Tawaran Gila

1841 Kata
Hatinya begitu hancur saat Aris mengatakan ‘talak’ dengan mudah atas suruhan dari ibunya. Tubuhnya bak ditembak peluru yang begitu tajam lalu terkapar di atas tanah yang tinggal menunggu jatuh lemasnya saat tak berdaya. Air matanya mengalir kembali dari pelupuk yang sedikit membengkak akibat air mata yang terlalu banyak Anissa keluarkan. Harapan cinta yang sudah dia ukir saat menitih karier bersama kini hanyalah tinggal kenangan saat talak menghampiri dirinya. Kedua tangannya menyentuh kaki yang pernah menjadi ladang surganya. “Mas, aku mohon tarik kembali ucadan talakmu itu. A—aku gak mau pisah sama kamu, Mas.” Kepalanya menunduk lalu mencium kaki yang masih berbalut sepatu. “Jangan, Aris! Apa yang kamu ucapkan itu sudah benar. Ibu tidak mau memiliki menantu tidak berguna terlalu lama di rumah ini. Lihat Aris, wajah istrimu itu sudah tua pakai jilbab udah kayak nenek-nenek tidak seperti Emi seksi dan cantik.” Endang mengangkat dagu Anissa lalu diarahkan ke depan cermin. Semenjak menikah, Anissa memang memutuskan untuk memakai jilbab. Namun, dia yang kurang suka glamour dan mengenakan hijab instan seperti jauh dari usia aslinya. Ia pikir selama ini Aris baik-baik saja tidak berpaling darinya, tapi ternyata ada ular yang masuk ke dalam pernikahannya yang membuat sumber masalah ini. Aris melepas tangan Anissa dengan kasar, tetapi perempuan itu masih saja berusaha keras agar suaminya bisa menarik ucapannya. “Aku tidak akan menarik ucapanku. Lagian, kamu sudah lihat kan tadi apa yang akan kami lakukan di depan matamu!” tampik Aris. “Udah deh Anissa, aku yang akan melanjutkan menjadi istri Mas Aris. Aku kasihan sama kamu kalau terus-terusan tertekan dituntut Ibu untuk memberikan cucu,” ucap Emi yang membuat perempuan itu mendongak. “Lebih baik aku dituntut Ibu daripada dari mulut wanita binal seperti kamu, Emi!” Anissa mendongak dengan menatap sinis ke arah Emi. Dalam keadaan seperti ini, Anissa yang baik hati dan sabar tidak bisa membendung amarahnya kepada pelakor yang mempertaruhkan masa depan rumah tangganya. Wanita binal itu hanya menyuguhkan mulut yang menyungging yang dalam hatinya ada kata puas melihat penderitaan Anissa sahabatnya sendiri. “Aris, sekarang Anissa bukan istri kamu lagi dan usir dia sekarang juga dari rumah ini,” pinta Endang dengan lantang. Harapannya untuk mengusir Anissa sudah ada digenggaman tangannya saat ia berhasil menghasut anaknya sendiri. Kedua bola mata perempuan itu melotot kembali di saat hari menuju petang dan mendung di luar sana. Anissa menggeleng lalu menyentuh kedua tangan Aris dengan lembut layaknya tidak terjadi hal apa pun. “Mas, aku mohon jangan usir aku dulu. A—aku gak tahu harus ke mana setelah ini?” Aris menarik tangan Anissa dengan kasar sampai dia terpaksa berdiri ke dalam kamarnya. Lelaki itu pun mengambil koper berwarna merah muda lalu memasukkan beberapa baju milik istrinya untuk segera pergi dari rumahnya sore hari ini juga. “Aku tidak mau tahu, kamu harus pergi hari ini juga, Anissa. Kita ini sudah bukan suami istri lagi setelah aku mengajukan talak denganmu!” Perempuan itu menggeleng lalu memeluk kaki suaminya kembali dengan segudang permohonan. “Mas, sudah mau petang. Apa tidak ada belas kasihan untukku?” Endang pun segera masuk ke kamar anaknya itu untuk segera mengusir menantunya yang sedari tadi memohon, dia takut jika Aris dengan mudah dirayu dan berubah pikiran kembali. Tangan Endang menarik tubuh perempuan itu yang dibantu oleh Emi mengambil koper miliknya. “Anissa, cukup sekian kamu menjadi menantu anak Ibu! Mulai hari ini, kamu bukan menjadi bagian dari keluarga kami lagi! Silakan, pintu rumah ini sudah terbuka lebar untuk mengusirmu!” Air mata yang entah sudah berapa banyak dari perempuan itu menangisi nasibnya hari ini. Segala permohonan yang ia ajukan sudah berusaha keras, tetapi tetap saja suami dan mertuanya begitu tega mengusir di waktu yang sudah petang dan mendung. “Tunggu apalagi, Anissa? Apa perlu, aku tarik kamu biar cepat keluar dari rumah ini?” Aris hendak menyentuh lengan istrinya, tetapi segera Anissa tepis dengan kasar. “Tidak usah! Aku bisa sendiri!” elak Anissa pantang rasanya disentuh oleh lelaki yang sudah mengusirnya. “Kamu bisa tunggu surat cerainya. Besok, aku akan segera mengurusnya lebih cepat,” ucapnya sebelum Anissa keluar dari pintu. Gadis itu menoleh ke belakang untuk sekadar melihat ketiga manusia j*****m yang pernah ia kenal di dunia. “Dengan senang hati.” Tangannya menarik koper milik pribadinya saat tiga tahun yang lalu berpindah setelah resmi menjadi istri dari Aris. Detik ini juga, tubuhnya sudah tidak layak untuk menempatkan tempat berteduh yang membuatnya kurang nyaman, tetapi dipaksa agar ia bisa menempuh ujian hidup. Namun, ternyata dugaannya salah ia harus berakhir setelah tiga tahun hidup bersama suaminya. Perempuan itu berjalan pelan menyusuri jalanan yang sudah cukup petang. Saat wajahnya menengadah ke arah langit di atas awan sudah begitu mendung seakan tak akan lama lagi hujan akan turun. Rintikan air hujan yang semakin deras pun membasahi tubuh Anissa. Dia ketakutan, menangis tersedu-sedu kala hujan itu menemani rasa pahit hidupnya yang dirasakan lewat tangisannya. Tangannya melepas koper lalu keduanya direntangkan dengan kepala yang menengadah ke arah langit. “Ya Tuhan, kenapa hidupku jadi begini! Apakah aku tidak layak bahagia bersama orang yang kucintai.” Anissa teriak sekencang mungkin di kala magrib hendak segera hadir. Emosinya sudah terluapkan ditemani hujan rintik-rintik saat memeluk badannya sendiri yang saat ini bukan milik siapa-siapa selain dirinya dan Tuhannya. Sebuah mobil berkendara dengan kecepatan yang cukup tinggi di kala hujan pandangannya begitu buram terlebih hendak pergantian malam, seorang lelaki dengan santai memutar setir untuk berbelok ke arahnya. Namun, rem itu kurang berfungsi saat mendadak ada seorang perempuan berdiri dengan merentangkan tangannya dan menengadahkan wajahnya di tengah jalanan sepi. “Awas!” seru seorang lelaki yang gagal mengendalikan rem mobilnya. Tubuh Anissa sampai tersungkur ke badan mobil saat mobil itu tiba-tiba berhenti. Lelaki yang bernama Refal itu pun keluar dari pintu mobil tanpa memikir mengambil payung di kursi sampingnya. “Ya ampun, aku nabrak orang?” lelaki itu menutup mulutnya sendiri saat tubuh Anissa terjatuh di depan badan mobilnya. Lelaki tampan dan tinggi itu bernama—Refal Anggara. Dia pun menderapkan kakinya lalu mengecek denyut nadi Anissa yang ternyata masih berfungsi. Jemarinya mengecek kening dan hidungnya pun masih berfungsi sebagaimana mestinya. Tanpa menunggu lama, Refal pun membopong gadis itu ala bridal style ke dalam mobil yang duduk di samping kursinya. Ia pun tak lupa mengambil koper milik Anissa dan meletakannya di belakang. “Aku gak ketahuan, kan?” Lelaki berjambang tipis itu pun menoleh ke sekitar tempat itu. Tangannya mengelus d**a bidang. “Huh, merepotkan sekali gadis ini. Bisa-bisanya hujan-hujanan di samping tikungan, kan aku gak kelihatan kalau ada orang,” gumam Refal dengan kesal. Ia pun tetap harus bertanggung jawab untuk membawa Anissa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Kebetulan rumah sakit itu masih milik keluarga besar Refal, jadi Anissa segera mendapatkan penanganan penanganan insentif. “Ssst … aduh, saya ada di mana ini?” Anissa mengerjapkan matanya saat berada di ruangan yang begitu steril. Ekor matanya menatap selang yang menjuntai di atas tubuhnya lalu melihat jika di tangannya dipasang jalur infus. “Anda ada di rumah sakit,” sahut Refal yang sedari tadi mondar-mandir menunggu Anissa sadar dari pingsannya. Anissa mengerutkan dahi. “Anda siapa? Ke—kenapa saya bisa di sini?” “Anda tadi mau bunuh diri ya di tengah jalan? Saya yang rugi di sini membuang waktu saya untuk membawamu ke rumah sakit. Dasar, gadis merepotkan!” keluh Refal, ia juga tak kalah merasa kesalnya dengan kehidupan nyata ditambah harus mengurus Anissa yang tak sengaja ia tabrak. “Lagi pula, saya juga tidak membutuh Anda membawakan saya ke sini,” elak Anissa. Ia kira Refal akan meminta maaf telah menabrak dirinya, justru lelaki itu menuaikan amarah pada Anissa yang merepotkan dirinya. “Dasar, gadis yang tidak tahu rasa terima kasih! Sudah untung saya tanggung jawab dengan tingkah lakumu yang membahayakan dirimu sendiri dan orang lain. Kalau punya masalah itu selesaikan sendiri jangan berdiri di tengah jalan kalau gak mau merugikan orang lain!” Anissa mengerutkan dahi dengan tangannya yang masihh memegang kening. “Kan, Anda yang nabrak saya. Setidaknya meminta maaf itu jauh lebih baik.” “Anda yang harusnya minta maaf. Anda pikir harus saya yang meminta maaf lebih dulu saat kesalahan berpihak padamu?” “Yang suruh bunuh diri di jalan siapa? Kalau gak mau merepotkan itu bunuh diri di jurang aja sekalian. Itu pun tetap merepotkan Tim SAR untuk mencari keberadaanmu,” cerocos Refal. “Ya sudah, saya minta maaf karena sudah membuang waktumu untuk menolongku.” Anissa yang tidak mau berdebat pun harus mengalah. Sepertinya, lelaki itu memang tidak bisa diajak bicara dengan baik. “Gitu kek, dari tadi!” Refal pergi meninggalkan Anissa seorang diri di dalam ruangan steril itu. Dia sudah memberikan perawatan khusus untuk Anissa kepada dokter-dokter pilihannya agar dirinya segera lekas sembuh. “Dasar, orang aneh! Udah diceraikan suami ditambah ketemu orang aneh,” Anissa mendesis dengan kening yang masih merasa nyeri. Sementara Refal yang sudah meredam amarahnya, ia pun harus pulang kembali menemui keluarganya yang memaksa agar dirinya segera menikah. Hal itu yang membuat Refal tertekan, hingga petang tadi ia mengendarai mobil di kala hujan sampai menabrak gadis itu. Esok harinya saat jam istirahat kantor, lelaki berjambang tipis itu pun segera menuju ke rumah sakit untuk menemui Anissa yang sudah ditabrak olehnya. Sifatnya yang keras dan susah diatur, tetapi tidak membuat lelaki itu lepas dari tanggung jawabnya. “Anda mau ke mana?” Kedua matanya melihat jemari Anissa melepas selang infus. “Hari ini, aku ada sidang perceraian dengan mantan suamiku. aku harus segera ke sana,” sahutnya sambil melepas selang infus. “Anda sudah menikah?” tanya Refal dengan serius. “Iya. Itu kenapa kemarin aku kemarin kayak orang gila. api, aku sekarang tak akan menangisi suamiku kembali.” “Kenapa?” Refal semakin penasaran dengan masalah yang dihadapi Anissa. “Dia selingkuh dengan sahabatku sendiri. Jadi, tak patut air mataku habis hanya untuk mereka.” “Oh, gitu.” Reaksi netral dari Refal membuat gadis itu mengurungkan niatnya untuk turun dari brankar pasien. Anissa kira, Refal akan mengasihani atau sekadar merasa iba dengannya. “Kok, oh?” “Kejadian begitu sudah biasa terjadi di dalam kantorku. Jadi, tidak ada yang luar biasa.” “Jadi, saya bukan yang pertama?” “Sekarang, saya punya permintaan denganmu. Kamu tahu kan, harga kamar VVIP di rumah sakit terkenal ini kisaran berapa? Jadi, ini tidak gratis,” ucap Refal dengan sedikit menekan ucapannya. “Apa? Lalu, apa yang Anda ucap kemarin menolong saya itu omong kosong?” “Saya akan memberikan penawaran khusus dan itu bonus untuk Anda kalau menyetujui penawaran dari saya. Tenang, Anda tidak perlu bekerja keras dengan penawaran saya.” Anissa mengerutkan dahi. Dia masih tidak paham dengan tawaran dari seorang CEO dingin itu. “Tawaran bagaimana?” “Tawaran menjadi pacar pura-puraku. Anda tenang saja, kita hanya pura-pura kalau di depan keluarga saya. Dan Anda, akan mendapatkan apa yang Anda mau. Bagaimana?” “Apa? Anda sudah gila! Saya tidak mau! Apa Anda tidak paham agama, jika perempuan dalam masa iddah nanti tak patut keluar apalagi dengan lawan jenisnya dan jadi pacar pura-puramu!” Anissa menolak tawaran gila itu dengan lantang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN