Megat Ruh

1791 Kata
*** Sehebat apa pun Ilmu Bela Diri yang Faqih miliki, jika harus menghadapi sepuluh orang sekaligus rasanya mustahil bisa menang dan melumpuhkan semuanya, apalagi kesepuluh orang yang mengepung dirinya semua membawa senjata tajam. Tetapi untuk mundur dari keadaan saat itu adalah satu hal yang mustahil. Kini mau tak mau, siap tak siap, Faqih harus menghadapi dengan segala kemampuannya untuk dikerahkan. Detik berikutnya serbuan senjata-senjata itu berseliweran menuju ke satu arah. Tubuh Faqih. Belum sempat Faqih menangkis serangan-serangan itu sekelebat bayangan memasuki area kepungan, gerakannya demikian cepat, pukulan dan tendangannya mendarat secara mematikan ke titik - titik kelemahan lawan, dalam sekejap mata dan hitungan detik, kesepuluh orang itu semuanya terkapar, senjata mereka bermentalan ke segala arah, untungnya para pengunjung pasar telah lebih dulu menyingkir menjaga jarak dari area pertarungan tersebut. Tidak ada satu pun senjata lawan yang terpental dan mengenai pengunjung pasar. Semuanya bergeletakan di tanah. Saat semua penyerang Faqih menyadari siapa yang telah menyerang mereka, mereka tak berniat membalas, malah semuanya lari menyelamatkan diri, termasuk lelaki berjaket hitam yang keningnya dibuat terluka oleh Faqih dengan lemparan gelas. "Terima kasih pertolongannya." Faqih berbalik untuk melihat siapa adanya seseorang yang telah menolongnya barusan. Alangkah terkejutnya Faqih saat mengetahui bahwa yang telah menolongnya adalah Pranajaya, guru besar dari Padepokan Bela Diri Emperyan. "Siapa namamu, anak muda?" tanya Pranajaya, diulurkan tangannya kepada Faqih.  "Nama saya Faqih, Pak." Faqih balas menjabat uluran tangannya. "Jangan panggil Bapak, murid-muridku biasa memanggil dengan sapaan Eyang. Panggil saja dengan sapaan itu. Apakah ada yang terluka di tubuhmu?" "Tidak ada, Eyang." Faqih menjawab singkat, dia memang tak mengalami luka sedikit pun, karena sebelum dia bentrok dengan sepuluh preman pasar itu, sudah lebih dulu dia dibantu oleh Pranajaya yang dalam sekali gebrakan saja sudah membuat sepuluh orang lawan bersenjata terpental dan terkapar. "Kamu cukup berani dan punya nyali juga untuk menghadapi sepuluh preman bersenjata itu, padahal kuduga kamu pasti akan kalah dan mati dikeroyok mereka. Mari kita masuk ke dalam warung lagi, bukankah gelas kopimu pecah karena kamu lemparkan pada salah satu dari mereka?" Kerumunan orang di sekitar situ pun membubarkan diri. Sementara Eyang Pranajaya merangkul pundak Faqih dan membawanya ke warung tempat tadi Faqih beristirahat menikmati kopi panas. Sesampainya di dalam Pranajaya memesan pada pemilik warung dua gelas kopi lagi. Untuk dirinya dan Faqih. Pemilik warung dengan cekatan langsung membuatkan pesanan Pranajaya, lalu dua gelas kopi panas dihidangkan di hadapan mereka berdua. "Nah Faqih, ceritakan padaku bagaimana kejadiannya sampai kamu mau dikeroyok oleh para preman pasar itu?" Faqih kemudian secara ringkas menjelaskan pada Pranajaya awal mula kejadiannya, sesekali sang pemilik warung ikut membenarkan dan menambahkan apa yang diceritakan Faqih. Para preman itu memang tak ada kapoknya. Pernah sekali mereka dulu bertarung denganku, kejadiannya pun hampir sama seperti tadi, mereka semua kubuat babak belur dan lari tunggang langgang. Kupikir mereka sudah jera, ternyata malah semakin menjadi-jadi. Mungkin karena aku lebih sering berada di padepokanku dan jarang sekali ke pasar lagi, hal itu membuat mereka berani tunjukkan diri lagi." Pranajaya meraih gelas kopi dan meminumnya beberapa teguk. "Awalnya saya pikir orang itu sendirian, Eyang. Karena dia masuk sendiri. Tetapi saat kulempar dengan gelas kopi dan dia terjungkal ke tanah, ternyata teman-temannya sudah menunggu sementara mereka semua bersenjata, andai ada kesempatan buat lari tentu saja saya memilih lari, Eyang." Mendengar penuturan Faqih, Pranajaya tak dapat menahan tawa, ia langsung terbahak-bahak, sedangkan Faqih malah terlihat bingung, apa yang lucu dari kata-katanya? "Kalau begitu masih untung ya, secara kebetulan aku lewat sini." Setelah tawanya mereda Pranajaya berkata. "Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas pertolongan Eyang." Faqih menenggak gelas kopinya, yang sudah tidak terlalu panas itu. "Sudahlah, lupakan. Yang penting kamu selamat dan kurasa mereka takkan berani menampakkan diri lagi di pasar ini." Pranajaya juga berpesan pada pemilik warung, kalau dia melihat para preman itu kembali ke pasar dan membuat onar, jangan sungkan untuk melaporkan padanya dan mencarinya di Desa Jengkol, tepatnya di Padepokan Bela Diri Emperyan. Pada kesempatan baik itu juga, Faqih langsung merasa telah menemukan orang yang tepat untuk dijadikan guru oleh Faqih. Dia meminta dengan halus, apakah boleh kiranya Faqih bergabung di Padepokan Emperyan. Jawaban yang diterima oleh Faqih membuatnya merasa senang karena ternyata Pranajaya selaku guru besarnya sendiri mengizinkannya untuk bergabung dalam keluarga besar Padepokan Silat Emperyan. "Aku masih ada urusan lain, jadi aku mohon diri duluan. Berapa kopi dua, Pak?" Pranajaya membayar kopi yang tadi dipesannya lalu keluar dari dalam warung dan berjalan menjauh. Faqih hendak membayar kopi namun ditolak oleh sang pemilik warung. "Tak usah, Nak. Kan tadi sudah dibayarkan oleh Eyang Pranajaya." "Tapi ini untuk kopi yang sebelumnya, Pak. Yang gelasnya malah pecah gara-gara saya lemparkan ke wajah pemalak itu. Sekalian saja potong harga gelas yang sudah saya pecahkan." "Terima kasih, tapi pertolongan sampeyan barusan tidak sebanding dengan harga kopi dan gelasnya, saya ikhlas." Akhirnya Faqih memasukkan kembali uangnya yang ditolak pemilik warung itu, dia mengucapkan terima kasih dan beranjak untuk pulang. Beberapa hari kemudian akhirnya Faqih resmi menjadi murid dari Padepokan Emperyan. Ketekunan Faqih dalam berlatih ilmu silat, membuatnya seiring waktu berjalan menjadi semakin mumpuni dan disegani, kemampuannya dalam ilmu bela diri pun jauh di atas rata-rata dari murid-murid lainnya. Hingga Faqih menjadi murid kesayangan dan kepercayaan Pranajaya, kini setiap kali diadakan perlombaan Pencak Silat maka Faqihlah yang akan diutus oleh Pranajaya untuk mewakili Padepokan Emperyan. *** Faqih terbangun dari tidurnya, masih dirasakan sakit di punggungnya walau tak separah semalam. Meskipun demikian dia bisa tidur dengan nyenyak, memimpikan saat awal pertemuan dan kedekatannya dengan Pranajaya. Faqih lalu turun dari bale pembaringannya, didengarnya suara seperti orang yang membelah sesuatu di bagian dapur, saat Faqih menuju ke dapur, dia melihat di bagian belakang rumah Kyai Rahman dengan sebilah kapak tengah membelah kayu bakar. "Sudah bangun rupanya kamu, Nak. Lekas mandilah dan kita sarapan, pagi ini juga aku akan membawamu menemui Fendy sahabatku." Faqih menuruti saja apa yang dikatakan Kyai Rahman, usai mandi mereka berdua sarapan seadanya. Kyai Rahman mengeluarkan motornya, setelah mengunci pintu dia menyerahkan sebuah helm pada Faqih. "Pakai lah untuk keamananmu, kita berangkat sekarang." Faqih duduk dibonceng di belakang Kyai Rahman, ternyata arah yang dituju mereka berdua ke arah kota, dan Faqih sama sekali tak menduga kalau tempat yang mereka akan tuju justru sebuah perumahan elite milik orang-orang kaya di kota Samarinda ini. Rupanya security yang berjaga di pintu masuk perumahan sudah kenal akrab dengan Kyai Rahman, karena biasanya bagi tamu yang wajahnya asing akan diminta kartu identitas semisal KTP. Sepeda motor Kyai Rahman memasuki area perumahan dan berbelok melewati blok demi blok, hingga akhirnya sampaikan dia di sebuah rumah yang tampak besar dan megah. "Apakah ini rumah sahabatnya Kyai Rahman?" tanya Faqih seakan masih sulit percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ya ini memang rumah Fendy sahabatku. Memangnya kenapa, Faqih?" "Tak apa-apa, hanya saja semula saya pikir kita akan memasuki pedalaman, karena sahabat Kyai tinggal di pedalaman, saya tidak mengira kalau sahabat Kyai Rahman justru tinggal di perumahan elite ini." "Aku mengerti maksudmu, Faqih. Sekarang mari kita masuk." Kyai Rahman memencet bel yang tersembunyi di dekat pintu gerbang besi yang tinggi menjulang. Dari dalam keluar seorang lelaki yang usianya kisaran empat puluhan. Namun demikian dia masih terlihat muda dan gagah, wajahnya terlihat tampan dengan warna kulitnya yang putih cerah. "Rupanya sahabatku, Kyai Rahman yang datang, tentu ada hal sangat penting kalau orang seperti Kyai menyempatkan datang ke rumahku jauh-jauh dari desa." Lelaki tampan berkulit putih itu membukakan pintu gerbang, lalu mempersilahkan Kyai Rahman memasukkan sepeda motornya. "Kenalkan, ini sahabat dari muridku. Namanya Faqih. Faqih, inilah Fendy yang kuceritakan itu." Fendy dan Faqih bersalaman. Saat itu Faqih merasa ada setruman kecil di telapak tangannya saat berjabatan dengan Fendy. Fendy kemudian mengajak kedua tamunya masuk. "Maaf Sedikit berantakan, maklumlah bekas anak-anak belajar." Fendy mempersilakan tamunya duduk. Dia lantas memanggil istrinya dan meminta dibuatkan kopi tiga gelas. "Langsung saja, Fen. Dalam tubuh Faqih ini aku melihat ada kekuatan teramat jahat yang dipasang gurunya yang memiliki cita - cita untuk membuat sebuah pasukan sakti. Sulit dipercaya bahwa pada saat kedatangannya semalam, dia sempat kerasukan lalu melayang dan hendak membunuhku, rupanya selain makhluk dalam diri Faqih tak suka jika Faqih diajak menemuiku, makhluk itu juga sepertinya tak suka dengan keberadaan Mandau Haramaung pemberianmu ada di rumahku, tetapi aku selamat karena saat di serang Mandau Haramaung bergerak sendiri menangkis serangannya dan sekaligus mementalkannya, kau kan tahu sendiri bahwa biasanya jin jenis apa pun jika sudah berbenturan dengan Mandau Haramaung akan langsung minggat dan tak kembali lagi, atau langsung mati. Tetapi makhluk yang ini berbeda, sekalipun terpental dia tetap bertahan dalam tubuh Faqih dan kukuh untuk terus menguasainya." "Hmm cukup aneh juga, kalau begitu ruqyah biasa pun takkan cukup dan sanggup mengeluarkan makhluk itu. Satu-satunya jalan hanya bisa dilepaskan dengan ..., " kata-kata Fendy terputus, dia masih ragu untuk mengatakannya. Baik Kyai Rahman maupun Faqih tak berani bertanya, tampaknya yang dimaksud Fendy adalah sebuah ritual yang berat. Ruangan itu dilanda kesunyian, sampai akhirnya istri Fendy dengan pakaian yang tertutup seluruh tubuhnya dan berhijab keluar membawakan tiga gelas kopi di atas nampan. Tiga gelas kopi itu diletakkan di meja. Lalu istri Fendy kembali masuk ke dalam. Kyai Rahman yang mulanya menunggu sepertinya jadi tak sabar, dia pun lantas menanyakannya. "Dengan Apa, Fen?" tanya Kyai Rahman. Fendy menarik napas panjang. Lalu katanya, "Megat Ruh!" "Megat Ruh! Apa tak ada cara lain? Itu terlalu berat, Fen. Lagi pula terlalu besar risikonya." Kyai Rahman sepertinya menolak ritual Megat Ruh yang ditawarkan oleh Fendy. Fendy menggelengkan kepalanya dan berkata, "Memang cuma itu, satu - satunya cara tercepat dan paling mungkin berhasil untuk melepaskan ikatan sosok jin membandel yang sudah mendarah daging dalam tubuh." "Sebaiknya pikirkan lagi, Fen. Coba kamu lacak dulu asal sosok ini sebenarnya sebelum mengambil kesimpulan." "Baiklah kalau begitu, aku akan sholat hajat dua rakaat dulu, semoga aku mendapatkan jawaban." Fendy lalu masuk ke dalam dan menuju kamarnya lalu mengambil wudhu dan menunaikan sholat hajat, usai sholat dalam dzikirnya dia melihat lintasan demi lintasan. Setelah selesai dia kembali menemui sahabatnya, Kyai Rahman dan Faqih. "Aku sudah dapatkan jawabannya, makhluk itu adalah satu dari ribuan jin yang menjadi prajurit dari Raja Jin di Gunung Lawu. Raja Jin itu bukan asli penunggu Gunung Lawu, karena dia sejatinya adalah penunggu Gunung Tidar yang terusir oleh Kyai Subakir. Ini termasuk jin tua pulau jawa dan sangat berbahaya, malah kini aku jadi pesimis kalau dengan Megat Ruh pun tak menjamin makhluk itu minggat." "Tak apa, Mas Fendy. Saya bersedia melakukan ritual apa pun asalkan jin penunggu tubuh saya ini bisa dihilangkan. Kalau pun ritual Megat Ruh gagal setidaknya Mas Fendy sudah mencobanya, kalau tidak dicoba bagaimana kita bisa tahu ritual itu bisa berhasil atau tidak? Bukan begitu, Kyai?" Fendy menatap serius wajah Faqih, "Faqih, ini bukan soal coba - coba, risikonya sangat besar, jika ritualnya gagal maka taruhannya adalah nyawamu sendiri." Faqih terkesiap mendengar kata-kata Fendy. Kyai Rahman hanya terdiam, karena sejak awal dia memang sudah tahu betapa bahayanya ritual Megat Ruh!   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN