Arthur Millers
Namaku Arthur Hugos Miller. Pekerjaanku sebagai salah satu anggota senat di pemerintahan kota Konpenhagen sejak hampir lima belas tahun belakangan ini, membuatku lupa dengan bagaimana caranya hidup bahagia, setelah wanita bernama Soffiya Mandes yang berkebangsaan Spanyol itu meninggalkanku dan bayi perempuannya sekitar dua puluh tahun lalu, saat aku masih menjadi asisten seorang senator tua yang kini telah tiada.
Mengapa aku berpikir demikian? Karena sejak hampir dua tahun belakangan ini, kupastikan aku hampir tak bisa berhenti memaksa Poppy untuk memuaskan hasrat seksualku. Jika dulu aku selalu menghabiskan waktu dengan sibuk mencari lubang baru dari satu kelab ke kelab lain? Kini aku hanya perlu membuat alkohol terkuak dari dalam mulutku, agar memiliki alasan mengapa aku harus memasuki lubang nikmat milik putriku sendiri.
Huhhh... Menjijikan bukan? Ya, begitulah kira-kira. Jika aku menceritakan atau bahkan bila berita ini tersiar pada khalayak ramai, sudah barang tentu aku pasti akan dihina habis-habisan sebagai otang tua terkutuk, dipecat secara tidak hormat dari pekerjaanku atau mungkin saja aku akan dipenjarakan setelahnya.
Sejujurnya aku tak ingin melakukan hal gila ini pada Poppy, tetapi tujuanku menikmati setiap lekuk tubuhnya adalah balasan untuk Soffiya yang telah tega meninggalkanku. Aku sudah berbaik hati menikahinya, bersedia memberikan nama keluargaku di belakang nama Poppy, membawanya berjanji di atas altar bahwa aku akan menjadi suami dan ayah yang baik bagi mereka berdua, tetapi entah apa yang Soffiya pikirnya hingga ia memilih untuk kembali kepelukan ayah kandung Poppy, tanpa membawa putrinya.
Alasan Soffiyaa adalah pria itu tak mau memercayai, jika Poppy menjadi bagian dari keturunannya.
Ketika Poppy beranjak dewasa, dari saat itulah intensitas seksualku lebih sering terjadi, ketika aku kembali membongkar semua kenanganku dengan Margaret. Dulu aku memang bersalah. Aku sudah mengetahui dia adalah seorang mucikari, namun aku masih berusaha mengejar cintanya.
Apalagi jika bukan demi bisa mendapatkan bantuan dana darinya, karena saat itu aku masih menjadi seorang mahasiswa tingkat akhir yang membutuhkan banyak uang.
Aku anak seorang petani miskin, tanpa pernah mengenal siapa ayahku, jadi daripada harus menjual diri pada banyak orang, lebih baik aku mencoba peruntunganku dengan merebut hati Margaretha Storchorts.
Sayangnya tiga tahun menikah tanpa memiliki keturunan, karirku semakin menanjak dan rumah bordil miliknya di pinggiran Kopenhagen itulah penyebab yang membuatku menjadi tidak nyaman.
Kuberi Margaret dua pilihan, antara aku atau tempat pelacuran sialan itu dan bodohnya dia tidak memilihku hanya karena belaa kasihannya pada para jalang sialan yang selama ini hidup di sana.
Tak kusangka dia memindahkan tempat itu ke kampung halamannya, benar-benar meninggalkanku tanpa jejak sampai Soffiya datang bersama Poppy lalu pergi dengan menyisakan anak itu tumbuh menjadi dewasa seperti sekarang.
"Halo, siapa ini! Halooo... Halo! Hal-- Klik Sialannn...! Orang gila mana yang sudah merusak hariku lagi, hah? Benar-benar sialan! Awas saja jika dia berani meneleponku lagi? Aku jamin kali ini akan kuberi dia pelajaran! Sialan!" teriak Poppy dari arah pantri.
Bergegas aku bangkit dari sofa ruang tamu, beralih mencarinya ke sana. Akan tetapi aku tak menemukan dia di sana, namun saat aku menoleh ke arah tangga, sedikit siluet tubuhnya terpantul dari kaca yang terpasang di sekitar undakan anak tangga. Secepatnya kususul Poppy ke atas dengan tetap membawa bayangan masa laluku bersama Margaret atau pun Soffiya di isi kepalaku.
Aku tahu apa yang kulakukan ini salah, tapi sebagai seorang senator, aku tak bisa sesuka hati mencari pelampiasan lain yang bisa membuatku nyaman, seperti Poppy. Ia mewarisi wajah cantik Soffiya, namun entah mengapa tubuhnya persis seperti Margaret. Pun ketika milikku masuk ke dalam lubang merah miliknya. Entah mengapa Margaret sukses hadir kembali dalam tubuh Poppy, dan "s**t!" ini benar-benar gila.
Terlebih saat ia hanya memakai pakaian minim seperti sekarang, duduk di pinggir ranjang dan isi dalam roknya pun menampilkan g-string hitam dengan gundukan daging yang tak seluruhnya tertutupi.
"Ough yeach!" Membuat bayangan Margaret yang sudah dua puluh tahun lalu menghilang dari hidupku, pun datang tanpa bisa kuredam lagi. Dialah wanita pertama yang mampu menguasai hatiku dan ketika aku kembali bertemu dengannya di Rusia, Soffiya maupun Poppy malah berada di tingkat terbawahnya.
Sayangnya aku terlalu pecundang mengakui, mengejar dan kembali menyatakan isi hatiku saat pertemuan itu terjadi lagi, berganti dengan tubuh Poppy yang selalu aku kuasai seperti sekarang.
Diam-diam aku berlutut di depannya, membuka lebar-lebar kedua kaki jenjang itu dan dengan cepat melumat habis gundukan daging di balik g-string hitam ini.
"Ach, Daddy! Apa-apaan ini? Daddy, oughhh... Dad-- Achhh...!" teriaknya tiba-tiba. Aku sampai tak habis pikir mengapa dia bisa mendesah sekeras itu, sebab seharusnya ia segera sadar saat telapak tanganku menyentuh kulit pahanya beberapa detik lalu.
"Yes, Sweetheart. Kau ke mana saja, hemm... Daddy mencarimu sejak tadi. Daddy menginginkanmu lagi, Baby. Sekali lagi. Slurup sluruuppp..." Namun aku tak memedulikan apa yang terjadi dengan Poppy, karena indera penciumanku ini nyatanya sudah menghirup aroma khas yang begitu menggoda.
Segera kubenamkan kembali wajahku di sana bersama kedua tangan yang melebarkan kakinya, "Oughhh... Fuckkk...!" Sampai desahannya pun kembali terdengar, bersama kilasan bayangan perjumpaanku dengan Margaret yang ikut hadir tanpa permisi.
"s**t? Margarettt... Aku merindukanmu, Honey? Bisakah aku mendengar kau meneriakkan namaku lagi seperti dulu?" Suara hatiku bahkan berjalan tak searah dengan tingkahku yang asyik melumat habis lubang merah milik Poppy.
PLAK!
BRUK
"What's wrong, Daddy?! Ini sakittt...!" Lalu entah bagaimana bodohnya aku, satu tamparan mendarat mendarat di wajahku, sebelum akhirnya aku jatuh terduduk di lantai.
"Kau benar-benar gila, Daddy! Bagaimana bisa kau mengigit milikku hingga berdarah, huh?! Sialan kau!" Dan Poppy pun pergi dengan wajah penuh amarah, yang sama sekali tak pernah kulihat sebelumnya.
***