Sedang Apa Kamu di Sini!?

1127 Kata
Di kamar lainnya. Storm mengepalkan tangan kanannya dan meninju ke arah dinding kamar yang baru saja ia masuki. "Brengsekk. Ini permainan keluarga yang sangat gila! Harusnya, hari ini kakakku yang menikah! Kenapa malah jadi pernikahanku sendiri?? Benar-benar sudah gila mereka semua!!!" seru Storm, yang masih merasa sangat marah, karena harus menggantikan peranan sang kakak dan yang lebih memuakkan lagi, kedua orang tuanya itu malah langsung terbang ke New York malam ini juga. Katanya, ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Tapi kenapa ia merasa dengan sengaja ditinggalkan begini?? Dengan seorang wanita asing dan juga kakaknya yang sedang terbaring sakit. Kalau saja tidak ada ancaman, bila akan dicoret dari ahli waris, mana mungkin ia menerima pernikahan ini begitu saja. Dan lagi, apa-apaan dengan wanita yang ternyata ia nikahi tadi. Ia tidak terlihat seperti nona muda dari keluarga kaya raya. Kulitnya tidaklah putih. Meskipun, iris matanya terlihat berbeda bak memiliki darah blasteran. Tapi ia tetap saja ragu, bila wanita itu berasal dari keluarga itu. Apa lagi, saat melihat dua saudarinya yang terlihat sangat mirip satu sama lain. Tetapi tidak dengan wanita yang ia nikahi tadi. Jadi, bagaimana ia tidak ragu? Storm membuka dan menghempaskan jas putih yang melekat di tubuhnya, lalu mengganti pakaian dan segera pergi dari kediamannya. Ia tidak betah di rumah. Apa lagi bersama dengan seorang wanita asing. Di sebuah club malam. Malam ini, seharusnya menjadi malam pengantin yang indah bagi pasangan pengantin baru. Tapi tidak berlaku bagi Storm. Itu bukanlah malam pengantinnya. Jadi biarkan saja si jalangg itu di sana. Ia akan mencari kesenangannya sendiri di tempat ini dan tidak akan pernah menganggap, bila pernah terjadi pernikahan di dalam kehidupannya. "Hi, newlyweds! Why are you even here? Tidak melakukan malam pertama huh??" goda sahabatnya Gavin. "Cih! She is a cheap woman. How could I spend the night with her?? I'm disgusted with her." "Are you sure?? Apa kamu sudah memeriksanya sendiri??" tanya sahabat karibnya yang lain, Gerry. "Belum. Tapi aku yakin sekali, tidak mungkin dia masih perawan!" cetus Storm dengan menggebu-gebu. Padahal dicoba saja belum. "Oh ya?? Aku jadi penasaran. Bagaimana, kalau aku bantu untuk memeriksanya??" ujar Gerry dengan sebuah senyuman yang mesumm. Kalau masalah seperti ini saja, ia memanglah si paling cepat tanggap. "You're the bastard! Kawan kita saja belum mencobanya," timpal Gavin. "Sudah diamlah! Aku ke sini untuk bersenang-senang. Untuk melupakan wanita jalangg itu. Kenapa di sini malah membahasnya begini sih???" Gavin maupun Gerry pun terdiam sambil beradu siku. Sementara Storm meneguk minuman lagi dan diam sambil memikirkan kekonyolan di hidupnya sekarang. "Kalau tidak suka. Kenapa tidak ceraikan saja dia." "Tentu saja!! Akan aku lakukan. Tetapi tidak sekarang. Karena keluargaku juga, pasti tidak terima saat aku melakukannya. Lagi pula, apa yang ada di dalam pikiran mereka. Bisa-bisanya mereka melakukan hal ini dengan seenaknya. Memangnya, aku ini apa?? Sembarangan sekali, menyuruhku untuk menikahinya," ucap Storm seraya meneguk minuman dari dalam gelas kecil di genggaman tangannya. "Ya karena memang sudah jodohmu mungkin," goda Gavin. "Ck! Apa-apaan itu?? Dengan wanita seperti dia?? Yang benar saja! Aku masih waras!!" seru Storm dengan gemas. "Hey, kita ini tidak pernah tahu kan, rahasia Tuhan akan seperti apa. Benar begitu bukan??" ujar Gavin dan mendapatkan dorongan tangan di kepalanya dari Gerry. "Siall!! Sok religius!!" cetus Gerry yang tahu sekali, bila sahabatnya ini kelakuannya hanya beda sedikit darinya. Keduanya terkekeh bersama tidak dengan Storm yang malah jengkel mendengarnya. Seperti tengah diejek saja. "Hah... Sudahlah! Aku pulang dulu!" cetus Storm dan dua orang yang sedari tadi terkekeh geli itupun berhenti. "Hey, buru-buru sekali?? Kamu bilang tidak tertarik dengannya. Kenapa sekarang malah pulang??" cecar Gerry. "Aku baru ingat. Aku harus mengecek keadaan kakakku dulu," ucap Strom seraya bersiap untuk bangkit dari kursi. "Memangnya, orang tuamu tidak membawanya berobat sekalian ke LN??" tanya Gavin. "Tidak. Mereka bilang ada keperluan bisnis. Jadi, mana mungkin bisa mengurusi anaknya yang sakit. Lagi-lagi harus aku yang mengurusi semuanya! Sungguh menyebalkan sekali mereka!" rutuk Storm yang kini sudah bertumpu dengan kedua kakinya dan pergi meninggalkan kawan-kawan itu untuk kembali ke rumah. Sementara itu di kediaman keluarga Dawson. Alice terbangun dari tidurnya yang hanya sebentar. Ia merentangkan kedua tangannya ke atas dan turun dari atas tempat tidur, sembari meletakkan telapak tangan kanannya di atas perutnya sendiri. Lapar sekali. Setelah menerima tamu seharian. Ia sampai tidak sempat makan. Tadi, baru selesai dan masuk kamar, bukannya ditawari makanan, tetapi malah hampir saja dipukuli. Lelaki itu benar-benar tidak punya hati. Hembusan napas yang cukup panjang pun keluar dari dalam mulut Alice. Ia bangkit dari ranjang dan menuju ke pintu kamar, lalu membukanya. Sudah keluar dari dalam kamar dan sekarang, nampak seorang lelaki, yang merupakan kepala pelayan di rumah ini, yang baru saja memasuki sebuah kamar. Alice mendekat dan hendak menemuinya. Ia berdiri saja di depan pintu kamar yang dimasukinya tadi dan menunggu orang tersebut keluar lagi. Setelah sekitar lima menit, lelaki yang berusia sekitar lima puluh tahun itupun keluar juga. Alice sempat melirik sedikit dan nampak penasaran dengan apa yang ada di dalam sana. "Selamat malam, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu??" tanya lelaki tersebut dan bola mata Alice segera berpindah kepadanya. Alice tertegun, lalu kemudian menoleh ke belakang, untuk melihat dengan siapakah orang ini berbicara. Tapi, tidak ada siapapun di sana. Selain daripada dirinya saja. "Saya maksudnya??" tanya Alice sembari menunjuk dirinya sendiri. "Iya betul sekali, Nyonya. Anda ini adalah istri dari Tuan muda kedua kami. Jadi, anda adalah nyonya di rumah ini. Oh iya, perkenalkan, saya Vinson. Saya adalah kepala pelayan di sini. Nyonya bisa meminta apapun itu dari saya," ucapan yang pas sekali dengan keinginannya sekarang. "Apapun?? Em, saya ingin makan. Makanan. Saya lapar sekali belum makan sejak tadi siang," ucap Alice yang sudah sangat semringah sekali. "Baik, Nyonya. Saya akan sampaikan kepada koki untuk memasak makanan terbaik dan juga menyuruh pelayan untuk mengantarkannya ke kamar. Atau Nyonya ingin makan di bawah? Di ruang makan?" "Em... Di kamar saja deh," pinta Alice. "Baiklah, Nyonya. Kalau begitu, saya permisi dulu," ucapan Vinson yang kini sudah mulai turun dengan melalui tangga dan datang ke lantai bawah. Sementara Alice sendiri, tadinya akan kembali ke dalam kamar. Hanya saja, rasa penasarannya belum tuntas, karena ia melihat sesuatu yang cukup membuat rasa penasarannya menggebu. Alice melihat ke kanan dan kiri. Dirasa situasi aman dan sepi. Ia pun cepat-cepat masuk ke dalam kamar tersebut dan menutup pintunya dengan tidak begitu rapat. Kini, Alice berbalik dan melihat hal yang begitu menggelitik rasa penasarannya dan itu, terlihat juga terletak di atas tempat tidur. Alice mendekat perlahan ke arah tempat tidur dan menatap sesosok pria, yang tengah mengatupkan kelopak matanya di sana. Tubuhnya dipenuhi luka dan juga terlihat perban dimana-mana. Bahkan, ada juga selang infus yang terpasang dan juga tersambung ke tangan kiri lelaki itu. "Sedang apa kamu di sini!?" seru suara dari balik pintu yang terbuka lebih lebar dan Alice, segera menoleh dengan bola mata yang kini membulat dengan sempurna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN