jaman Salman SMP dulu?” Tuntut Ika mulai lagi rasa obsesinya yang berlebih perihal seputar Salman dan Salman. “Ka, gue balik dulu deh. Kayanya waktu istirahat gue udah abis.” Pamit Zizah. “And, hati-hati ngomongin Salman lho.” Peringatannya, karena sebentar lagi anggota PMR yang lain juga pasti akan kembali dari waktu istirahat mereka. “Ah bener juga. Sorry Sarah boleh kita lanjut lagi nanti?” Pinta Ika dengan amat sopan. Sejujurnya ia masih ingin mendengar tentang Salman lebih banyak tapi pekerjaannya yang tersela karena saking asiknya bicara belum menunjukkan kemajuan. Sampai kakak senior kembali dan tugasnya masih belum selesai, akan berpengaruh buruk pada kinerjanya. “Santai Ka, masih banyak waktu kok buat kita.” Sarah tersenyum manis merasa Ika lucu dan unik. ***bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN