Tawaran Menggiurkan
Nadine Arista menatap layar laptopnya dengan mata tajam, membaca ulang email yang baru saja masuk. Subjeknya sederhana, tapi isinya mengejutkan.
“Penawaran Posisi Chief Marketing Officer – Bima Cakra Group”
Ia hampir mengira ini adalah kesalahan, tetapi nama pengirimnya terlalu jelas untuk diabaikan: Bima Cakra Group, perusahaan teknologi dan media terbesar di Indonesia.
Tangannya masih ragu saat menggerakkan kursor untuk membuka lampiran resmi yang berisi detail tawaran pekerjaan. Gaji yang menggiurkan. Fasilitas luar biasa. Bonus tahunan yang lebih besar daripada gaji tahunannya di perusahaan sekarang.
Tapi ada satu detail yang langsung menarik perhatiannya.
“Tugas utama: memperbaiki citra CEO perusahaan, Zayn Rayden Natamanggala.”
Nadine menyandarkan punggungnya ke kursi, menghembuskan napas panjang. Ini mulai masuk akal.
Ia sudah sering mendengar nama Zayn Rayden Natamanggala—bukan karena prestasinya sebagai CEO, tetapi karena skandal dan kontroversi yang terus melekat pada pria itu. Seorang billioner muda, tampan, tapi penuh masalah.
Lelaki itu bukan sekadar pemimpin bisnis. Dia adalah berita utama media hiburan.
Dan sekarang, orang-orang di balik perusahaan ini ingin menyelamatkan citra Zayn dengan merekrut seorang CMO baru?
Nadine tidak langsung mengambil keputusan.
Di satu sisi, ini adalah kesempatan emas. Posisi CMO di perusahaan sebesar Bima Cakra Group bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan sembarang orang. Ini akan menjadi loncatan besar dalam kariernya.
Namun, di sisi lain, bekerja dengan seorang CEO yang terkenal playboy dan arogan bisa jadi bencana. Nadine tidak punya waktu untuk terlibat dalam drama pria bermasalah.
Ia menutup macbook lalu memijat pelipisnya. Tawaran ini terlalu besar untuk ditolak, tapi juga terlalu berisiko untuk diterima tanpa pertimbangan matang.
***
Dua hari kemudian, Nadine akhirnya memutuskan untuk datang ke gedung megah milik Bima Cakra Group.
Ia melangkah masuk ke lobi yang luas dengan percaya diri, mengenakan blazer hitam dan rok pensil elegan. Tumit sepatunya mengetuk lantai marmer yang mengilap saat mendekat ke resepsionis.
“Nadine Arista. Saya ada janji wawancara dengan Direksi.”
Tidak butuh waktu lama sebelum ia diantar ke sebuah ruangan pertemuan di lantai tertinggi gedung itu.
Di dalam, ia disambut oleh dewan direksi perusahaan, yang langsung menjelaskan mengapa mereka merekrutnya.
“Seperti yang Anda ketahui, Bima Cakra Group berada dalam sorotan media karena kehidupan pribadi CEO kami,” salah satu anggota dewan berbicara. “Kami ingin mengubah citra perusahaan dan menjauhkan nama Zayn Rayden Natamanggala dari skandal yang tidak menguntungkan.”
Nadine tidak terkejut. Sejak awal, ia sudah tahu bahwa tugasnya bukan sekadar mengelola branding perusahaan, tetapi juga ‘menjinakkan’ CEO-nya.
“Anda memiliki rekam jejak yang luar biasa di dunia pemasaran,” kata direktur lainnya. “Kami percaya Anda bisa menangani tugas ini.”
Nadine menyilangkan tangan. “Dengan segala hormat, memperbaiki citra perusahaan adalah satu hal. Tapi jika CEO sendiri tidak memiliki niat untuk berubah, semua strategi pemasaran yang saya buat akan sia-sia.”
Para direksi saling bertukar pandang.
“Zayn bukan orang yang mudah diatur,” akhirnya salah satu dari mereka mengakui. “Tapi kami berharap kehadiran Anda bisa membawa pengaruh yang lebih positif. Kami butuh seseorang yang bisa menghadapi Zayn tanpa takut padanya.”
Tanpa takut padanya.
Kata-kata itu menarik perhatian Nadine.
Mereka tidak sekadar mencari CMO biasa. Mereka mencari seseorang yang bisa menghadapi Zayn secara langsung—seseorang yang tidak akan menyerah hanya karena pria itu sulit diatur.
Diam-diam, Nadine merasa tertantang.
Ia selalu menyukai tantangan. Dan jika Zayn benar-benar seperti yang mereka katakan, maka ia akan menjadi ujian terbesar dalam kariernya.
Setelah beberapa detik berpikir, ia akhirnya mengulurkan tangan.
“Baik. Saya terima tawaran ini.”
Para direksi tersenyum puas.
Tapi satu hal yang belum mereka katakan padanya—bahwa Zayn Rayden Natamanggala bukan hanya seorang CEO yang sulit diatur.
Ia juga seorang pria yang ketika menginginkan sesuatu, tidak pernah membiarkan siapa pun menolaknya.
***
Bau kopi yang masih panas menguar di ruangan kaca berukuran luas dengan pemandangan Jakarta yang mulai diselimuti langit senja. Nadine Arista berdiri tegak di depan meja panjang, menunggu kedatangan pria yang selama beberapa hari terakhir memenuhi headline media. CEO Bima Cakra Group, Zayn Rayden Natamanggala—bos barunya, sekaligus pria dengan reputasi buruk yang kini menjadi tanggung jawabnya.
Sore ini, ia dijadwalkan untuk pertemuan pertamanya dengan Zayn, membahas strategi untuk membersihkan citra pria itu. Nadine menelusuri dokumen di tangannya, membaca ulang data yang telah dikumpulkannya dari berbagai media. Skandal dengan model, rumor perkelahian di sebuah klub malam, dugaan hubungan gelap dengan artis terkenal—daftar panjang yang cukup untuk membuat kepala Nadine berdenyut.
Pintu kaca ruang rapat terbuka. Seorang pria tinggi dengan jas hitam yang tersampir santai di pundaknya masuk ke dalam ruangan. Wajahnya tampan dengan rahang tegas, matanya tajam seakan menilai semua yang ada di depannya. Namun, yang paling membuat Nadine ingin memutar bola matanya adalah senyum malas yang yang tercipta di bibir tipis Zayn seakan sudah mengetahui alasan pertemuan ini.
“Jadi ini dia orang yang ditugaskan untuk ‘memperbaiki’ aku.” Suaranya terdengar santai, penuh dengan kepercayaan diri yang berlebihan.
Nadine tidak bereaksi. Ia menutup berkasnya dan menatap pria itu tanpa sedikit pun gentar. “Lebih tepatnya, saya ditugaskan untuk memperbaiki citra perusahaan ini. Kebetulan, Anda adalah bagian yang paling bermasalah.”
Zayn mengangkat alisnya, tertawa kecil. “Langsung menembak, ya? Aku suka orang yang blak-blakan.”
Nadine tetap tidak terpengaruh. Ia menarik kursi dan duduk, menyilangkan kaki dengan elegan. “Kita tidak punya banyak waktu untuk basa-basi. Seperti yang Anda tahu, berita tentang Anda dan model terkenal yang viral kemarin telah menyebabkan beberapa investor mulai mempertanyakan etika perusahaan ini. Jika kita tidak melakukan perbaikan, itu bisa berdampak pada saham perusahaan.”
Zayn mengambil tempat di kursi di seberangnya, menopang dagu dengan satu tangan, masih dengan ekspresi bermain-main. “Dan kamu pikir aku peduli?”
Itu dia. Alasan utama mengapa pria ini menjadi PR disaster berjalan. Zayn tidak peduli.
Nadine menarik napas panjang, menjaga nada suaranya tetap profesional. “Jika Anda tidak peduli dengan reputasi Anda sendiri, setidaknya pedulilah pada perusahaan yang Anda pimpin.”
Zayn menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. Senyum yang memiliki bahaya tersendiri. “Aku lebih penasaran, kenapa kamu peduli?”
Nadine tidak mengalihkan pandangannya. “Karena ini pekerjaan saya. Dan saya selalu melakukan pekerjaan saya dengan baik.”
Zayn menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Nadine dengan penuh ketertarikan. “Kamu ambisius sekali, ya?”
“Profesional.” Nadine membalas tanpa ragu.
Sejenak, keheningan mengisi ruangan. Zayn tampak seperti sedang mempertimbangkan sesuatu, lalu ia berkata, “Baiklah, Nona CMO yang profesional. Apa rencanamu untuk ‘memperbaiki’ aku?”
Nadine membuka dokumen di atas meja dan menyerahkannya ke hadapan Zayn. “Kita akan mengubah cara publik melihat Anda. Mulai dari mengurangi eksposur negatif di media sosial, membangun citra baru melalui wawancara eksklusif, dan menyiapkan strategi untuk menampilkan sisi lain dari diri Anda yang lebih… dapat diterima.”
Zayn melihat lembaran di tangannya dengan senyum tipis, lalu mendongak lagi ke arah Nadine. “Jadi, kamu ingin aku berpura-pura menjadi pria baik?”
Nadine menutup berkasnya dengan sedikit kekuatan, cukup untuk menegaskan bahwa ia tidak menyukai permainan ini. “Saya ingin Anda setidaknya berperilaku seperti seorang CEO yang profesional, bukan selebriti yang senang mencari sensasi.”
Zayn tertawa pelan, suara rendahnya terdengar seperti tantangan. “Kamu orang pertama yang berani berbicara seperti itu padaku.”
“Lalu sebaiknya Anda mulai terbiasa,” Nadine menatapnya tajam. “Karena selama saya bekerja di sini, saya tidak akan membiarkan Anda merusak perusahaan ini lebih jauh.”
Zayn bersandar dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak, matanya masih meneliti wanita di depannya dengan penuh rasa ingin tahu.
Saat itulah, Nadine menyadari sesuatu.
Sejak pertemuan ini dimulai, pria ini tidak pernah benar-benar mendengarkan rencananya. Tidak pernah benar-benar menunjukkan niat untuk berubah.
Zayn tidak melihatnya sebagai seorang profesional.
Ia melihatnya sebagai tantangan.
Dan itu membuat Nadine sadar, bekerja dengan pria ini tidak akan mudah.
Tidak sama sekali.