CEO Yang Tak Terkalahkan

1408 Kata
Gedung Bima Cakra Group, Jakarta Nadine Arista berjalan melewati lorong panjang menuju ruangannya. Hari ini adalah hari pertama ia resmi bekerja sebagai CMO di salah satu perusahaan teknologi dan media terbesar di Indonesia. Matanya menyapu sekeliling kantor yang luas, dengan desain modern dan kaca-kaca tinggi yang memberikan pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Tim marketing yang kini berada di bawah kepemimpinannya tampak profesional, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mereka meliriknya dengan rasa ingin tahu, beberapa bahkan berbisik saat ia melewati mereka. Nadine tidak terkejut. Kedatangannya sudah menjadi bahan perbincangan sejak pengumuman perekrutannya tersebar. Bukan hanya karena ia berhasil mendapatkan posisi tinggi ini, tapi juga karena tugas utama yang menunggunya—membenahi citra CEO mereka, Zayn Rayden Natamanggala. Setelah memasuki ruangannya, ia meletakkan tas di meja, lalu mengambil laptopnya. Di depannya, sudah ada berkas-berkas strategi pemasaran perusahaan yang ia pelajari selama beberapa hari terakhir. Ia baru saja mulai membaca ketika pintu ruangannya diketuk. Seorang pria berjas abu-abu masuk, membawa secangkir kopi. “Selamat datang di Bima Cakra Group, Bu Nadine.” Nadine menatap pria itu dan mengangguk. “Terima kasih. Anda siapa?” “Saya Arya, Head of Public Relations. Saya bekerja langsung di bawah tim Anda.” Nadine mengulurkan tangan. “Senang bertemu dengan Anda, Arya.” Arya menyambut jabatannya dengan sopan, lalu meletakkan kopi yang dibawanya di meja. “Saya ingin memberikan sedikit gambaran tentang kondisi PR perusahaan saat ini. Seperti yang Anda tahu, salah satu tugas terbesar kita adalah menangani berita tentang pak Zayn.” Nadine menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Arya dengan tenang. “Apa masalah terbaru yang harus kita tangani?” Arya menyerahkan sebuah berkas kepadanya. “Baru kemarin, media memberitakan bahwa pak Zayn terlihat meninggalkan klub malam bersama seorang model terkenal. Foto-foto mereka tersebar di media sosial, dan sekarang beberapa investor mulai mempertanyakan stabilitas kepemimpinan perusahaan.” Nadine membaca sekilas artikel yang diselipkan dalam berkas itu. Headline-nya cukup eksplosif: “CEO Bima Cakra Group Terjerat Skandal Lagi, Kali Ini dengan Model Internasional”. Ia menghela napas panjang. “Apakah pak Zayn sudah memberikan pernyataan? Arya ragu-ragu sebelum menjawab. “Seperti biasa, tidak.” Nadine tersenyum tipis. Sudah bisa ditebak. “Baik, kalau begitu saya akan bicara langsung dengannya.” Arya tampak sedikit terkejut. “Anda yakin, Bu?” “Saya tidak akan bisa menjalankan tugas saya jika CEO sendiri tidak mau bekerja sama.” Nadine bangkit berdiri dan merapikan blazernya. “Saya akan menemui Zayn sekarang.” *** Suara tawa pelan terdengar di ruangan luas itu, bercampur dengan suara napas yang sedikit berat. Di atas meja kerja Zayn, Cassandra Levin duduk dengan satu kaki menyilang, jemari lentiknya masih menyusuri kerah kemeja pria yang berdiri di depannya. Zayn Rayden Natamanggala, CEO Bima Cakra Group, menatap wanita itu dengan sorot mata yang penuh api. Dasi yang tadinya rapi kini sudah longgar, lengan kemejanya tergulung, dan rahangnya mengencang ketika Cassandra menariknya lebih dekat. “Aku merindukan ini,” gumam Cassandra, suaranya menggoda. Zayn tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, lalu menelusuri garis rahang wanita itu dengan jarinya, menikmati cara Cassandra langsung kehilangan kendali di bawah sentuhannya. “Kamu enggak pernah benar-benar pergi, Cass,” bisiknya pelan. Cassandra tertawa kecil. “Dan kamu enggak pernah benar-benar menolakku.” Ia menarik Zayn lebih dekat, hingga bibir mereka hampir bersentuhan. Dan kali ini, Zayn tidak menghindar. Dengan satu gerakan cepat, ia mencium wanita itu dengan penuh d******i, membuat Cassandra mengerang kecil di antara bibirnya. Tangan Zayn menyelusuri punggung Cassandra, menekan tubuhnya lebih erat ke dadanya, sementara wanita itu membalas dengan antusias, jari-jarinya menarik rambut di tengkuk Zayn. Panas. Keras. Intens. Bukan sesuatu yang asing bagi Zayn. Cassandra selalu tahu bagaimana cara membuatnya lupa akan segalanya. Dan hari ini dia datang untuk melanjutkan yang semalam, Zayn memang tidak ingin berpikir tentang hal lain selain menikmati permainan ini. Zayn mengangkat wanita itu dengan mudah, mendudukkannya di meja, menggigit pelan bibirnya sebelum beralih ke lehernya. Cassandra melingkarkan kakinya di pinggang pria itu, menariknya lebih dalam ke dalam permainan yang mereka sama-sama kuasai dengan baik. Di ruangan itu, hanya ada mereka berdua. Tidak ada rapat, tidak ada kerja, tidak ada tanggung jawab—hanya kenikmatan yang sama-sama mereka kejar. Dan Zayn tidak menyesalinya sedikit pun. *** Lantai Eksekutif, Ruang CEO. Ketika Nadine tiba di depan ruang CEO, ia melihat seorang wanita muda keluar dari dalam ruangan. Wanita itu berambut panjang dengan gaun mahal, dan Nadine mengenali wajahnya dari media. Salah satu model yang dikaitkan dengan Zayn dalam berita baru-baru ini. Wanita itu melirik Nadine dari ujung kepala hingga kaki sebelum tersenyum sinis dan berjalan pergi. Nadine menahan diri untuk tidak menghela napas keras. Ini baru hari pertama, dan sudah ada drama. Ia mengetuk pintu ruang CEO. Suara santai terdengar dari dalam. “Masuk.” Nadine membuka pintu dan masuk. Zayn sedang duduk santai di belakang meja, dengan dasi yang sudah longgar dan ekspresi puas di wajahnya. “Selamat pagi, Nona CMO,” sapanya dengan nada menggoda. “Kehormatan apa yang membuat Anda datang ke ruangan saya begitu cepat?” Nadine tidak membuang waktu. “Kita perlu bicara tentang skandal yang baru saja muncul di media.” Zayn tersenyum, seakan tidak peduli. “Skandal yang mana? Aku punya banyak.” Nadine menahan dorongan untuk memutar mata. “Yang melibatkan model terkenal yang baru saja keluar dari ruangan Anda.” Zayn mengangkat bahu. “Dia hanya temanku. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan.” Nadine meletakkan berkas yang dibawanya ke meja. “Itu mungkin tidak berarti bagi Anda, tetapi bagi investor, itu adalah masalah. Kita tidak bisa terus membiarkan citra Anda seperti ini.” Zayn menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapnya dengan senyum penuh tantangan. “Dan menurutmu, bagaimana caranya agar aku terlihat lebih baik di mata publik?” Nadine melipat tangan di d**a. “Mulai dengan berhenti menciptakan skandal.” Zayn tertawa kecil. “Kamu pikir aku bisa mengubah diriku semudah itu?” “Bukan saya yang harus berpikir. Anda yang harus sadar.” Nadine menatapnya tajam. “Saya dipekerjakan untuk memastikan citra Anda tidak menghancurkan perusahaan ini. Tapi jika Anda tidak peduli, maka tidak ada gunanya saya di sini.” Zayn mengangkat alisnya, tampak sedikit tertarik dengan ketegasan Nadine. “Jadi, kamu mengancam akan pergi?” Nadine menggeleng. “Saya hanya ingin tahu apakah Anda ingin bekerja sama atau tidak. Karena saya tidak akan membuang waktu saya untuk seseorang yang bahkan tidak peduli dengan pekerjaannya sendiri.” Sejenak, Zayn hanya menatapnya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan—seperti seseorang yang baru saja menemukan permainan baru yang menarik. Lalu, tiba-tiba Zayn bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. Aroma parfum eksclusive Zayn disertai tatapan tak terbacanya mampu membuat jantung Nadine berdetak lebih kencang Nadine tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak sedikit pun meski pria itu berdiri hanya satu langkah kecil darinya. “Menarik,” gumam Zayn sambil menatapnya dengan mata tajam. “Aku belum pernah bertemu wanita yang bicara seperti itu padaku.” Nadine tetap menjaga ekspresi profesionalnya. “Mungkin karena Anda terbiasa dikelilingi orang-orang yang hanya ingin menyenangkan Anda.” Zayn tersenyum kecil, lalu menyandarkan satu tangan di meja, mencondongkan tubuh lebih mendekat membuat Nadine yang bokongnya sudah mendesak Meja tidak bisa ke mana-mana. “Dan kamu berbeda?” Nadine tidak gentar. “Saya tidak tertarik untuk menyenangkan Anda. Saya hanya tertarik pada pekerjaan saya.” Zayn memiringkan kepalanya sedikit, seperti sedang menilai sesuatu. “Kamu tahu, Nadine, aku suka wanita yang tidak takut padaku.” Nadine akhirnya tersenyum tipis. “Sayangnya, saya juga tidak tertarik untuk menjadi salah satu koleksi Anda.” Zayn menatapnya, lalu tertawa. Ia melangkah mundur, kembali ke kursinya. “Baiklah, CMO-ku yang tangguh. Apa rencana besarmu untuk memperbaiki citra burukku?” Pria itu menjauh. Nadine membuka berkasnya dan menggeser salah satu dokumen ke arahnya. “Pertama, kita akan membuat wawancara eksklusif untuk mengubah cara publik melihat Anda. Kedua, kita akan mengurangi paparan media sosial yang tidak perlu. Ketiga, saya akan mengatur beberapa kampanye sosial yang bisa memperlihatkan sisi lain Anda.” Zayn membaca sekilas dokumen itu, lalu menatap Nadine dengan senyum tipis. “Dan jika aku tidak mengikuti rencanamu?” Nadine menutup berkasnya dengan mantap. “Maka saya akan memastikan Anda kehilangan dukungan dari investor sebelum Anda sempat mengatakan ‘saya tidak peduli’.” Zayn menatap Nadine lama. Untuk pertama kalinya, tatapan pria itu bukan sekadar godaan, tetapi seperti seseorang yang mulai menganggapnya sebagai lawan yang sepadan. Lalu, akhirnya, Zayn tersenyum kecil. “Baiklah, Nadine. Aku akan mengikuti permainanmu.” Nadine menghela napas lega, meskipun ia tahu ini baru permulaan. Bekerja dengan Zayn akan menjadi tantangan terbesar dalam hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN