PART 6

1068 Kata
Swan Albano Jarum pendek dalam kaca arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, tak terasa sudah menunjuk ke angka lima. Jarum panjangnya pun hampir berada tepat di angka enam dan perubahan warna langit mulai terlihat menghiasi kota Kopenhagen. Sudah terlalu lama aku duduk di jembatan tua ini. Bila aku tak mengingat tentang tanggung jawabku di kelab milik Nyonya Bilbina, maka mungkin aku masih betah berlama-lama berada di sana. Kugenggam besi penyangga jembatan dengan kuat, lalu bangkit berdiri sembari membersihkan bokongku dari serpihan debu. Tak banyak yang bisa kulakukan selain berjalan menuju ke arah di mana mobilku terparkir dan tak sampai seratus dua puluh detik kemudian, aku sudah melaju dengan kecepatan sedang, menuju ke flat house milikku. Seingatku ini adalah saturday night dan kau tahu apa? Hari ini adalah waktu yang tepat untuk mengumpulkan banyak uang, agar dapat mewujudkan cita-cita terpendamku. Apakah itu? Tentu saja semua tak jauh dari pekerjaanku mengolah lendir ini. Sejak dua tahun lalu aku sangat ingin membangun tempat yang sama seperti milik Nyonya Bilbina, hanya saja aku ingin tempat itu besar seperti rumah bordil seperti milik Mama Margaret dan pada akhirnya suatu hari nanti aku akan menemukan kembali siapa ibu dan ayah kandungku, lalu mengakhiri rasa penasaran berbalut kesedihan mendalam yang selama ini ku alami. Sebenarnya aku tak ingin terus-terusan bekerja dan berada dalam gemerlapnya dunia seks seperti ini. Hanya saja setiap aku mencoba peruntunganku sebagai seorang model, saat aku berkenalan dengan seorang gay yang memintaku menghisap habis batang coklatnya, aku benar-benar merasa semakin menjijikan dan logika pun kembali menuntun kedua kakiku ini menuju ke kelab milik Nyonya Bilbina. "s**t!" Aku tak pernah bisa melupakan hal itu dalam hidupku dan yang pasti, aku semakin berambisi mengumpulkan uang sebanyak mungkin dan melakukan apa yang kuinginkan. Aku juga berencana mencari cara agar nyonya Bilbina menyesal atas kebengisannya selama ini, yang suka semena-mena terhadapku. "Swan, ada yang mencarimu," ujar Rowlers Querto, Disk Jockey yang bertugas malam ini. "Cih... Tidak biasanya kau menyapaku seperti ini. Siapa?" tanyaku terus mengesap wine yang ada dalam gelas kaca di depanku. Rowles tak menjawab pertanyaanku sama sekali, melainkan suara wanita yang terdengar dari balik punggungku, "Aku! Kembalikan dompet yang kau curi di supermarket tadi, Gigolo b******k!?" "Egh..." Satu kata keluar dari pita suaraku dan segera saja kubalikkan tubuhku, mencari tahu suara tadi. Aku seperti begitu mengenal siapa pemilik suara tersebut, sekaligus kemana arah pembicaraannya. "Oh, yes! I find you again, Baby." batinku berteriak dengan degupan jantung yang tak lagi bisa kukendalikan. Ia berjalan mendekat ke arahku, namun entah mengapa dua meter dari tempat ia berada itu, terasa sangat lamban seperti seekor siput bagiku. Aku mencoba menetralisir letupan fire works yang meledak hebat di dalam dadaku sembari tetap menatap ke arah wajah cantiknya. PLAK "Hei, apa-apaan kau!" Tetapi tanpa kuduga satu tamparan keras berhasil mendarat mulus tepat di pipi kananku. Aku terkejut, memegangi pipiku dan menatap lurus ke arahnya yang terlihat buram akibat suasana remang di dalam kelab. Suaranya kembali terdengar di indera pendengaranku, "Kau yang ada apa dan mengapa, Tuan Gigolo dengan alat kelamin payah! Mengapa kau pura-pura menabrakku, membantuku membereskan semua barang belanjaan itu, lalu mengambil dompetku, huh? Apa lidahmu sudah tak bisa kau pakai untuk mengisap dan menjilati daging milik para pelanggan wanitamu lagi?" "Jaga bicaramu, Nona!" Dan rasanya aku kembali merasa seperti tertampar untuk kedua kalinya, mendengar kalimat-kalimat sinis itu. Rahangku mengeras dengan cengkeraman kuatku memegangi gelas kaca berisi wine,  "Jika kau butuh-- Hemmppp... Hempphh..." lalu saat ia kembali ingin berbicara, bibir tajamnya sudah kubungkam dengan bibirku. Wine bersama gelas kaca yang kupegang bahkan sudah jatuh ke lantai kelab, berganti dengan kedua tanganku yang sibuk menahan tengkuk belakangnya. Deg deg deg Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan seperti terhenti seketika saat aku memagut bibirnya. Aku begitu menikmati keadaan ini, meskipun pukulan yang ia berikan di punggungku semakin keras terasa. Kuseret tubuhnya terus hingga terpojok di meja bartender dan tembok kelab, dan mau tak mau, aku harus melepaskan bibirnya karena pasokan oksigen dalam paru-paruku mulai menipis, "Kau sangat cantik, Poppy. Sungguh sangat cantik." Oh, my God! Sebut saja aku gila karena berkata seperti itu, setelah berhasil mencuri french kiss darinya. Kulihat mulut Poppy terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi ternyata ia memilih untuk mendekatkan wajahnya pada wajahku 'cup' lebih dulu mendaratkan satu kecupan di bibirku. "Terima kasih sudah memujiku, Tuan Gigolo yang tampan. Well, karena aku sudah mencarimu kemari, sekarang kembalikan dompetku yang sengaja kau ambil. Kau masih membawanya, bukan?" ucapnya memainkan puppy eyes. Deg deg deg Degupan jantungku pun kembali berlari kencang dan sulit untuk dikendalikan, "Thanks, God!" Bahkan kini, tanpa ragu aku berterima kasih pada sang pencipta yang telah menciptakan seorang perempuan secantik Poppy Millers. Perasaanku begitu bahagia ketika dia memujiku. Salah tingkah dan grogi pun ikut bercampur menjadi satu, manakala ia dengan mudah menebak mengapa aku sampai harus mengambil dompetnya. "Kau sangat mengemaskan, Pearl." ujarku menjawab permintaannya dan mengabaikan kekehannya yang terdengar, "aku akan mengembalikan dompetmu, asal kau kembali duduk di atas wajahku tanpa memakai apapun. Aku hanya ingin membalaskan kekalahan yang kau curi tempo hari, bisa?" Lalu tanpa tahu malu, kukatakan apa yang begitu kuinginkan darinya. Kekehannya semakin keras terdengar, diikuti suaranya yang sekali lagi terdengar, "Okey, siapa takut. Kau siap jika ternyata harus kalah lagi, Tuan Gi--" "Swan Albano. Panggil saja aku Swan, Pearl." Aku memotong ucapannya, saat tahu ia akan memanggilku dengan nama tuan gigolo lagi. "Baiklah. Swan, ayo-- Hemphhh...!" Lalu tak kuberikan ia sedikit waktu untuk menjawab perkenalan singkatku tadi, karena kini aku kembali melumat bibirnya. Sementara Poppy sendiri, entah aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku tapi yang pasti, ia kini membalas lumatan bibirku. Poppy bahkan membuka bibirnya agar lidahku dapat masuk menjelajahi setiap rongga mulutnya, ikut menghisap lidahku dan semakin mengeratkan tubuhnya di tubuhku. "Aku menginginkanmu, Poppy. Aku tak bisa lagi menahannya,"  bisikku tepat di daun telinganya. Kurasakan tangannya menyentuh kejantananku dan pelan tapi pasti, kecupan di bibirku pun turun menjelajahi sepanjang leher Poppy. "Swan, oughhh...! Swan, akuu... Aghhh..." desahnya memanggil namaku. Aku tak tahu pasti akan berkata apa pada bibir manis yang begitu kuinginkan sejak kemarin itu. Aku memang sulit untukku memercayai takdir, bahkan sejak aku dibesarkan oleh mama Margaret tapi untuk kali ini, aku begitu bersyukur Poppy juga membalas setiap perlakuan lembutku. Kugendong Poppy dengan keadaan bibir kami yang masih saling menyatu menuju lantai dua kelab milik nyonya Bilbina ini dan selanjutnya, sekali lagi aku berhasil melihatnya dalam keadaan polos tak terhalang sehelai benang pun, "You make me like crazy, Poppy! Ughhh...!" "Ough, Swannn...! f*****g so big! Achhh... Yes, Babyyy... Shake me like that, oughhh..." Dan begitu bangga, ketika ia kembali meneriakan namaku di sana. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN