Tumbal sebuah Ambisi #1

1181 Kata
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam, lelaki bertubuh kekar itu akhirnya sampai di tujuan yang sejak lama ingin dia kunjungi, yaitu Gunung Lawu. Sebuah perjalanan panjang yang ditempuhnya dari Kota Blitar. Lelaki bertubuh kekar itu mulai berjalan menaiki kaki gunung Lawu, sementara hari sudah mulai gelap. Hanya lebatnya pepohonan yang terlihat di sepanjang jalan di hadapannya yang akan dia lalui. "Kalau menurut mimpi yang kualami beberapa hari selama aku melakukan tirakat di Blitar, seharusnya dalam satu jam ke depan gua itu akan terlihat, hmmm dalam waktu tak lama lagi aku akan menjadi yang paling sakti di tanah jawa ini." kemudian dia kembali berjalan di jalan setapak yang menanjak yang sesekali berliku-liku itu. Ternyata memang benar, hampir sejam dia mendaki Gunung Lawu, dia melihat satu gundukan besar yang dipenuhi tumbuhan liar, sepintas lalu gundukan itu akan tampak hanya seperti gundukan tanah biasa, siapa yang akan menduga kalau dibalik gundukan itu terdapat sebuah gua kecil, sebuah gua yang tak pernah terjamah tangan manusia. Lelaki itu menurunkan tas besar yang sejak tadi tersampir di punggungnya, membukanya dan menarik sebuah bungkusan koran dari dalam tas tersebut. Saat bungkusan koran itu dibuka tampaklah sebuah golok yang berkilat, terlihat kalau golok itu sangatlah tajam, seperti sengaja diasah agar memiliki ketajaman sempurna. "Selamat malam anak muda, apa yang mau kamu lakukan di Gunung ini?" Tahu-tahu sebuah suara yang terdengar lembut namun cukup mengagetkannya menyapanya dari arah belakang. Secara refleks dia berbalik dan mengacungkan goloknya pada sosok pemilik suara yang menegurnya tadi. Tampaklah seorang lelaki tua dengan pakaian serba hitam dan memakai ikat kepala hitam menatapnya dengan tatapan yang tajam, sedikit pun tak terlihat kalau lelaki tua itu merasa takut dengan acungan golok tersebut, dia kini malah menunjuk dengan berani tongkat di tangannya ke wajah lelaki itu. "Katakan padaku apa keperluanmu, atau nyawamu akan kucabut saat ini juga dalam sekejapan mata." Sekalipun diucapkan dengan pelan dan tenang, kata-kata bernada ancaman itu sedikit banyak membuat lelaki itu tersurut ke belakang dan menurunkan golok yang tadi diacungkannya. "Namaku Pranajaya, selama tirakat yang kujalani aku bertemu dengan satu sosok besar, dimana dia mengatakan kepadaku untuk datang ke sini dan dia berjanji akan membantuku memenuhi semua ambisiku dengan beberapa syarat yang akan dia tentukan sendiri nanti saat bertemu lagi di sini." Lelaki bertubuh kekar dan besar itu yang mengaku bernama Pranajaya pun menjelaskan siapa adanya dirinya dan tujuannya jauh-jauh datang dari Blitar ke Gunung Lawu. "Katakan padaku siapa yang kamu temui itu, jika kamu salah menyebut nama nyawamu taruhannya!" Tahu-tahu ujung tongkat lelaki tua berpakaian serba hitam itu sudah menempel di lehernya. Ada rasa dingin yang menjalari di sekujur tubuhnya yang mengalir melalui tongkat itu. Dengan terbata-bata akibat rasa takut yang sedikit demi sedikit mulai dirasakannya dia pun menyebutkan satu nama, yang konon dia adalah raja dan penguasa jin terkuat yang dulunya bersemayam di Gunung Tidar, namun karena konfliknya dengan seorang syaikh yang bernama Syaikh Subakir maka dia dan seluruh pasukannya memilih menyingkir dan berdiam di Gunung Lawu, menanti saat yang tepat untuk menyerang kembali kawasan Gunung Tidar. Perlahan tongkat yang menempel di leher Pranajaya ditarik kembali oleh pemiliknya, ternyata apa yang dikatakan oleh Pranajaya memang sesuai seperti yang diharapkan oleh lelaki tua berpakaian serba hitam. "Baiklah, jawabanmu tepat dan kamu mungkin yang terpilih selanjutnya, yang dipilih khusus oleh Sang Paduka. Aku akan mengantarkanmu menghadap Beliau. Masukkan kembali golokmu ke sarungnya, golokmu tak ada gunanya di sini, Pranajaya" Selesai lelaki itu berkata, Bumi yang mereka pijak saat itu mulai bergerak seakan-akan hendak terjadi gempa, guncangan ringan itu membuat tubuh Pranajaya sedikit limbung akan tetapi tidak sampai membuat dirinya sampai terjatuh, sebagai seseorang yang juga memiliki kepandaian ilmu bela diri dia terbiasa berdiri dengan kuda-kuda yang kokoh, yang akan membuatnya tetap tegak di tempatnya walau diguncang atau diserang sekali pun. Gundukan tanah yang tertutupi oleh tumbuhan liar itu seperti membelah, semakin lama semakin lebar hingga tampaklah kini di hadapan Pranajaya sebuah lubang besar yang tingginya di atas sedikit dari tinggi tubuh Pranajaya. "Di sinilah Yang Mulia tinggal, tak ada seorang pun yang bisa menemukan gua ini kalau bukan atas undangan Yang Mulia sendiri. Kamu termasuk beruntung diundang langsung olehnya. Sekarang mari kita masuk ke dalam, Yang Mulia tentulah sudah menunggumu lama." Dengan ramah lelaki berpakaian serba hitam itu mempersilakan Pranajaya untuk masuk ke dalam gua. Betapa terkejutnya Pranajaya saat kedua kakinya sudah melangkah memasuki lorong gua yang gelap itu, seketika semua yang ada di hadapannya berubah, dinding tanah gua yang mulanya terlihat oleh Pranajaya hanya berupa tanah lembab berbatu yang dipenuhi lumut, kini berganti menjadi dinding batu marmer yang mengkilap, di sisi kanan dan kirinya banyak terpasang obor yang membuat sepanjang lorong itu menjadi terang benderang. Lantai yang dipijak oleh Pranajaya pun adalah lantai marmer. Di dinding-dindingnya yang terbuat dari marmer itu terdapat ukiran-ukiran seperti aksara jawa, tetapi Pranajaya tak mengerti apa arti dari tulisan-tulisan di dinding itu. Yang lebih mengejutkan lagi bagi Pranajaya adalah saat memalingkan wajahnya ke samping, dia tak melihat lagi sosok lelaki tua berpakaian serba hitam dengan tongkat di tangannya, yang terlihat di matanya kini adalah seorang pemuda tampan dengan pakaian keprajuritan dan di tangannya tergenggam sebilah tombak yang runcing lagi tajam. "Jangan kamu merasa heran dengan apa kamu lihat sekarang, Pranajaya. Inilah istana sementara Yang Mulia, ratusan tahun sudah kami menetap di sini, sejak kerajaan kami di Gunung Tidar diusir oleh sosok sakti yang bernama Syaikh Subakir. Mari kita lanjutkan perjalanan." Pemuda tampan dengan pakaian prajurit dan memegang sebilah tombak itu kembali mempersilakan Pranajaya melanjutkan perjalanannya. Gema suara langkah kaki mereka terdengar begitu jelas di sepanjang lorong berdinding marmer. Semakin dalam keduanya memasuki lorong semakin tercium jelas aroma wangi yang tak biasa tercium oleh Pranajaya. Akhirnya mereka sampai di ujung lorong dan berbelok, saat itulah untuk kesekian kalinya Pranajaya tercengang dengan apa yang dilihatnya, dia sampai mengucek kedua matanya seakan tak percaya. Keduanya kini memasuki sebuah ruangan yang luas, banyak orang yang duduk bersila dalam barisan yang rapi, mengenakan pakaian jawa yang semuanya sama, satu-satunya sosok lelaki yang berbeda sendiri adalah sosok yang duduk di dekat dinding di atas sebuah singgasana nan megah. Dua orang gadis yang cantik-cantik tengah mengipasi lelaki itu, wajahnya tak kalah tampan dari prajurit yang mengantarkan Pranajaya, sebuah mahkota emas bertatahkan berlian yang berkilauan yang ada di kepalanya menambah kewibawaan sosok lelaki yang tak lain adalah Yang Mulia, wajahnya tak asing di mata Pranajaya, karena sosok itulah yang mendatanginya dulu dan memerintahkannya datang ke Gunung Lawu ini. "Selamat datang di istanaku, Pranajaya." Yang Mulia berdiri dan menyambut kedatangan Pranajaya, diikuti oleh semua yang berada di ruangan itu ikut pula berdiri dan menghaturkan hormat pada Pranajaya. Pranajaya jadi bersikap serba salah menerima penghormatan yang demikian itu. Selanjutnya sosok Prajurit yang mengantarkan Pranajaya tadi meminta izin pada Yang Mulia untuk undur diri dan kembali ke dalam lorong tempat mereka masuk tadi. "Mari ikuti aku, Pranajaya." Yang mulia turun dari singgasananya dan berjalan ke pintu lain, Pranajaya secara spontan menurut saja apa yang dikatakan oleh Yang Mulia. Di ruangan berikutnya tampaklah sebuah meja besar yang berisi beraneka makanan lezat serta buah-buahan segar, ada empat orang wanita cantik yang berdiri di ujung ruangan. "Kamu tentu lapar, sekarang makanlah dulu, nanti salah satu dari mereka akan mengantarkanmu lagu kepadaku."   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN