4. Keseharian Aruna

1089 Kata
Tak ada lagi yang Aruna lakukan selain berdiam diri di belakang jendela kamarnya. Pandangan matanya lurus ke depan. Menatap taman bunga yang berada persis di depan jendela kamarnya. Mama Aruna selalu rajin merawat bunga-bunga tersebut hingga tumbuh subur dan tampak sangat cantik. Tetesan air hasil penyiraman pagi ini masih tampak membasahi dedaunan. Aruna menghela napas berat, ia tak tahu lagi sampai kapan akan seperti ini. Tak bisa ke mana-mana dan juga tak bisa melakukan apapun juga. Bahkan setiap aktifitasnya harus ada yang membantunya. Ia tak bisa melakukannya sendiri. Ya, Tuhan! Aruna tak mau menyalahkan takdir hidupnya. Semua sudah digariskan oleh Sang Pencipta. Aruna harus bersyukur karena ia memiliki kedua orang tua yang sangat baik, penyayang dan perhatian kepadanya. Ayah dan Mamanya tak henti memberikan semangat padanya sehingga karena mereka berdualah Aruna sanggup menjalani harinya sampai detik ini. "Runa ...." Sentuhan lembut tangan Febria, wanita berusia lima puluh tahun yang tak lain adalah mamanya Aruna, membuat gadis itu terkesiap lalu mendongak menatap mamanya yang sedang berdiri di belakangnya. "Ya, Ma." "Makan dulu. Tadi kamu sudah melewatkan sarapan. Tidak baik untuk kesehatanmu, Runa, jika terus mengabaiakan makan seperti ini." Nasihat sang mama tak ditangapi oleh Aruna. Gadis itu hilang sudah semangat hidupnya. "Ma, sekalipun aku makan, toh aku tetep sakit, kan? aku tidak bisa apa-apa dan aku selalu merepotkan mama dan semua." "Astaga, Aruna! Berapa kali Mama katakan jangan berbicara seperti itu. Tidak baik, Runa. Jangan terus meratapi nasibmu yang demikian. Kamu tidak sakit. Hanya cidera yang suatu ketika bisa kembali sembuh dan normal." "Tapi sampai kapan, Ma?" "Asal Runa rajin check-up, minum obat dan makan yang banyak, semua akan baik-baik saja. Percaya pada Mama. Sekarang kita makan, ya." Tak ada penolakan yang berarti dari Aruna saat Febri mendorong kursi roda Aruna keluar dari dalam kamar. Apa yang diucapkan mamanya memang benar. Aruna tidak boleh terus saja menyalahkan takdir. Jika dia menyerah seperti ini kasihan juga dengan keluarganya terutama sang mama yang pasti akan bersedih. Sampai di ruang makan, dengan penuh kasih sayang dan perhatian Febri mengisi piring dengan aneka makanan hasil masakannya. "Ma!" panggil Aruna. "Ya, Sayang. Kamu ingin makan apa? Akan Mama ambilkan," jawab Febri antusias karena beliau pikir Aruna ingin makan sesuatu. "Terima kasih dan maaf aku telah banyak merepotkan Mama." "Runa, kamu ini bicara apa. Mama sama sekali tidak pernah merasa kamu repotkan. Sudah jangan banyak berpikir. Sekarang makan yang banyak agar kamu kuat dan besok saat kita chek-up kondisimu semakin lebih baik lagi." Aruna mengangguk. Dalam hati berjanji ia tak akan lagi mengecewakan mamanya yang begitu bersemangat mengusahakan segala hal demi kesembuhannya. "Mau Mama suapin?" tawar Febri. "Aku makan sendiri saja, Ma," jawab Aruna lalu semakin mendekat pada meja makan agar memudahkannnya menjangkau piring. "Baiklah, jika begitu Mama akan menemanimu." Keduanya saling melemparkan senyuman. Febri menuang air putih ke dalam gelas lalu diletakkan di samping piring Aruna. Setelahnya wanita itu hanya memperhatikan putrinya yang sedang menikmati makanannya. Akhir-akhir ini Aruna memang kehilangan nafsu makannya. Setiap kali diminta makan, Aruna selalu menolak dengan alasan masih kenyang atau tidak nafsu makan. Hal itu terus saja terjadi hampir setiap hari sejak Aruna pulang kembali dari Rumah Sakit satu bulan yang lalu. Febri dan Dedi, ayah Aruna, tak kehilangan cara membujuk Aruna agar putrinya kembali bangkit meniti masa depan. Tapi memang membangun kepercayaan diri lagi sangat sulit Aruna lakukan. Semua butuh proses dan tidak ada yang instan. Oleh sebab itulah Febri dan Dedi tak akan berhenti memberikan support bagi putri pertamanya itu. Tak jauh berbeda dari kedua orang tuanya, Nirmala adalah adik Aruna. Gadis berusia dua puuh tahun itu ikut besedih karena kehilangan kakaknya yang dulu. Aruna yang dulu selalu care dan selalu ada untuknya sekarang tak ada lagi. Bahkan Aruna tak sedekat dulu dengan Nirmala. Selalu menghindar acapkali Nirmala mendekatinya. Dan melihat sikap kakaknya yang seperti itu hanya bisa membuat Nirmala bersabar, sama seperti kedua orangtuanya. "Minum obatnya, Runa," pinta Febri kala mendapati Aruna yang telah meletakkan sendok di atas piring. Padahal makanan di piring putrinya belum habis sepenuhnya. Tapi tak mengapa. Febri tak akan memaksa Aruna untuk menghabiskan makananya. Sudah mau makan saja cukup bagi Febri berpuas hati dari pada Aruna tidak makan sama sekali. Febri beranjak dari duduknya berjalan menuju kotak P3K di mana beliau menyimpan semua obat-obat milik Aruna. Mengambilnya dan membawanya ke hadapan Aruna. Gelas yang sudah kosong isinya diisi kembali oeh Febri. Aruna, meski satu bulan ini dia telah kenyang mengkonsumsi obat-obatan, nyatanya ia tak bisa menolak. Karena sesuai anjuran dokter dan juga nasihat mamanya, jika dia ingin segera sembuh maka Aruna harus rajin meminum obatnya. Selain untuk menghilangkan rasa nyeri juga sebagai pengobatan dari dalam agar syaraf yang bermasalah bisa pulih kembali. Selain itu beberapa luka luar juga belum mengering sepenuhnya sehingga Aruna tak boleh melewatkan satu kali pun mengkonsumsi obat-obatan miliknya. Dengan beberapa kali tegukan, akhirnya obat di tangan Aruna habis sudah. Sedikit mual acapkali selesai meminum obatnya, tapi berusaha Aruna tahan agar tidak mutah. Ia pejamkan matanya sampai mengeluarkan air mata. Trenyuh hati Febri melihatnya. Diambil tisu dan diseka air mata sang putri yang membasahi pipi. Satu tangan Febri mengusap rambut sang putri berharap memberikan kenyamanan pada Aruna sehingga bisa menelan semua obat-obatan itu. "Bagaimana? Sudah lebih baik?" tanya Febri melihat Aruna yang kini membuka mata. Gadis itu mengangguk. "Mau kembali ke kamar atau mau Mama temani menonton televisi?" "Ke kamar saja, Ma." "Baiklah." Ferbri tak akan memaksa, jika Aruna ingin kembali ke kamarnya maka wanita itu pun menurutinya, mendorong kursi roda Aruna kembali menuju kamar putrinya. "Istirahatlah, Aruna. Mama akan membersihkan rumah. Jika kamu membutuhkan sesuatu, panggil mama saja. Jangan melakukan semua sendiri. Paham kan apa yang mama minta?" Aruna mengangguk,"Iya, Ma." "Ya sudah, ingin rebahan di kasur atau tetap duduk di sini?" Yang Febri maksud adalah duduk di atas kursi roda. "Boleh membantuku rebahan di kasur saja, Ma? Aku ingin membaca novel." Dengan sangat hati-hati Febri membantu Aruna untuk naik ke atas ranjang. Tubuh Aruna yang semakin kurus terasa ringan saat Febri membantu sang putri agar bisa naik ke atas ranjang. Meletakkan bantal di belakang kepala sampai punggung Aruna dan memastikan Aruna merasakan kenyamanan dengan posisinya kali ini. "Sudah nyaman?" tanya Febri Dan Aruna mengangguk. Tanpa Aruna minta Febri membuka laci meja di sebelah ranjang Aruna. Mengeluarkan tumpukan n****+ yang menjadi koleksi Aruna saat ini. Ini semua berkat Nirmala yang selalu rajin membelikan aneka macam n****+ untuk sang kakak tercinta. Agar Aruna tidak merasa bosan dan kesepian saat harus selalu berdiam diri di rumah seperti ini. "Terima kasih, Ma." Untuk kesekian kali ucapan terima kasih Aruna berikan pada sang mama karena wanita itu begitu tahu apa yang Aruna mau.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN