Seminggu berlalu. Kesibukan Langlang sebagai mahasiswa S2 sangat padat. Siang dia akan fokus dengan laptopnya di perpustakaan. Berkutat dengan data dan bukunya.
Sorenya, pria itu menemui Dosen Pembimbing untuk mendiskusiskan tesis yang sedang dibuatnya.
Kadang pria itu menginap di kamar asrama mahasiswa yang satu jurusan dengannya karena malas pulang.
Tapi hari ini setelah ia selesai bimbingan, sang Dosen memintanya menemani makan di sebuah kedai sushi yang biasa menjadi langganannya.
Mereka lalu mengobrol sebentar sebelum berpisah. Namun, Langlang yang mendapati keanehan pada dosennya itu pun segera menghampiri.
“Anda baik-baik saja, Prof?”
“Sepertinya tubuhku kurang sehat.”
Langlang juga bisa melihat bagaimana pria berusia tujuh puluh tahun itu berkeringat. Padahal cuaca sedang dingin.
Langlang pun mencoba mencarikan taksi untuknya, namun ditolak.
“Tidak usah. Antarkan aku ke stasiun saja.”
“Tapi sepertinya anda perlu ke Rumah Sakit, Prof. Bagaimana kalau saya antar?”
Pria itu masih menggeleng kukuh. Di Jepang, banyak sekali orangtua yang tak suka dikasihani. Termasuk profesornya itu.
“Temani aku saja sampai stasiun.”
Langlang mengangguk dan berjalan di samping sang Profesor. Pria sepuh itu masih merasa kuat dan hanya perlu istirahat saja menurutnya.
Namun, baru saja mereka akan menuruni tangga menuju stasiun, pria berusia senja itu ambruk setengah tak sadarkan diri.
Langlang membeku untuk beberapa waktu. Pria itu kemudian berusaha mengembalikan pikiran tenangnya dan memeriksa nadi juga detak jantung sang Profesor. Tiba-tiba saja seseorang berseru,
“Tolong menyingkir!”
Langlang menoleh dan tampak Savira langsung sigap memeriksa pria yang sudah tampak tak berdaya dan terbaring di jalan itu.
“Tolong dia.”
“Pegangi lehernya seperti ini dengan kuat. Jangan lepas sebelum aku bilang lepas!” tatap Savira tegas.
Langlang mengangguk. Semuanya begitu cepat. Tak ada waktu untuk bicara.
Savira kemudian melakukan pertolongan pertama dengan melakukan cardiopulmonary resuscitation atau CPR usai meminta petugas stasiun memanggilkan ambulans.
Untunglah Profesor itu bisa diselamatkan. Petugas medis datang dalam hitungan menit dan membawa pria sepuh itu ke Rumah Sakit.
“Kamu tidak ikut?”
“Aku sudah menjelaskan pada paramedis. Tenang saja, dia akan selamat.” Savira tampak menenangkan Langlang yang terlihat pucat.
Pintu ambulans ditutup. Melaju meninggalkan Savira yang kemudian bergegas pergi untuk menjemput Shindu.
Keesokannya, Savira yang sedang sedikit santai di ruang IGD dikagetkan dengan kehadiran Langlang yang membawakan banyak makanan untuknya dan juga orang-orang di sana.
“Apa ini?”
“Tanda terima kasih karena kamu sudah menolong Profesorku.”
“Bagaimana kondisinya?”
“Sudah lebih baik. Ia juga menitipkan salam. Tolong diterima.”
Savira mengangguk. Hari ini Langlang terlihat lebih sopan dan tak mengganggunya.
Namun, pikiran Savira itu ternyata salah. Langlang justru sengaja menunggu Savira pulang.
“Ada apa lagi?”
“Tidak ada. Aku hanya ingin mengantarmu pulang.”
“Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula kita tidak akrab. Sebaiknya kamu pulang.”
“Rumahmu di mana?” Langlang tak peduli.
Savira terus berjalan menuju parkiran motornya. Wanita itu segera mengenakan perlengkapan helm dan sarung tangan serta maskernya sebelum melaju meninggalkan Langlang sendirian.
Dan minggu-minggu berikutnya, saat pria itu punya waktu luang, ia masih kukuh menunggu Savira di luar Rumah Sakit. Membuat Savira kesal karena teman-teman kerja jadi meledeknya.
Dan hari ini setelah makan siang, Savira pun menemui pria yang terlihat keras kepala namun tetap berdiri kedinginan di bawah salju tipis dengan coat dan jaket tebalnya itu.
Savira sendiri hanya menyerahkan kertas berisi nomer telepon miliknya. Langlang tersenyum sumringah begitu membuka dan melihat isinya.
“Terima kasih. Aku janji tidak akan mengganggumu lagi.”
“Pulanglah. Cuaca dingin sekali. Aku tidak mau disalahkan karena sudah membuat orang lain sakit.”
Wanita itu berbalik. “Savira?”
Entah kenapa ia merasakan detak jantungnya berdebar. Panggilan itu mengingatkannya pada seseorang yang membuat matanya mendadak pedas.
Langlang melihat bahu Savira bergerak cepat karena napas yang memburu.
“Vira, kamu baik-baik sa–“
“Pulanglah. Aku masih banyak pekerjaan," katanya tanpa menoleh.
“Tapi kamu benar baik-baik saja? Sepertinya–“
“Aku sedang bekerja. Tolong jangan menggangguku lagi di sini. Aku sudah memberikan apa yang kamu inginkan bukan?”
Langlang mengalah. “Terima kasih. Sungguh. Aku hanya ingin berteman denganmu apalagi setelah kamu menolong Profesorku.”
“Itu sudah tugasku sebagai petugas medis.”
Savira berlalu meninggalkan Langlang yang tersenyum menang karena berhasil mendapatkan nomer telepon wanita itu.
Namun, rupanya Savira salah menuliskan nomer telepon yang membuatnya diganggu Langlang lagi.
Parahnya, gangguan pria itu semakin membuat Savira diledek teman-teman kerjanya.
“Sepertinya kamu punya penggemar baru, Vira,” ucap Kujira.
Wanita itu bergeming. Sibuk memasukkan data hasil pemerikasaan pasien ke dalam data base komputer.
“Lalu apalagi yang akan kami dapatkan hari ini?” seorang Dokter ikut meledeknya. Namun Savira masih tak mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya.
“Sepertinya yang kita tunggu sudah datang,” ucap lainnya.
Savira mendongak dari mejanya. Melihat pengantar makanan membawakan banyak keresek dan menyerahkan ke meja perawat.
“Kau pembawa keberuntungan, Savira,” ledek lainnya senang karena hampir setiap hari Langlang mengiriminya makanan.
“Nikmtilah. Dalam budaya negaraku menolak pemberian orang lain itu dosa,” ujarnya disambut tawa dan kekekah senang.
“Kau tidak ingin mencicipinya, Savira?”
“Aku mau tidur sebentar.”
Wanita itu berlalu ke ruang istirahat. Savira sungguh tak paham dengan apa yang diinginkan Langlang. Bukankah ia sudah memberikan nomer teleponnya meski dengan terpaksa?
Savira lantas menghubungi Pahlewa untuk meminta bantuannya.
“Kamu sibuk, Mas?”
“Tidak. Ada apa, Vira?”
Savira mengusap tengkuknya. Mengulum bibir cemas sekaligus ragu membuka mulutnya.
“Aku bisa minta nomer telepon temanmu yang bernama Langlang?” lirihnya ragu.
Hening sejenak.
“Dia melakukan apa lagi?”
Savira mendesah kasar. “Aku sudah memberinya nomer teleponku. Tapi dia membuatku terus diledek teman-teman kerja. Aku jadi nggak nyaman, Mas.”
Terdengar hembusan napas panjang di seberang telepon sana.
“Akan kucoba bicara. Tapi kalau tidak bisa, apa boleh kukatakan saja tentang Shindu?”
Savira terdiam sejenak. Berpikir mempertimbangkan ucapan Pahlewa. Kenapa caranya harus sampai seperti ini.
“Vira?” ulang Pahlewa lagi.
“Iya, Mas. Nggak apa. Aku juga capek kalau terus diledek hanya karena temanmu yang terlalu berlebihan itu.”
Pahlewa terkekeh pelan. “Maafkan dia. Dia hanya sedang kesepian dan butuh seorang teman.”
“Kamu juga temannya, Mas.”
“Teman yang menyebalkan baginya.” Pahlewa tertawa di sana. Savira ikut tersenyum kecil.
“Ya sudah kalau begitu. Aku tutup teleponnya.”
“Hm. Selamat bekerja Vira. Tidak usah cemaskan manusia galau itu. Aku akan mengurusnya.”
“Terima kasih, Mas.”
Klik ….
Savira membaringkan tubuhnya. Menatap langit-langit ruang kerja sekaligus ruang istirahatnya bersama teman-teman satu profesinya.
Pikirannya menerawang pada sebuah wajah. Wajah yang selalu menjelma dan muncul menghiasi harinya lewat malaikat kecil yang kini semakin bertumbuh pintar dan mandiri.
“Kamu liat Mas, aku bisa membesarkan Shindu sampai sebesar sekarang. Tapi aku harap dia nggak akan jadi playboy kayak kamu dulu.”
Savira mendengus tipis. “Aku rindu kamu, Mas. Rindu.”
Matanya memejam seiring buliran bening yang jatuh dari kedua ekor matanya.
Sementara itu, Langlang yang tiba di apartemennya langsung dihadang Pahlewa.
“Bisa nggak sih lo berhenti ganggu Savira?”
Alis Langlang menanjak satu ke atas. “Kenapa? Lo bilang gue boleh bersaing secara adil.”
“Tapi nggak sampai bikin Vira nggak nyaman di tempat kerjanya.”
“Dia sendiri yang malsuin nomer telepon?”
Gantian Pahlewa yang menaikkan sebelah alisnya. “Vira nggak mungkin bohong.’
Langlang menyerahkan kertas yang disimpannya di saku coat sebelum berlalu ke dapur dan mengambil minum.
Pahlewa memeriksa ponselnya sendiri dan mencocokkannya.
“Dia cuma salah tulis satu nomer.”
“Bisa aja sengaja kan?”
Pahlewa mendesah lemah. “Kehidupan dia itu berat, Lang. Dia punya anak yang harus dirawat.”
Langlang tersedak minumannya. “Apa lo bilang?”
“Dia punya A-NAK tuan Langlang Atmadireja.”
Pria itu tertegun sambil memegangi gelas minumnya.
“Kenapa? Nyesel udah tau kalau Savira janda?”
Langlang mendengus mengejek. “Kenapa memangnya kalau janda? Itu cuma label orang-orang aja.”
Pahlewa memandang rumit sahabatnya. “Lo yakin? Keluarga lo nggak bakal ngamuk kalau tau lo mutusin tunangan lo dan malah deketin janda? Nggak mudah deketin Vira, Lang.”
“Lo ngeremehin gue.”
“Oke. Tapi kalau gue boleh tau, kenapa sih lo ngebet sama Vira?”
Pria itu mengendikkan bahu. “Gue juga nggak tahu apa namanya. Yang jelas, sejak dia nolong Profesor Hamada, gue ngerasa Vira itu memang dewi penolong gue.”
“Lo nggak berniat jadiin dia pelampiasan kan?”
“Please, Wa. Kapan gue move on kalau lo juga nabur garem mulu.”
“Siapa yang nabur garem? Gue cuma ngomong.”
“Omongan lo itu kayak garem. Memerihkan hati gue.”
“Bacot! Lo kira gue naga laut.”
Langlang terbahak. “Naga nggak nyembur garem. Naga nyemburnya api.”
“Gue rasa elo lebih butuh psikiater dibanding pacar baru.”
Bugh ….
Langlang melempar jaket dan coatnya pada Pahlewa.
“Kampret!”
“Gue mau mandi. Jadwal lo masak. Awas bikin sayur lodeh lagi. Gue bilang Mbak Intana.”
“Bilang aja. Orang Mbak Intana yang nyuruh gue masakin sayuran Indonesia.”
Langlang menepis udar kosong dan berlalu ke kamar. Melepas semua pakaiannya dan masuk ke kamar mandi.
Di bawah kucuran air shower yang panas, Langlang membiarkan tubuhnya basah sambil merenungi kata-kata Pahlewa tadi.
Lalu dua minggu berikutnya, Langlang yang tak sengaja bertemu dengan Savira di swalayan pun menghampiri.
Savira menjenggit kaget saat pundaknya ditepuk dari belakang. Wanita itu bahkan reflek memukul Langlang dengan kemasan sayuran ditangannya.
“Aduh!”
“Kamu?”
“Sakit Vira.”
Savira membantunya bangun dan menunduk pada orang-orang yang menoleh dan terganggu dengan apa yang terjadi di antara mereka.
“Bisa kan kamu panggil nama saya?”
“Maaf. Aku terlalu senang ketemu kamu di sini.”
“Bunda!”
Savira menoleh dan tersenyum. “Sudah dapat?”
“Udah dong! kan aku udah sering belanja sama Bunda.” Shindu menolehkan kepalanya ke samping menatap Langlang. “Ini temen Bunda?”
Langlang langsung berjongkok di depan bocah itu. “Halo, Boy! Nama kamu Shindu, ya?”
“Kok Om tahu?”
“Tahu dong. Kan Om temen Bunda kamu.”
“Beneran temen Bunda?”
Savira menganggukinya. Tak ingin Shindu banyak bertanya.
“Om temen baik Bunda kamu kok.”
“Gitu ya? Oke, deh. Kalau temen baik harusnya Om mau temenin aku nyari mainan. Aku mau milih mainan nih. Tapi aku bingung pilih yang mana.”
Shindu memberi kode pada Savira. Wanita itu mengulum tawa. Hapal betul apa yang akan dilakukan anaknya.
“Oke. Om temani kalau gitu.”
“Bunda aku ke sana dulu, ya?” Savira mengangguk. Membiarkan anaknya mengerjai pria itu sementara ia sendiri menelepon seseorang.
“Mas sudah sampai mana?”
“Sebentar lagi. Kamu sudah selesai belanjanya?”
“Sudah.”
“Ya sudah. Mas sampai sebentar lagi.”
“Hm. Hati-hati.”
Klik ….
Savira memilih mendorong troli belanjanya ke kasir lalu duduk menikmati kopi yang dipesan sambil menunggu seseorang lainnya yang akan datang menjemput.
Tak berapa lama yang ditunggu pun tiba. Savira menghubungi Langlang dan meminta membawa Shindu ke luar.
“Daddy!”
Hupla ….
Bocah itu langsung lompat seperti biasa ke dalam gendongan Daddy-nya.
“Anak Daddy habis beli apa?”
“Beli mainan. Tapi aku bingung milihnya. Nanti aja deh milih sama Daddy. Sekarang makan ramen dulu. Aku lapar nih.”
Savira terkekeh melihat wajah pasrah Langlang yang habis dikerjain anaknya.
“Om baik. Sini! Kenalan dulu. Ini Daddy aku.”
Langlang mendadak gugup. Pria yang sedang menggendong Shindu itu jelas terlihat berwibawa dan matang dibanding dirinya.
Sorot matanya tajam namun meneduhkan begitu senyuman tersungging untuk bocah kecil yang ada di dalam gendongannya dan juga sang Bunda. Dan Langlang bisa melihat perbedaan itu.
Tapi kenapa mereka berpisah? Batinnya langsung bertanya-tanya.
“Saya Zaki. Daddy-nya Shindu. Teman kerja Savira atau teman–“
“Temannya Mas Lewa.”
“Ah. Pahlewa.”
“Om lucu ya, Bunda?”
“Iya.”
“Langlang!” balas pria itu menjabat tangan dan berusaha santai terlihat tenang.
“Kami duluan kalau begitu.”
Langlang mengangguk kemudian menatap punggung ketiganya yang menjauh.
“Jadi itu saingan gue? Oke.”
Langlang lantas berlari mengejar ketiganya. Savira yang belum masuk mobil akhirnya berbalik karena Langlang memanggilnya lagi.
“Ada apa?”
“Aku pengen bicara dengan suami kamu. Ehm, maaf. Maksudku mantan suami kamu.”
Savira mengerutkan alis. Zaki turun lagi dan menghampirinya.
“Ada apa?”
Langlang dengan wajah tegas dan suara lantang mengatakan kalau,
“Saya ingin mengenal Savira lebih dekat. Lebih tepatnya, saya suka dengan Savira. Dan ini bukan permohonan ijin. Tapi pernyataan kalau mulai hari ini saya akan melakukan pendekatan pada Savira.”