Faqih yang mendengar sendiri kata-kata Fendy barusan tak bisa memberikan komentar apa pun, sementara Kyai Rahman memang tak mau ikut memberikan respon, selain dia mengerti tentang ritual Megat Ruh yang berisiko kematian itu, Kyai Rahman ingin menyerahkan sepenuhnya keputusan akhir di tangan Faqih. Karena seperti yang dikatakan Fendy tadi kalau Megat Ruh adalah satu-satunya cara pintas paling ampuh melepaskan ikatan dengan segala ilmu hitam apa pun yang ingin dipisahkan dari pemiliknya.
"Kapan Ritual Megat Ruh bisa dilaksanakan, Mas?" tanya Faqih memecah keheningan dalam ruangan itu.
"Tengah malam, di hari selasa kliwon. Dilakukan di atas lautan. Apakah kamu nekat mau melakukan ritual itu, Faqih?" Fendy menjawab, sekaligus bertanya balik kesiapan dan kesanggupan Faqih.
"Seperti yang Mas sampaikan, bahwa cara itu yang paling mungkin untuk melepaskan pengaruh sosok hitam dalam tubuhku, maka aku bisa apa? Kalau toh gagal dan aku harus mati saat menjalani Ritual Megat Ruh, aku sudah ikhlas, mungkin hanya sampai di situlah waktu hidupku berakhir, karena Mas Fendy katakan bahwa jika tidak dibuang maka efeknya aku pun hanya akan jadi bangkai berjalan, yang dikendalikan untuk berbuat kerusakan."
"Kalau kamu sudah bertekad bulat, sungguh suatu kebetulan. Malam ini adalah malam selasa kliwon. Jadi kita akan lakukan ritualnya malam ini juga."
"Nak Faqih, harap pikirkan ulang." Kyai Rahman berbisik pada Faqih.
Faqih cuma tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Kalau begitu aku akan bersiap dulu, kalian berdua bisa tunggu di sebentar."
Fendy masuk ke dalam menuju kamarnya, istrinya seperti sengaja menantikan dirinya.
"Kak, aku sudah mendengar semuanya. Aku tahu kalau kakak memang menguasai ritual Megat Ruh, namun mengingat risikonya yang besar, kenapa tak dibawa saja anak muda itu ke hadapan Datuk Panglima? Lagi pula ini kan baru pertama kali kakak bertemu dengan anak muda itu, aku takut terjadi sesuatu. Kita tidak tahu siapa aslinya orang yang telah menanam makhluk itu, juga sehebat apa makhluk itu di alamnya sana." Istri Fendy terlihat matanya berkaca-kaca, dia khawatir dengan nasib suaminya yang hendak melakukan ritual Megat Ruh.
"Aku mengerti kekhawatiranmu, Dik. Aku pun sudah mempertimbangkan hal ini masak-masak, apa pun yang terjadi sejauh ini sudah dalam perhitunganku semuanya. Kalau untuk melibatkan Datuk Panglima, sepertinya masih terlalu dini, mungkin aku akan menghubungi Datuk Panglima jika memang terjadi hal-hal di luar perhitunganku."
Istrinya terdiam, dia memang percaya penuh pada suaminya, tidak mungkin suaminya akan melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang.
Fendy mengambil sebuah tas ransel dan memasukkan pakaian ganti beberapa stel. Lalu sebuah Mandau ikut pula dibawanya.
Istri Fendy memeluk Fendy dan berbisik, "Lekas kembali sayang, di sini aku dan anak-anakmu menantikanmu, kami masih membutuhkan dirimu untuk berada di tengah - tengah kami."
"Percayalah, semua akan baik-baik saja."
Setelah mencium punggung tangan suaminya, dia pun ikut keluar untuk mengantarkan sang suami.
"Mari kita berangkat sekarang. Sebelum jam dua belas malam kita harus sudah berada di lokasi ritual."
Fendy keluar menuju garasi rumah, membukanya. Dikeluarkannya mobil jeep miliknya, Kyai Rahman dan Faqih lantas naik ke dalam jeep. Faqih duduk di bagian belakangnya sementara Kyai Rahman mengambil tempat duduk di sebelah Fendy.
Jeep hijau lumut itu meninggalkan rumah mewah di perumahan itu. Melewati pos security Fendy hanya melambaikan tangannya pada dua orang security.
"Padahal sudah lama Ilmu Khodam Harimau Hitam itu tak pernah terdengar lagi, tak kusangka akan kembali berhadapan dengan ilmu hitam ini." Fendy memulai percakapan.
"Aku pun berpikir demikian, Fen. Aku masih ingat saat kita berdua menghadapi penganut ilmu Khodam Harimau Hitam." Kyai Rahman menimpali.
"Kalau dulu kita melawan satu penganut Ajian Khodam Harimau Hitam saja sudah cukup kewalahan, aku tak bisa bayangkan kalau Pasukan manusia dengan Khodam Harimau Hitam yang menguasai raga mereka melakukan p*********n, banjir darah sudah pasti tak terelakkan." Fendy menyatakan kekhawatirannya.
"Hal itu juga yang kucemaskan, tampaknya dia yang mengendalikan itu ingin menjadi yang paling sakti atau hendak menguasai satu kawasan." Kyai Rahman menerka.
"Apa mungkin targetnya adalah pulau Jawa, mengingat orang itu berada di tanah Jawa dan Ilmu yang dianutnya juga berasal dari sana?" tanya Fendy lebih lanjut.
"Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Bahkan kalau benar tujuannya menguasai seluruh pulau Jawa, bukan mustahil hak tersebut menjadi awal dari kejadian yang lebih besar lagi." Kyai Rahman sampai menggigil, dia tak berani walau sekedar membayangkan.
"Bismillah saja, Kyai. Kita hanya berikhtiar, hasil akhirnya kita serahkan secara penuh pada Allah. Jika kebenaran datang maka akan musnah segala kebatilan." Fendy berusaha meyakinkan, mencoba meyakinkan walau hatinya juga tak kalah cemas.
Akhirnya jeep berwarna hijau lumut tiba di pantai dengan ombak yang cukup ganas. Hembusan angin terasa begitu kencang. Udara di pantai itu terasa cukup dingin.
"Faqih, mari kita turun. Aku akan menemui seorang teman untuk menyewa kapalnya. Mudah-mudahan ada kapal yang masih tersisa untuk kita pakai.
Faqih turun, jeep diparkir di dekat sebuah pohon kelapa.
Fendy berjalan cukup jauh menjauhi pantai mendekati pemukiman penduduk di sekitar pantai. Lada sebuah rumah dia mengetuk.
"Ya sebentar." terdengar suara jawaban dari dalam rumah. Suara seorang lelaki. Berat dan sedikit serak.
"Aga kareba, Fen. Sudah lama kamu tidak main ke rumah sini. Kalau mengikuti kesibukan manalah ada habisnya." Seorang lelaki bertubuh gemuk menyapa Fendy.
"Nantilah kalau ada waktu lebih luang, akan kusempatkan untuk kemari lagi dan bincang-bincang dengan Daeng. Oh ya aku ke sini mau tanya, apakah ada kapal Daeng yang kosong?"
"Kapalku kebetulan berangkat semua, kamu butuh kapal buat apa. Memancingkah?"
"Yaah seperti itulah kira-kira. Atau Daeng ada kenalan lain? Kalau bisa sebelum tengah malam kapal sudah bisa kami pakai."
"Tunggulah sebentar, aku coba telepon teman-temanku. Mari masuk dulu, tak baik berbincang di luar."
"Tak apa, kami di sini saja."
Lelaki bertubuh gemuk Itu pun kembali masuk ke dalam rumah. Tak lama dia sudah keluar lagi.
"Memang sedang bernasib baik rupanya. Ada satu kapal yang kosong, tapi agak jauh jaraknya dari sini. Sekitar setengah jam dia akan tiba di pantai. Kalian boleh menunggu dulu di dalam rumahku."
"Sekali lagi terima kasih. Biar kami menunggu dalam jeep saja."
"Nanti kalau ada kapal kecil merapat bisa dipastikan itu kapal yang tadi kupesan. Soal harganya tak perlu kamu pikirkan, biar aku yang urus."
"Sekali lagi terima kasih, Daeng."
Fendy, Faqih dan Kyai Rahman kembali ke jeep, duduk di sana menunggu, meski hanya sekitar setengah jam tapi yang namanya menunggu tetap saja menjemukan.
Fendy mengeluarkan sebungkus rokok yang lalu disodorkan pada Kyai Rahman dan Faqih, masing-masing mengambil sebatang dan menyalakan.