TUL 4 - Pria Misterius

1748 Kata
Zaki menatap sang istri sambil mengendikkan bahu. Caroline penasaran oleh sebab cerita sang suami tentang seorang pria yang tiba-tiba menyatakan perasaannya di depan Savira dan Zaki tadi siang. Mengira kalau Zaki adalah suami Savira. “Kamu nggak jelasin kalu kamu ini cuma Om-nya?” “Ya mana percaya dia kalau aku bilang Om-nya Savira. Wong dia ngira aku malah mantan suaminya,” bisik Zaki kemudian terkekeh pada sang istri. Sambungnya, “Suami kamu gantengnya nggak ketulungan gini gimana bisa disebut Om-Om. Syukur kalau dia ngiranya aku kakaknya Savira. Tapi Shindu kan panggil kita Mommy sama Daddy. Gimana nggak jadi kecurigaan orang?” Caroline geleng kepala. Savira yang sedang membelakangi keduanya pun tak mendengar dan sibuk mencuci buah serta sayur yang dibelinya di supermarket tadi. “Vira?” seru Caroline membuat gerakan tangan wanita itu terhenti. “Iya, Mbak?” Savira menoleh sambil mematikan keran air. “Kenapa?” “Apelnya kasih Mas Zaki aja. Biar dikupas depan anak-anak. Mereka kan suka seneng liat Mas Zaki kupas kulit apel sampe nggak putus,” terang Caroline. “Iya, Mbak.” Savira lantas mencari piring dan pisau buah sebelum menyerahkannya pada pria itu. “Bijinya nanti pisahin ya, Mas. Mau coba kutanam di pot.” “Kenapa nggak beli bibitnya aja? Atau tambulapot yang sudah jadi.” “Protes mulu sih, Mas. Terserah Savira deh,” desis sang istri. “Iya. Iya. Wong cuma tanya. Sensi banget sih, Sayang. Lagi mens kah?” “Kenapa kalau aku mens?” jutek Caroline. “Ya nggak jadi minta jatah kalau mens.” “Mas!” Zaki terbahak sebelum berlalu meninggalkan dapur. Savira ikut terkekeh mendengar obrolan manis sepasang suami istri yang menjadi keluarga terdekatnya sejak tinggal di Jepang itu. Caroline lantas memposisikan dirinya di depan kitchen island, sejajar berdiri dekat Savira. Mereka akan memasak makan malam bersama. Savira dan Shindu juga akan menginap di rumah Zaki dan Savira malam ini. Mereka akan berlibur ke resort ski bersama Zaki, Caroline dan anak-anak musim dingin kali ini. “Mas Zaki cerita katanya ada yang nembak kamu tadi di parkiran supermarket. Kamu lagi deket sama siapa memangnya? Kok nggak pernah cerita sama, Mbak?” buka Caroline langsung pada hal yang membuatnya penasaran sejak tadi. Savira mendesah pelan. “Orang nggak jelas, Mbak. Nggak perlu dibahas juga. Dia pasien di RS.” “Sakit apa?” “Patah hati,” jawab Savira pendek. “Eh, pasien patah hati berobat ke RS? Maksudnya ke psikolog atau psikiater gitu?” Caroline jadi penasaran. Savira menggeleng. “Tiba-tiba datang ke IGD terus minta diperiksa dengan keluhan dadanya sakit. Hasil pemeriksaan nggak ada masalah. Pas Dokter tanya, dia bilang sakitnya sampai sekujur tubuh. Diteliti lebih jauh, endingnya malah bilang patah hati. Ngeselin nggak sih, Mbak?” Caroline terkekeh sambil terus mendengar celoteh wanita itu. “Nggak lama kami ketemu di dekat stasiun kereta bawah tanah. Dosennya kena serangan jantung. Kubantu CPR. Dari situ dia ganggu terus. Nggak ngerti kenapa hari ini malah tiba-tiba bilang gitu. Jadi ngeri kan? Takutnya pembunuh berantai yang psikopat gitu.” Caroline terbahak hingga terbatuk-batuk sampai-sampai kedua anak dan suaminya menghampiri. “Mommy kenapa?” tanya Salma dan Selwa bersamaan. “Kenapa sih, Mom?” imbuh sang suami ikut cemas melihat wajah sang istri yang memerah padam karena tersedak. “Mommy keselek itu Daddy,” timpal Shindu. Caroline hanya menggeleng sambil mengusir kedua anak, suaminya juga Shindu agar kembali ke dalam. “Udah sana! Aku nggak papa. Tadi ketawa aja sampe keselek ludah sendiri.” Zaki berdecak. “Gara-gara kamu nih kulit apelku putus tengah jalan.” Caroline terbahak lagi. “Ya asal jangan cinta kamu aja yang putus sama aku tengah jalan, Mas.” Pria itu mengerling nakal pada sang istri. “Cintaku hanya untukmu, Dinda.” “Sejak kapan namaku jadi Dinda?” Anak-anak jadi ikut tertawa mendengarnya. Zaki sendiri sudah berdecak. Istrinya memang pandai bergurau tapi susah digombali balik. “Terus kamu jawab apa, Vira?” Caroline semakin penasaran dan bertanya begitu anak-anak dan suaminya sudah pergi. “Ya nggak aku jawab. Apa yang harus aku jawab coba?” “Lho, kenapa nggak dijawab? Nanti malah jadi gantung.” Savira menoleh ke arah Caroline yang sedang merajang bumbu. “Gantung gimana, Mbak?” “Kamu suka sama dia nggak?” “Mbak!” Caroline mengendikkan bahu santai. “Vir, cowok itu bisa aja nganggap kamu gantungin perasaannya.” “Pemikiran dari mana sih, Mbak. Aku nggak suka sama dia. Kenal juga karena dia pasien. Temannya Mas Lewa memang. Tapi aku nggak ada niat buat deket sama cowok nyebelin dan aneh gitu.” Caroline mengulum senyum. Savira yang biasanya dingin dan datar menanggapi pria yang mendekatinya kali ini terlihat lebih ekspresif meski yang diceritakannya sesuatu yang tampak membuat wanita itu kesal. “Jangan takabur loh. Benci bisa jadi cinta. Apalagi dia pasien.” “Nggak di kamus aku, Mbak.” “Masa? Kamu sama Satya juga kan dulunya gitu. Ayahnya Shindu bukannya awal-awal tukang ganggu dan nyebelin juga ya?” Hati Savira jadi tercubit. Caroline mengingatkan masa lalu yang kenangannya masih memenuhi ruang di hatinya. Caroline yang bisa merasakan hal itu lansung merangkul bahu Savira. “Kok sedih lagi. Nanti Shindu liat loh.” Savira hanya tersenyum getir. “Aku pengen pulang. Kami terlalu lama niggalin Mas Satya. Mungkin aku akan ambil magister kesehatan di Indonesia aja.” “Yakin? Bukannya Profesor Yosima ngasih tawaran?” “Belum kupikirkan lagi. Aku takut makin nggak ada waktu buat Shindu.” “Shindu udah mandiri. Lagian dari dia kecil kamu juga kuliah. Nggak masalah kan? Ada Mas Zaki yang bisa bantu rawat. Karir kamu bisa meningkat bagus kalau kamu ambil gelar lanjutan. Peluangnya juga bagus kalau kamu memang mau pulng ke Indonesia nanti setelah ambil di sini,” terang Caroline yang juga sedang menyelesaikan kuliah Phd-nya. “Nanti kupertimbangkan masak-masak lagi, Mbak.” Caroline mengangguk sambil menepuk-nepuk lengan Savira, seraya memberinya dukungan. “Jadi, soal cowok itu gimana?” Savira berdecak pelan. “Gimana apa sih, Mbak? Ya biarin aja dia mau ngapain. Selagi nggak ganggu kerjaanku, aku nggak peduli,” tegas wanita itu. Diam-diam Caroline tersenyum dan merasa yakin. Bukankah cinta bisa tumbuh dari perasaan yang dulunya tak suka dan dianggap mengganggu? Tidak ada yang tahu. Mungkin saja dengan cara pendekatan dari pria yang dianggap aneh dan menyebalkan itu Savira bisa membuat cerita cinta baru di hidupnya. Sudah hampir enam tahun wanita itu terkungkung dalam perasaan cintanya pada almarhum sang suami. Caroline bisa mengerti hal itu mengingat kisah hidup Savira memang cukup rumit. Hidup sebatang kara. Tidak tahu siapa kedua orangtuanya karena sejak kecil sudah tinggal di panti asuhan. Pernah dimanfaatkan mantan kekasih dan dituduh menjadi pelakor, membuat wanita itu harus terusir dari kota kelahirannya. Savira yang beruntung dengan segala keterbatasan akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan untuk merawat pasien kanker yang menjalani pemulihan pasca operasi. Sampai akhirnya ia jatuh cinta pada majikan yang dirawatnya dan mereka menikah. Sayangnya, kisah cinta mereka berakhir tragis karena drama cinta segita yang terjadi. Satya meninggal karena sebuah kecelakaan yang menyebabkannya koma dan meninggal setelah sempat sadar dan bangun. Tak hanya sampai disitu, di antara rasa kehilangan dan duka yang masih mendalam, Savira harus bertahan hidup membesarkan Shindu yang saat itu baru berusia satu bulan di dalam kandungnya. Menjalani kehamilan dan membesarkan anak tanpa suami tentu saja hal yang tak mudah meski ada Zaki dan Caroline yang selalu mendampingi sejak mereka tiba di Jepang. Savira yang begitu tangguh malah bertumbuh menjadi wanita yang menutup hatinya untuk kisah yang bernama cinta. Caroline pun tak membahas lagi masalah pria yang menyatakan perasaannya pada Savira dan fokus memasak meski ia bertanya-tanya siap pria yang juga teman dari Pahlewa. Junironya di kampus. Apalagi mereka akan berlibur besok. Jangan sampai acara liburan mereka rusak karena Savira yang galau dan bersedih. Ini liburan pertama mereka setelah satu tahun masing-masing dari mereka sibuk dengan tugas dan pekerjaannya. Keenam orang dalam satu keluarga itu pun berangkat menuju salah satu resort ski di wilayah Hokaido dengan menggunakan kereta api keesokan paginya. Zaki menyewa sebuah villa di dekat resort yang ramah untuk anak-anak dan pemula itu. Pengunjung bisa dengan tenang dan nyaman bermain ski, snowboarding, kereta salju atau bermain salju di sana. “Kak Salma, Kak Selva, ayo bikin boneka salju! Saljunya banyak banget,” seru Shindu riang. “Ayok!” jawab kedua anak kembar Zaki dan Caroline itu. “Jangan jauh-jauh ya cari rantingnya,” pesan Savira diangguki ketiganya. “Ya. Nggak pake ranting kok, Bunda,” sahut Shindu sementara para orangtua membereskan villa dan menyiapkan makan siang mereka. “Bunda sini! Ayok liat. Aku bikin boneka salju buat Ayah.” Shindu menarik-narik tangan sang Bunda dan mengajaknya ke halaman villa di mana sudah ada tiga boneka salju polos di sana. “Itu Bunda, di tengahnya aku. Dan yang samping kiri itu Ayah. Bagus kan Bunda?" unjuknya Savira bergumama mengiyakan sambil berjongkok lalu memeluk tubuh sang nak dari samping. “Shindu kangen Ayah?” “Kangen dong! Kemarin malam Shindu dimimpiin lagi,” cicitnya membuat Savira sedikit sedih. Selama bertahun-tahun, hanya beberapa kali almarhum sang suami hadir ke dalam mimpinya. “Mimpi apa? Ayah bilang apa?” “Ayah ngajarin Shindu bikin boneka salju terus bilang Shindu harus jagain Bunda. Ayah kok bisa tahu ya kalau kita mau ke sini, Bunda?” Savira tersenyum sambil menangkup kedua pipi sang anak. “Ayah kan selalu jagain Shindu dari surga sana. Shindu juga udah jagain Bunda dengan baik kok. Nanti kalau ketemu lagi, bilang sama Ayah Bunda kangen pengen dimimpiin Ayah.” "Iya, Bunda." “Shindu! Bantuin ih!” teriak Selwa dari kejauhan. Shindu mengangguk. “Iya, Aunty. Bentar.” Lalu pria kecil itu menatap sang Bunda dan mendapat anggukannya. "Shindu bantuin double Aunty dulu ya, Bunda." Savira terkekeh mendengar sebutan sang anak untuk bibi-bibi kecilnya itu. "Tapi sebentar lagi makan siang, ya? Jangan jauh-jauh mainnya,” pesan Savira lagi diangguki Shindu sebelum pria kecil itu berlari menghampiri kedua bibi kembarnya dan membuat boneka salju lainnya. Namun, belum lama Savira masuk ke dalam villa, Selwa ikut berlari ke dalam dan mengatakan kalau Shindu menangis karena boneka saljunya hancur. “Kok bisa?” “Tadi ada Om-Om yang main lempar salju, Mom. Terus kena bonekanya Shindu.” Savira dan Caroline bergegas mengambil jaket dan menghampiri Salma dan Shindu. Namun, kening mereka berkerut ketika melihat seorang pria dengan luka di wajahnya sedang membantu Shindu membuat bonek salju lainnya. Sosok pria berpakaian serba hitam yang didampingi dua orang pria menyeramkan lainnya itu membuat Savira dan Caroline sedikit takut ketika kepalanya menoleh dan wajahnya menatap mereka berdua. "Kamu kenal, Vira?" Savira menggeleng sebelum akhirnya berjalan menghampiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN