Alice tengah duduk di depan cermin dengan tatapan mata yang kosong dan juga, sembari menyisir rambutnya yang basah, setelah ia habis mandi tadi.
Tidak kenal ayah sejak kecil dan sekalinya mengenal lelaki, malah dapat yang bersifat tempramen. Pantas saja, ibunya lebih memilih untuk membesarkannya seorang diri. Mungkin inilah sebabnya juga. Bila tidak diinginkan, pasti sikapnya juga tidak akan sebaik itu. Buktinya, lelaki yang merupakan ayah kandungnya sendiri saja, malah menyerahkannya kepada keluarga ini. Setelah pernikahan, menanyakan kabar pun tidak. Ia bak dibuang serta diasingkan di sini. Ternyata, menjadi istri maupun anak yang tidak diinginkan itu tidaklah enak.
Kalau sudah begini, kemana ia harus mengadu serta berkeluh kesah?? Tahu begini, ia tidak akan mencari ayahnya dan akan mencoba bertahan hidup sendiri saja di luar sana. Dari pada tinggal di rumah mewah. Tapi selalu saja kena marah. Seolah-olah, apa yang ia lakukan, tidaklah pernah benar sama sekali.
Alice meletakkan sisi dan segera menyadarkan diri, dari lamunan yang hanya sesaat, tetapi pasti akan menjadi penyebab ia diteriaki lagi. Harus segera memeriksa keadaan lelaki, yang tidak sadar-sadar juga di sana. Padahal, kalau sadar dengan lebih cepat. Mungkin itu akan sedikit mengurangi bebannya. Atau malahan bertambah??? Ah entahlah. Sekarang fokus saja, pada kesembuhan orang itu. Jangan sampai melakukan kesalahan yang hanya sedikit saja. Karena pasti, hal itu malah akan menjadi fatal di mata lelaki pemarah itu.
Alice sudah keluar dari dalam kamar, dengan menoleh ke kanan maupun kiri. Sepi. Tidak ada siapapun. Tapi, baru hendak cepat-cepat masuk ke dalam kamar lelaki yang sedang sakit itu. Lelaki lainnya, yang baru keluar dari dalam kamar lain, malah memekik kepadanya.
"Hey, tunggu dulu!!" seru Storm dan Alice segera mengalihkan pandangannya ke bawah.
Storm mendekat dan sudah berada di hadapan Alice. Tapi Alice yang tidak mau mengangkat kepalanya itu, malah membuat Storm keheranan.
"Hey! Lihatlah ke sini! Aku ada di sini, bukan dibawah sana !" seru Storm.
Alice mengangkat kepalanya perlahan dan menatap lelaki di depannya, tapi dengan bola mata, yang masih juga tidak fokus dan malah melirik kemana-mana.
"Ck! Hey dengar! Aku akan pergi hari ini dan ingat pesanku sebelumnya. Kamu tahu harus apa bukan??" tanya Strom untuk memastikan ingatkan wanita ini cukup kuat dan otaknya masih berfungsi, sebagaimana mestinya.
"Eum... Cek keadaan setiap jam. Kalau bangun, cepat-cepat panggil Pak Vinson," ucap Alice yang tidak terlalu mendetail. Meskipun maksudnya memang sudah sesuai, dengan apa yang Storm sampaikan sebelumnya.
"Ok lumayan. Kalau begitu, aku pergi dulu," ucap Storm yang langsung pergi begitu saja dari hadapan Alice. Benar-benar tidak dianggap. Padahal, mereka ini suami istri kan?? Tapi, kenapa ia malah diperlakukan seperti seorang suster saja, yang hanya bertugas menjaga orang sakit. Selebihnya, tidak pernah dianggap kehadirannya.
Ah sudahlah. Apa yang ia harapkan memangnya?? Toh lelaki itu memang tidak pernah menginginkan pernikahan, yang sudah mereka jalani dan ia pun memanglah hanya peran pengganti saja.
Setelah kepergian Storm dari hadapannya. Langkah kaki kembali Alice teruskan ke dalam kamar. Sepasang bola matanya itu pun, seketika langsung tertuju kepada lelaki yang masih terbaring di atas tempat tidur.
Alice semakin mendekat, hingga sekarang sudah berdiri di sisi ranjang dan melihat dari jarak yang dekat, lelaki yang kelopak matanya masih mengatup ini. Tapi belum ada tanda-tanda ia akan bangun. Lama sekali tidurnya. Apa lelaki ini, sudah tidak akan bangun lagi?? Tapi, ia masih bernapas. Alice tarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia pandangi saja lelaki itu terus menerus. Toh memang tidak ada pekerjaan yang bisa ia lakukan di sini dan setidaknya, saat lelaki ini bangun nanti, ia bisa segera melaporkan hal tersebut.
Sementara itu di tempat lain.
Lelaki yang masih diberi kelonggaran, untuk tidak pergi ke kantor dahulu itupun, malah pergi untuk melakukan olahraga menembak. Ia sudah memegang senapan dan membidik sasaran. Lalu kemudian melayangkan peluru pada titik tengah, yang hampir sempurna dan hanya meleset sedikit saja. Percobaan yang kedua pun dilakukan dan hanya tinggal sedikit lagi juga, tembakannya pas pada sasaran. Lumayanlah, untuk menghilang rasa penat dan rasa kesalnya juga, yang tidak mau kunjung reda, bila sudah berada di dalam rumah, yang sudah tidak nyaman untuk dihuni.
Kembali lagi ke rumah. Alice yang sedang duduk sambil melamun itupun, seketika melonjak kaget, ketika ponsel yang diberikan untuknya dari sang ayah berdering. Sudah tersenyum dengan sangat semringah sekali, karena akhirnya dihubungi dan berpikir, ia akan sedikit saja diberikan perhatian. Tetapi sayangnya, hal itu sungguh lah di luar dari ekspektasinya.
"Alice??" panggilan dari suara ayahnya dan detik berikutnya, suara langsung berubah menjadi suara perempuan.
"Hey! Apa kamu sudah melakukan pendekatan kepada suamimu?? Kalian sudah melewatkan malam bersama kan??" pertanyaan yang malah membuat Alice kebingungan.
"Belum," jawab Alice sesuai dengan kenyataan dan malah mengundang amarah, dari wanita yang sedang bicara padanya.
"Astaga! Agresif lah sedikit! Setelah kalian dekat, bujuk dan mintalah suami itu, untuk menanamkan sahamnya di perusahaan ayahmu!"
Alice membuka mulutnya dan menganga. Jadi, pernikahan inipun, bukan hanya pernikahan biasa?? Ia dijadikan alat, untuk meminta-minta juga???
"Tapi saya tidak bisa," jawab Alice dengan jujur.
"Tidak bisa?? Oh astaga!! Kamu pikir, untuk apa kami menikahkan mu pada anak dari keluarga kaya hah?? Hanya untuk bersenang-senang saja?? Pokoknya, kamu harus buat suamimu, untuk menanamkan saham dan modalnya di perusahaan ayahmu. Karena kalau tidak, ayahmu akan bangkrut dan juga gulung tikar!" seruan lainnya, yang membuat Alice bertambah shock. Apa-apaan ini?? Bagaimana mungkin ia membujuk laki-laki itu?? Sikap dan juga perilaku lelaki itu saja terhadapnya sama sekali tidak bersahabat. Jadi bagaimana mungkin, ia bisa meminta hal yang disuruh, oleh wanita yang merupakan istri dari ayahnya ini??
"Sudah. Pokoknya kamu harus bujuk dia dan segera kabari kami kembali, kalau kamu sudah berhasil melakukannya!"
Kata-kata terakhir yang menyapa indra pendengaran Alice dan tak ada satupun, yang berhubungan dengannya. Jadi, ia hanya dimanfaatkan saja kah?? Kenapa mereka begitu tega?? Terutama, ayahnya sendiri, yang tidak ada membelanya sama sekali.
Alice membekap wajah, dengan kedua telapak tangannya sendiri. Ini adalah mimpi buruk. Ia sudah keluar dari mulut singa dan dengan sengaja, malah diumpankan pada mulut buaya. Rasanya jadi sama saja. Bahkan, ia merasa ini lebih parah lagi. Bagaimana caranya, ia membujuk lelaki, yang ia tidak meminta apa-apa saja, malah selalu memarahinya?? Ah ia hampir gila rasanya. Memikirkan semua hal ini.
Alice menurunkan kedua telapak tangan dari wajahnya dan menatap lelaki, yang tiba-tiba saja membuat dahi Alice mengernyit, dengan gerakan kelopak mata.
Alice secepatnya bangkit dari kursi. Ia pandangi dengan lebih teliti lagi, untuk lebih memastikan, bila ia tidak salah melihat dan ketika kelopak mata yang bergerak itu terbuka perlahan, Alice segera membuka kelopak matanya lebar-lebar. Lalu berlarian keluar dan meneriaki nama kepala pelayan di sini.
"Pak Vinson!! Tolong, Pak!! Dia sudah bangun!!" pekikan yang Alice lontarkan di luar kamar dan membuat orang yang baru membuka kelopak matanya itu menjadi kebingungan. Apa lagi, dengan kehadirannya di sana tadi.
Alice berdiri di pojokan bersama Vinson dan menatap lelaki, yang tengah diperiksa keadaannya oleh dokter, yang sudah Vinson panggil ke sini tadi.
"Nyonya, apa sudah menghubungi Tuan??" tanya Vinson sembari menoleh dan menatap wanita yang terlihat kebingungan di sampingnya ini.
"Hah? Menghubungi siapa??" tanya Alice sembari menunjukkan kerutan di keningnya.
"Tuan Storm," ucap Vinson sembari tersenyum dan Livy baru mulai mengerti.
"Oh... Belum. Em, saya tidak punya nomornya," ucap Alice sembari tersenyum kaku. Cukup aneh memang, kalau dilihat oleh orang lain. Seorang istri yang tidak memiliki nomor suaminya sendiri. Tapi kalau tidak diakui dan tidak diinginkan, ya mau bagaimana lagi. Tidak diseret keluar saja sudah syukur.
"Benarkah? Kalau begitu, saya akan beritahu nomor tuan Storm," ucap Vinson dan Alice segera mengetik nomornya, juga menghubungi nomor tersebut. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kenapa tidak langsung Vinson saja yang menghubungi?? Kenapa harus ia begini?
"Halo?? Ini siapa??" tanya lelaki, yang sebenarnya sudah sangat membuat Alice malas, walaupun hanya mendengar suaranya saja.
"Em, ini aku Alice."
"Alice?? Alice siapa??" tanya Storm sampai Alice ingin sekali tertawa rasanya.
"Yang menjaga kakak kamu!" cetus Alice jengkel. Saking tidak dianggapnya, sampai namanya saja tidak diingat. Lelaki ini benar-benar. Setidaknya, ingatlah, walaupun hanya sekedar nama.
"Oh kamu. Ada apa???" tanya Storm dengan nada suara yang malas. Tidak kalah malasnya dengan Alice juga sebenarnya.
"Sudah sadar," jawab Alice singkat.
"Siapa?? Kakakku??" tanya Storm.
"Iya. Dia sudah bangun."
"Baiklah. Aku akan segera pulang," ucap Storm yang segera mengakhiri panggilan teleponnya.
Vinson mendekati lelaki yang sedang menatap Alice terus menerus. Sementara Alice juga mengikuti dari belakang sembari sesekali melirik kepada orang tersebut.
"Bagaimana keadaan Tuan saya, dok?" tanya Vinson.
"Syukurlah. Kondisinya sudah berangsur membaik. Saya akan tuliskan resep obat yang harus diminum. Nanti, setelah diberi makan, bisa langsung diminumkan juga obatnya," ujar seorang dokter keluarga Dawson.
"Baiklah. Silahkan," ucap Vinson dan dokter sudah mulai mengguratkan tinta hitam di atas kertas putih dan beralaskan nakas.
"Ini, resep obatnya ya? Semoga Tuan Seth bisa segera pulih dan saya permisi dulu."
"Baik, dok. Terima kasih banyak. Mari saya antar ke depan," ucap Vinson yang segera pergi dari dalam kamar, bukan hanya untuk sekedar mengantar saja. Tetapi menyuruh pelayan menyiapkan makanan. Maupun ia yang menebus obat itu sendiri di apotek, agar tidak ada kesalahan dan ia bisa menanyakan kepada dokter juga. Obat yang dibelinya itu sudah benar ataupun belum.
Pintu kamar ditutup dan dalam seketika kecanggungan yang hebat pun tercipta di sana. Alice bingung harus berbuat apa dan hanya berdiri saja di sisi ranjang. Sementara orang yang sudah membuka kelopak matanya itu, malah terus menerus memperhatikan Alice, sebab bingung dengan adanya orang asing di rumah ini.
"Kamu siapa??" pertanyaan pertama yang meluncur dari mulut lelaki, yang masih terbaring di atas ranjang dan Alice, seketika kebingungan harus menjawab apa. Ingin mengatakan istri dari orang yang tempramen itu?? Tidak sudi rasanya. Pasti juga, ia akan besar kepala, karena merasa diaku-akui. Ia berani bertaruh, kalau ditanya oleh orang pun, tidak akan dia menjawab bila ia ini adalah istrinya.
"Em, saya Alice. Saya disuruh menjaga anda di sini dan mengecek keadaan anda setiap hari," ucap Alice sesuatu dengan tugasnya saja. Jadi, orang yang bertanya tadi, berpikir bila Alice ini hanyalah seorang suster saja.
"Oh begitu. Kalau begitu, tolong ambilkan air, saya haus sekali," pinta Seth.
"Iya baiklah. Tunggu sebentar," ucap Alice yang segera keluar dari dalam kamar dan untungnya bertemu dengan pelayan, yang sudah membawakan makanan, maupun minuman juga yang berada di dalam nampannya.
"Biar saya saja yang bawa ke dalam," ucap Alice yang mengambil alih nampan, saat berada di luar kamar.
"Baik, Nyonya. Silahkan," ucap si pelayan yang mengalihkan nampan yang ia bawa kepada Alice.
Alice ambil nampan tersebut, lalu ia bawa masuk ke dalam kamar dan letakkan di atas nakas. Ia ambil airnya juga, yang sudah tersedia dengan sedotannya juga. Ah benar-benar memudahkan pekerjaannya di sini.
"Ini minumnya," ucap Alice sembari memasukan ujung sedotan ke dalam mulut Seth yang sudah terbuka sedikit.
Air putih dalam gelas tinggi itu dihisap dan ditelan dengan tiga kali tegukan. Setelahnya, hembusan napas panjang pun keluar dari dalam mulutnya.
"Sudah. Terima kasih," ucap Seth.
"Iya. Sama-sama," balas Alice sembari meletakkan gelasnya di atas nampan.
Seth terdiam sesaat sembari memperhatikan ruangan yang sepi ini, lalu kemudian menanyakan, kemana semua orang di rumah ini, kepada wanita, yang hanya berdiri saja di sisi ranjang sembari menundukkan kepala.
"Dimana orang tua dan juga adikku??" tanya Seth kepada Alice yang seketika mengangkat kepalanya.
"Em, kalau orang tua, mereka pergi ke New York untuk urusan bisnis. Terus kalau adik, sedang perjalanan pulang ke sini. Tapi tidak tahu habis darimana. Cuma tadi pas di telepon, katanya dia mau pulang."
Setiap kata yang menyapa indra pendengaran Seth dan membuatnya kembali merasa heran. Suster satu ini, berani sekali hanya menyebut adiknya dengan kata 'dia'. Seperti orang yang sudah akrab saja.
"Ya sudah. Tidak apa-apa," ucap Seth yang kembali mengembuskan napas dan diam sembari menatap langit-langit kamarnya saja.
Alice pun diam-diam memperhatikan lelaki ini. Dia, kelihatan berbeda dari adiknya. Berbicara dengan lebih lembut dan tidak pakai urat. Apa karena sedang sakit? Kalau sudah sembuh, mungkin akan sama. Namanya juga Kakak beradik kan??
Setelah beberapa menit berlalu. Seth kembali menatap kepada Alice lagi dan kemudian menegurnya.
"Kenapa berdiri saja? Apa tidak pegal? Ambil kursi dan duduk. Atau duduk di sini juga tidak apa-apa," ucap Seth sembari melirik ke sisi ranjang dan kembali mengingatkan Alice, akan larangan untuk menyentuh ranjang itu lagi.
"Em, iya," ucap Alice yang kini lebih memilih untuk menarik kursi dan duduk sembari menunggui lelaki, yang malah Alice rasa, lebih ramah dari adiknya. Lebih sedikit perhatian juga. Tidak dengan adiknya, yang ia hanya ketiduran di atas ranjang saja langsung disiram.
"Sudah berapa tahun?" tanya Seth yang tentu saja membuat Alice bingung.
"Hah? Apanya??" tanya Alice.
"Kamu sudah berapa tahun, bekerja jadi suster?" tanya Seth yang kini membuat Alice menggaruk kepalanya sendiri.
"Em, saya bukan suster," ucap Alice sembari tersenyum kaku.
"Bukan? Kalau begitu, apa kamu pelayan baru?" tanya Seth yang belum dijawab. Tapi seseorang yang Alice telepon tadi, kini sudah kembali dan segera menghampiri Seth. Sementara Alice segera berdiri dan menyingkir dari sisi ranjang.
"Bagaimana keadaan kakak?? Apa sudah lebih baik sekarang??" tanya lelaki, yang siapa lagi kalau bukan Storm dan kini tengah duduk di sisi ranjang.