Hamil?

1590 Kata
Malam harinya, perempuan itu tidak bisa tidur sebaik mungkin. Bahkan, hal ini lebih insomnia daripada saat melihat suaminya berselingkuh dengan sahabatnya. “Pak Refal itu dingin, jutek, angkuh, tapi kenapa dia sepertinya mendukung aku banget ya?” “Dan, kenapa dia kekeh banget. Apa jangan-jangan nantinya aku akan dimanfaatkan? Ih, aku kenapa mikir sampai segitunya sih?” Besok paginya, Anissa sudah diberi pesan oleh Refal bahwa sekretarisnya akan mendatangi rumahnya untuk membawa berbagai macam produk yang akan digunakan untuk live beberapa hari ke depan. Seorang perempuan cantik berambut panjang dengan poni sisir yang membuat aura kecantikannya bertambah, tubuhnya ramping dengan heels setinggi 5 senti itu mengetuk pintu rumah Anissa. “Itu pasti orangnya.” Anissa melangkah mendekati pintu sampai membuka pintunya selebar mungkin. “Selamat pa—” ucapnya terpotong saat melihat perempuan yang begitu dikenali. “Anissa?” panggil gadis cantik itu. “Imel, kan ya?” Anissa menunjuk gadis cantik itu. Anissa pun merentangkan kedua tangannya, sehingga gadis cantik itu pun segera memeluknya dengan hangat. Perpisahan terakhir dari mereka ialah saat SMA. Setelah itu, mereka berpisah setelah Imel memutuskan kuliah di luar negeri. “Ya Allah, aku seneng banget bisa bertemu dengan kamu, Mel. Eh, ya sudah ayo mari masuk semua.” “Terima kasih.” Imel pun dibantu oleh beberapa rekannya untuk menaruh produk yang akan dipasarkan Anissa, bahkan Refal sudah membelikan peralatan pemasaran yang lebih canggih ketimbang milik Anissa. Dia pun membelikan lemari guna menyusun produknya dengan rapi. “Anissa, ini semua pemberian dari Pak Refal dia itu bos besar kami di sana. Apa kamu sudah tahu dengan dia?” Anissa mengangguk. Dia tidak ingin mengetahui lebih dalam tentang sosok Refal sebab Anissa hanya ingin fokus bekerja tidak ada hal lain selain itu. “Oh iya, kenapa kamu langsung diterima kerja sama dia? Maksudku, apa sebelumnya kamu sudah melamar kerja beberapa lama gitu?” tanya Imel, dia begitu penasaran. Setahunya, dia tidak pernah melihat nama Anissa yang mendaftar sebagai karyawan baru. Anissa menggeleng. “Justru, aku ditawari sama dia, Mel. Dan, mau tidak mau aku harus mau bekerja sama dia.” “Hah, semudah itu? Kamu tahu gak, tipe kayak dia itu susah menerima karyawan baru. Apalagi, belum dikenal itu jauh lebih susah masuknya, Nis.” Terpaksa, Anissa pun menceritakan kejadian dari awalnya ditabrak oleh Refal sampai harus membayar dengan sebuah pekerjaan dengannya. “Apa? jadi, kamu bekerja lewat jalur musibah?” Imel ternganga seperti tidak percaya dengan cerita sahabatnya itu. “Iya. Memangnya kenapa?” “Duh, nih ya asal kamu tahu itu tuh sangat jarang terjadi di Perusahaan Anggara. Kamu tah, dulu sebelum aku jadi sekretaris dia itu masuknya susah banget, bahkan ada tes fisiknya juga. Uh, pokoknya lebih deh dari tes cpns. Untung aja, aku ikut bela diri sewaktu sekolah. Jadi, aku tuh masih bisa melampaui tes itu,” jelas Imel. Menurutnya, kasus seperti Anissa sebagai karyawan perusahaan besar itu sangat langka. Bahkan, menurut Imel justru yang lebih salah adalah dipihak Anissa yang lebih ceroboh sampai tidak sengaja Refal menabraknya. “Masa sih? Memangnya, seperti apa sih kantornya? Kok, aku jadi penasaran begini sih?” “Ya sudah, besok kamu ke sana aja. Apa mau sekalian berangkat sama aku?” Anissa tersenyum lalu sedetik kemudian menggeleng. “Aku kan akan bekerja dari rumah dulu, Mel.” “Lho, kenapa? Semua karyawan Pak Refal, memang ada yang bekerja dari rumah. Tapi, dua kali seminggu tetap kok disuruh ke kantor,” sahut Imel dengan penasaran. “Aku kan, masih masa iddah. Dan, aku pun sudah di acc sama dia. Jadi, 2 bulan ke depan aku akan bekerja dari rumah dulu. Nanti, setelah itu aku akan ke kantornya,” jelas Anissa. Imel membulatkan kedua bola matanya. “Maksudmu, kamu habis ….” Imel tidak ingin melanjutkan, dia tidak bermaksud untuk mengorek-ngorek masalah yang sedang sahabatnya rasakan. Anissa menghela napas. “Iya, Mel. Aku baru saja bercerai dengan suamiku.” Mulut gadis berkuncir tinggi itu pun ternganga, lalu segera ditutup dengan kedua tangannya. “Ya ampun, Nis. Maaf ya, aku gak tahu kalau kamu habis bercerai sama suami kamu. Kalau boleh tahu, kamu nikah sama siapa? Apa, aku kenal sama orangnya?” “Iya, kamu sangat mengenalnya. Dia itu Aris Kristiar, ketua tim basket di sekolah kita.” “Apa? Jadi, Kak Aris yang dulu jadi dambaan adik kelas? Tapi kok, dia sampai menceraikan kamu, Nis? Maaf ya Nis, maksudku kamu itu kan perempuan baik dan setahuku kamu itu hampir mendekati sempurna sebagai perempuan.” “Kamu ini, semua manusia itu punya kekurangan dan kelebihan. Tapi ….” “Tapi apa, Nis?” Anissa pun mulai menceritakan semua yang terjadi pada dirinya. Sampai, dia pun tak mampu membendung air matanya di depan sahabatnya sendiri. Imel pun segera memeluk sahabatnya yang sedang menaruh luka yang begitu dalam. Tangannya mengelus kepala Anissa yang tak terasa dia pun ikut menangis. Dia paham, sebagai perempuan hati mana yang tidak menanggung rasa perih saat suaminya justru memilih perempuan lain terlebih sahabatnya sendiri. “Duh, maaf ya Mel. Masa kita baru ketemu langsung membahas masalahku ini.” Anissa mengelap air matanya. “Justru aku senang, berarti kamu masih menganggapku sebagai sahabat kamu. Ya sudah, benar apa kata Pak Refal kamu harus bisa bangkit biar mereka tahu rasa kalau kamu itu bisa tanpa Aris.” Anissa mengembangkan senyum yang terukir di bibirnya. “Ya, Mel. Eh, maaf aku jadi lupa gak kasih kamu minum. Sebentar ya, aku buat minum dulu.” Beberapa lama kemudian, mereka pun melakukan siaran live untuk memasarkan produk milik Refal. Imel sebagai sekretaris Refal pun tidak menyangka sebab penjualan dengan Anissa laku dengan keras sampai 2000 pcs padahal live hanya satu jam. “Gila! Ini sih keren banget, Anissa. Aku gak nyangka, followers kamu itu banyak juga. Eh tapi, ini pertama kali kamu menampilkan wajahmu yang sebenarnya ya?” “Iya, Mel. Semua nasihat dari Pak Refal aku coba pakai. Dan, ternyata hasilnya memuaskan.” Imel sampai geleng-geleng kepala melihat orderan yang begitu membanjiri e-commerce milik Perusahaan Anggara di mana Anissa berperan sebagai host. “Gak salah sih, Pak Refal menerima kamu yang memang memiliki bassic brilian. Ini nih, kalau sebulan stabil, bahkan naik penjualannya kamu bisa mendapatkan gaji besar, Anissa.” Sementara di rumah kediaman milik Aris Kristiar, ada seorang perempuan yang masih berleha-leha di dalam kamar dengan ranjang empuknya. Jemarinya aktif bermain sosial media, sampai menemukan video Anissa terpampang nyata di akun real Perusahaan Anggara yang perempuan itu ikuti. “Gak mungkin, ini pasti bukan Anissa. Mana mungkin, dia jadi brand ambassador perusahaan tas terkenal itu?” Emi memperbesar layar ponselnya itu, hingga menampakkan wajah Anissa. “Benar! Tapi, mana mungkin seorang Anissa bisa menembus ke brand terkenal itu? Ini pasti ada yang gak beres, nih!” Jemari Emi menekan tombol komentar. Dan anehnya, di sana banyak yang nge-fans dengan Anissa sampai memuji kecantikannya. “Argh…!” Gadis itu melempar ponsel yang masih di lingkaran ranjang empuknya. “Sial! Kenapa dia sampai bekerja dengan perusahaan terkenal itu? Ceo itu kan kalau gak salah seorang pengusaha muda? Apa jangan-jangan Anissa berusaha mendekati Ceo muda itu? Dasar, bukan aku doang yang gatel ternyata dia lebih gatel dari apa yang aku kira!” Kedua perempuan itu pun kembali mengobrol santai selepas dari acara live itu. Namun, entah mengapa jemari Anissa memegang kepalanya yang terasa semakin berat. Tak lama kemudian, Anissa pun pingsan. “Lho, Anissa? Kamu kenapa?” Imel menepuk pipinya, tetapi tidak mendapat respons sedikit pun. Gadis itu pun panik dengan keadaan Anissa yang mendadak pingsan. Akhirnya, dia pun membawanya ke rumah sakit untuk mengecek sahabatnya itu yang tiba-tiba pingsan. “Duh, Anissa kamu ini ada-ada aja sih. Baru saja kita bercanda masa kamu sudah pingsan begini sih? Aku kan, jadi khawatir begini.” Imel pun berusaha fokus untuk menyetir sampai ke rumah sakit. Beberapa lama akhirnya Anissa pun terbangun dari pingsannya yang secara mendadak. “Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nis?” “A-aku di mana, Mel? Kenapa, kepalaku terasa berat banget tadi?” “Ibu Anissa, Anda mengalami vertigo yang berat tadi sehingga mungkin tadi kepala Anda begitu sakit sampai pingsan. Kalau boleh saya tahu, apakah yang diderita Anda saat ini? Apakah, ada masalah besar sampai membuat vertigo Anda naik 3 kali lipat?” Anissa menggeleng, jemarinya masih memegang kepalanya. “Anissa, kamu kenapa sih? Masih memikirkan Aris? Sudah deh, kamu lupakan saja dia. Toh, kamu akan menemukan nanti yang akan lebih baik. Sekarang, kita fokus dalam satu partner, ya.” Anissa mengangguk lalu memegang tangan sahabatnya itu. “Terima kasih ya, Mel. Aku tidak akan melupakan orang sebaik kamu.” “Sama-sama. Oh, iya Dok teman saya perlu di rawat inap enggak?” tanya Imel. “Ibu Anissa tidak terlalu parah sakitnya. Dia hanya membutuhkan istirahat yang cukup dan hindari berpikiran yang negatif berlebihan. Sambil menunggu lebih pulih, saya buatkan resep obat dulu ya.” Selang lama kemudian, Imel pun menuntun Anissa untuk menuju ke tempat parkir. Namun, saat mereka hendak berbelok dari lorong tidak sengaja menabrak seorang gadis di depannya sampai barang bawaan gadis itu tercecer ke bawah. Dia adalah Emi, istri dari mantan suaminya. “Ma-maaf, saya tidak sengaja.” Emi mendongak saat melihat Anissa dipapah oleh seorang gadis. “Emi?” “Anissa?” Sebagai orang yang bersalah, Anissa pun berusaha menunduk untuk mengambil barang bawaan Emi yang tercecer ke bawah walaupun kepalanya masih sangat berat. Ekor matanya melirik sebuah kertas yang bertuliskan ‘usia kandungan 3 bulan’ sontak membuat kedua bola mata Anissa membulat. “3 bulan?” Netranya pun melihat ada bekas tespek di dalam amplop yang sudah terbuka. “Ka-kamu sudah hamil, Em?” tanya Anissa dengan kedua alisnya yang terangkat heran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN