"Nay, lo gak apa?" tanya Puri.
Kanaya menggeleng, lalu menyerahkan tas Rose pada sahabatnya.
"Ya udah, gue anterin lo pulang dulu ya," ujar Puri.
Kanaya mengangguk, dia masih gugup, takut dengan apa yang baru saja Raja lakukan padanya.
"Eh Nay, kan apartemen lo di sini," kata Puri.
Kanaya mengerjapkan matanya, gadis bisu itu pun memaksakan senyumnya. Lalu ia menggerakan jemarinya.
'Anterin ke rumah Papaku.'
Sungguh, Kanaya masih takut dengan kejadian di apartemen Raja tadi.
"Oh, ya udah."
Tak lama kemudian, Kanaya sampai di rumah orang tuanya, gadis itu langsung dipanggil oleh papa dan mamanya.
"Nay, kebetulan kamu pulang, Papa mau ngomong," ucap Defan, ayahnya Kanaya.
"Ke-kenapa, Pa?" tanya Kanaya.
Sesungguhnya, Kanaya tidak bisu sepenuhnya, gadis itu bisa bicara meski terbata atau gagu. Dia hanya tidak suka orang lain merendahkannya setiap mendengar dia bicara dengan terbata-bata sehingga Kanaya memilih menjadi bisu di depan orang lain.
"Gimana kuliahnya?" tanya Defan.
Kanaya mengangguk. "La, la-lancar, Pa," jawabnya.
Defan mengusap kepala putrinya. "Sudah punya pacar?" tanya pria itu.
Kanaya terdiam, pipinya merona, dia teringat dengan seseorang yang selama ini ia anggap penting dalam hidupnya.
"Kalau belum, Papa mau kenalin kamu sama anak kolega Papa, dia dokter, jadi kamu bisa banyak belajar sama dia," ujar Defan.
Kanaya mengernyit, ia menoleh pada ibunya meminta bantuan sang ibu.
"Papa, kita bicarakan besok, ya," bujuk Kinanti, istri Defan.
"Ya sudah, kamu istirahat," ujar Defan.
Kanaya mengangguk, lalu segera pamit ke kamarnya.
"Mama tau, siapa yang disukai Naya?" tanya Defan.
Kinanti mengangguk. "Namanya Andreas, dia mahasiswa kedokteran yang dibiayai yayasan Bunda, sekarang lagi ambil spesialis, residen di Darma Kasih," jawabnya.
Defan mengangguk. "Papa tau, dan Papa tidak mau Naya dengannya."
Kinanti mengernyit. "Kenapa, Pa?" tanya wanita itu.
Defan menghela napasnya panjang. "Papa lihat dia jalan dengan gadis lain minggu lalu," jawabnya.
"Mungkin cuma temen Pa," ujar Kinanti.
Sementara itu di kamarnya, Kanaya tengah kebingungan mencari di mana ponselnya.
Duh, mana ya? batin Kanaya.
Gadis itu sudah memeriksa seluruh isi tasnya. Namun, tidak ia temukan ponsel miliknya di sana.
Apa jatuh di apartemen Raja? batin Kanaya lagi.
Seketika, Kanaya menepuk dahinya, dia yakin ponselnya jatuh di apartemen Raja.
Duh, gimana ya?
***
Keesokan harinya, di sebuah Cafe. Raja tengah kesal pada sahabatnya yang tengah tertawa puas mendengar cerita soal kejadian semalam.
"Mampus lo Ja, gue yakin Puri bakal ember," ujar Luki, sahabat Raja yang kemudian tertawa lebar.
"Puas banget ketawanya bro," ujar pria itu.
"Ya kali ini gue puas ngetawain lo, Ja, asli baru kali ini seorang Raja Dewantara, dilabrak pas mau uhuy-uhuy hahaha ... lo sih, kakak adik lo pacarin semua."
"Diam Ki, kalau gak, gue tagih utang lo sama gue yang 100 juta sekarang!" tegas Raja.
"Eh, gak gitu bro, sorry, ya ini gue cuma ngingetin lo, tobat jadi playboy, gue aja udah punya anak," kata Luki, sahabat Raja.
Raja berdecak. "Itu sih lo aja yang ngebet buntingin cewek lo," ujarnya.
"Ya biarin, yang penting gue tanggung jawab, ya meski terpaksa utang sama lo," ujar Luki. "Ja, udah tobat deh lo jadi playboy."
Raja berdecak. "Tau ah, kesel gue," ujarnya. Pria itu kemudian mengambil ponsel dan kunci mobilnya di atas meja, lalu pergi meninggalkan sahabatnya itu.
"Maaf Nay, aku cuma anggap kamu adik aja."
Raja yang sedang berada di kasir, menoleh ke arah meja dekat kasir. Di sana ada seorang pria yang tidak asing baginya.
Itu, dokter Andreas, kan? batin Raja memastikan siapa yang dia lihat.
Dokter Andreas, seniornya di kampus yang sama dan pria itu saat ini, tengah menempuh pendidikan spesialis penyakit dalam.
"Kamu cantik, baik, tapi aku cuma anggap kamu adik aja, apalagi sekarang aku cuma ingin fokus dengan pendidikan saja, gak mau pacaran," ujar Andreas lagi.
Kini, perhatian Raja tertuju pada gadis cantik di depan Andreas yang baru saja menghapus air matanya. Gadis cantik itu terlihat memaksakan senyumnya.
Eh, dia Kanaya, kan? batin Raja.
"Nay, kamu jangan marah ya, kita bisa terus seperti biasanya, em ... mungkin nanti setelah aku mapan, aku bisa pertimbangan lagi hubungan kita, kamu juga masih sangat muda," ujar Andreas lagi.
Kanaya tetap tersenyum, lalu mengangguk, Raja yakin, gadis itu tengah kebingungan sekarang sampai tidak sanggup mengatakan apapun.
Eh, kok pergi gitu aja, batin Raja, ia terus memperhatikan gadis tadi yang baru saja melewatinya, lalu keluar dari cafe.
"Kasihan, hm coba nembak gue, gue terima deh jadi salah satu cewek gue," gumam Raja.
"Bener kata lo, dia nembak gue."
Kini, Raja menoleh ke arah meja Andreas. Pria itu tengah menelpon seseorang.
"Ya gak lah, masa gue sama cewek gagu, kalau bukan karena dia anak orang kaya, ogah gue deketin dia selama ini," kata Andreas.
Eh, b******k juga dia, batin Raja.
Pria itu berdecih, senior yang selama ini ia pikir baik, teladan, ternyata gak lebih dari buaya darat yang memanfaatkan gadis-gadis polos.
"Ya gimana, biaya spesialis gak murah, gue butuh beasiswa dari bokapnya, ya udah dulu," ujar Andreas.
Raja hanya menggelengkan kepala, lalu dia pergi dari cafe itu. Raja menuju mobilnya. Namun, saat dia akan membuka pintu mobil, dia mendengar suara isak tangis dari belakang mobilnya.
Penasaran, Raja pun pergi memeriksanya. "Eh, Kanaya?"