Sidang Perceraian

1646 Kata
Kedua tangan Refal mengepal, wajahnya mengerut dengan menatap perempuan di depannya itu dengan tajam. Kakinya melangkah lebih dekat menuju brankar pasien yang diduduki Anissa. Perempuan berwajah oval itu pun beringsut, mulutnya ternganga melihat lelaki berwajah dingin dengan sifatnya yang begitu jutek dengannya semakin mendekat ke arahnya. “M-mau apa, Anda?” Anissa mundur dikit sampai mentok ke pembatas brankar, mungkin jika sedikit lagi dia mundur bisa terjatuh ke lantai. “Saya mau kamu menuruti apa yang saya mau!” Anisa mengerutkan dahi yang tak kalah terkejut dengan respons lelaki itu. “Memangnya Anda siapa menyuruh dengan semaumu? Kalau masalah bayar di rumah sakit biar saya bayar sendiri saja. Saya tidak mau merepotkan orang, apalagi kalau gak ikhlas.” “Hai, enak sekali Anda berbicara. Anda itu sudah merepotkan saya sampai membawamu ke sini. Anda pikir, saya tidak punya pekerjaan yang lebih penting dari menolongmu sampai di sini?” Anissa menghela napas dengan pelan dengan memandang lelaki di depannya itu dengan remeh. “Sebelumnya saya kan sudah minta maaf dan terima kasih, apa itu kurang untuk Anda yang sudah menolong tapi tidak ikhlas? Oke, kalau begitu saya minta rekening biar saya bayar sekalian jasa Anda.” Dia pun mengambil ponsel yang berada di koper, akan tetapi ia baru sadar koper berwarna merah muda itu tidak ada di ruangannya. Ekor matanya mencari di sekitar ruangan steril itu, tetapi tidak ada tanda-tanda untuk menyimpan koper sebesar miliknya. “Lho, koperku di mana?” Anissa melirik Refal yang membuang wajah ke sembarang arah. “Koper saya mana?” Anissa seolah-olah menanyakannya. Lelaki itu masih saja membuang wajah, sampai Anissa merasa kesal lalu melempar bantal kecil sampai mengenai bagian penting dalam hidupnya. “Aduh! Kamu?” Refal pun berbalik arah ada sesuatu yang merasakan sedikit sakit akibat tingkah konyol Anissa. Kedua tangan perempuan itu pun membungkam mulutnya. Sebagai perempuan yang pernah berumah tangga, ia pun tahu bagaimana reaksi Refal setelah menerima pukulan walau dari bantal yang empuk sekalipun. “Waduh, i-itu tadi kena ya?” lirih Anissa. Lelaki berwajah dingin itu pun memejamkan matanya seketika untuk menetralkan reaksi yang tak seharusnya berada di depan perempuan lain. Emosinya semakin memuncak dengan Anissa yang sudah rela ia menolong dan menjenguknya, sampai meninggalkan pekerjaan pentingnya. “Ma-maaf, apa Anda tidak apa-apa?” Anissa semakin panik saat melihat tubuh Refal dari belakang berkembang kempis. Refal berbalik arah dengan menatap tajam Anissa. “Saya minta setelah ini Anda harus tanggung jawab semuanya!” “Lah, memang saya mau tanggung jawab. Kan, tadi saya tanya di mana koper saya? Anda malah tidak menjawab, jadi itu bukan salah saya dong?” “Tidak salah Anda? jelas-jelas bantal itu melayang karena ulang tangan Anda, masih tidak mau mengaku juga?” Refal masih meringis kesakitan membuat Anissa tidak tega dengannya. Giliran perempuan itu pun membuang wajahnya, ia pun bisa bertindak layaknya seperti orang yang tidak bersalah. “Hai, saya mengajak bicara dengan Anda!” Anissa melirik Refal dengan mendongak. “Oh, Anda mengajak bicara dengan saya? Bilang dong, kirain Anda tidak mau dibalas seperti apa yang Anda lakukan saat saya menanyakan koper saya,” celetuk Anissa yang membuat Refal semakin murka. “Saya mau, kamu bayar apa yang sudah saya korbankan!” pintanya dengan nada ditegaskan. “Iya, bisa sabar gak sih? Saya akan bayar kalau Anda mengembalikan koper saya! Sekarang, di mana koper saya?” “Mana saya tahu, pikir aja sendiri! lagi pula, saya itu bukan ingin dibayar dengan uang tapi jasa juga,” tolak Refal. “Jasa? Jasa seperti apa ya? Apakah Anda harus mengalami hal yang serupa dengan saya lalu saya kembali menolong Anda?” Perempuan brilian itu berusaha membolak-balikkan fakta apa yang sudah ia dapatkan dari lelaki itu. Namun, bukan Refal namanya yang mudah menyerah begitu saja apa yang seharusnya didapatkan. “Anda, menyumpahi saya biar celaka?” “Tidak juga. Makanya, saya tanya mau jasa yang seperti apa?” Refal mengepalkan tangan kembali rasanya jika orang yang di hadapannya bukan perempuan pasti sudah kena bogeman darinya yang sedari tadi membuat emosi. “Saya mau Anda bantu saya untuk jadi pacar pura-pura saya! Tenang, saya akan bayar dengan harga yang tinggi biar setelah kamu hidup sendiri tidak kerepotan mencari pekerjaan,” ucap Refal. Anissa menghempaskan selimut biru itu. “Sudah saya katakan, saya tidak mau! Lagian, kita juga gak kenal. Bisa saja kan, itu hanya modus Anda untuk berbuat tidak baik dengan saya. Atau jangan-jangan Anda mau menjual saya?” “Kurang ajar, Anda siapa berani memfitnah saya seperti itu? memangnya, saya terlihat seperti lelaki hidung belang?” “Mana saya tahu. Sudahlah, berurusan dengan Anda tidak ada kelarnya! Lebih baik saya pergi ke tempat sidang.” Anissa turun dari brankar, tetapi tiba-tiba kakinya masih sedikit sakit untuk berjalan. Refal yang melihat perempuan itu tidak seimbang dalam berdiri, ia pun memegangnya dengan kuat sebelum terjatuh. Tidak sengaja, Anissa pun mendongak tatapannya langsung bertemu dengan wajah Refal yang berbentuk sedikit kotak dan tegas. Namun, ia bukan wanita yang mudah terpana dengan lelaki lain, sehingga ia segera meminta diturunkan dari dekapannya. “Anda tidak usah berpura-pura menolong saya kalau ujung-ujungnya meminta saya menjadi pacar pura-pura, Anda.” “Dasar, memang Anda ini tidak tahu kata terima kasih ya? Sudah sering kali saya membantu, tapi apa hanya pikiran buruk Anda yang menjawab.” “Terima kasih, Anda sudah berbaik hati menolong saya. Tapi, dengan berat hati saya tidak mau menuruti kemauan Anda yang konyol. Setelah ini, saya janji akan mengganti semua. Permisi!” Anissa melangkah tangannya berusaha memegang kakinya yang terasa sakit. Refal mengusap wajahnya dengan kasar melihat Anissa menolak mentah-mentah permintaannya dengan kasar. Setelah ini, lelaki berwajah dingin itu mungkin tidak akan pulang ke rumahnya sebab telinganya begitu panas ditagih menikah oleh orang tuanya. Dengan menjadikan pacar pura-pura pasti ia terlepas dari perjodohan yang tidak diinginkannya. Perempuan berwajah oval dengan hijab instan membalut kepalanya itu pun melangkahkan kakinya hingga sampai ke depan gerbang rumah sakit yang baru saja dibaca setelah melihat plang. “Ya ampun, rumah sakit Anggara Medika? Ini kan, rumah sakit yang terkenal mahal? Apa, tabunganku cukup buat bayar buat rawat inap? Ah, mana koperku hilang entah ke mana? Semoga, gajian dari sosmed mampu untuk membayarnya,” gumam Anissa sambil menunggu angkot datang. Ia baru teringat, jika dirinya tidak memiliki uang sepeser pun sebab seluruh barang berharganya ada di dalam koper itu. Tangannya tak sengaja merogoh saku bajunya, dan entah mengapa ada selembar kertas di sana. “Alhamdulillah, ada uang di dalam saku. Oh iya, sebelum aku pergi kan ini ada kembalian beli gula.” Anissa memegang uang pecahan dua puluh ribuan. Tak selang lama, ia pun mendapatkan angkot jurusan menuju ke pengadilan agama kebetulan memang satu arah, tetapi sedikit jauh menempuhnya. Ekor matanya melihat kantor besar di mana pernikahannya akan segera usai dengan suami yang masih sangat dicintai olehnya. Namun, Anissa harus merelakan kepergiannya. “Sebentar lagi, aku bukan bagian dari hidup Mas Aris,” gumam Anissa. Tubuhnya berusaha kuat dan tegar, kakinya melangkah walau dengan langkah berat ditambah kakinya masih terluka di bagian lutut ada sedikit perban. Netranya sudah melihat Aris dan juga kedua perempuan yang sudah merasakan kebahagiaannya masuk ke dalam ruang sidang. “Bismillah.” Anissa duduk di bagian depan di samping Aris yang entah mengapa begitu enjoy. Bahkan, Anissa melihat jika Aris sudah membawa pengacara yang bukan kaleng-kaleng sebab Anissa tahu seberapa kuat pengacara itu dalam bertindak secara hukum. Perempuan itu menarik napas dengan pelan lalu memejamkan matanya sekejap seraya berdoa atas perpisahan yang akan ia terima walau dengan berat hati. Obrolan dari Refal pun sekilas lewat di bayangan otaknya, bahwa ia tidak sendiri sebab rekan kerjanya banyak yang mengalami hal sekian. “Saudari, Anissa Humairah Azzari apakah Anda siap melepas suami Anda Saudara Aris Kristiar?” tanya Ketua Majelis Hakim sebelum dimulainya sidang itu. Perempuan itu menatap intens lelaki yang telah menemani hidupnya selama 3 tahun. Pun, begitu Aris pun membalas tatapan intens itu sampai tatapan itu berubah menjadi tajam dan menekan seolah ingin mendengar jawaban yang diinginkan. Anissa pun kembali melengos ke meja hijau itu dengan tegas. “Siap, Yang Mulia. Saya siap, jika suami saya berpisah dengan saya.” Hah, Anissa kenapa begitu yakin dan percaya diri sekali dengan keputusanku? Apa, dia sudah benar-benar melupakan cintaku? Ah, kenapa aku malah memikirkan dia kembali? batin Aris lalu melirik perempuan tegar itu. Jika, kamu bisa melupakanku, Mas. Maka, aku pun tak segan untuk membubarkan rasa cintaku padamu. Aku sangat kecewa justru kau telah menyakiti hatiku dan lebih memilih Emi, Anissa pun berusaha tabah dalam hati. Aris telah menyewa pengacara yang mumpuni, akan tetapi hari itu juga mereka belum mendapatkan suara palu diketuk tiga kali. Sial! Susah sekali aku melepas Anissa. Aku harus bisa merencanakan dengan pengacaraku supaya perceraianku cepat selesai, gerutu Aris. Dua bulan lebih, mereka bergelut dengan pendapat masing-masing. Anissa telah memberikan alasan kuat sebab suaminya telah berzina, bahkan sampai menyewa saksi lain agar dia pun terlepas dari belenggu rumah tangganya yang sudah tidak sehat. Ya Allah, aku ikhlas datang kembali yang entah ke sekian berapa ke tempat mengerikan ini. Semoga ini tempat terakhir kalinya kupijakkan kaki ini di tempat ini, batin Anissa sebelum masuk ke ruangan sidang yang terakhir. Hingga tak terasa Ketua Majelis Hakim itu pun mengetuk palu tiga kali. “Saudara Aris Kristiar dan Saudari Anissa Humairah Azzari, kalian sudah resmi berpisah. Dan, mulai hari ini kalian sudah bukan suami istri kembali.” Hari ini, detik ini juga Anissa sudah tidak menjadi istri sah Aris Kristiar kekasih yang sudah menempatkan posisi terbaik di hatinya. Saat Aris mengulurkan tangan pun, Anissa tidak menerimanya sebab ia sudah bukan menjadi mahram dan masa iddahnya telah dimulai. Perempuan itu hanya menghargainya tanpa menyentuh secara langsung. “Anissa, tunggu!” cegah Emi saat Anissa hendak keluar dari ruangan tegang itu. Perempuan ular itu sudah menerima piala penghargaan kemenangan kategori pelakor. Wajahnya begitu semringah, bibirnya menyungging sambil memberikan sebuah benda yang akan lebih menyakitkan Anissa. Anissa mengerutkan dahi. “Apa ini?” Ekor matanya melihat benda mewah di tangan gadis itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN