Lelaki itu beranjak dari duduknya, sorot matanya menatap tajam ke arah Anissa yang semakin berjalan mundur. Dia pun melangkah lebih mendekat ke arahnya, dengan satu ayunan tangan kanannya telah mendarat di dagu manis perempuan itu.
“Mau apa, Anda? Lepaskan!” Anissa memberontak dengan kuat, rasanya tidak etis saat masa iddah berduaan di dalam suatu ruangan bertindak yang lebih dari sebatas yang semestinya.
“Anda terlalu menilai saya secara berlebihan. Jadi, Anda itu terbawa sama bodohnya sama seperti Aris.”
“Ya sudah, cepat katakan apa maumu? Anda ke sini pasti ada tujuannya, kan?”
Lelaki itu pun kembali mendudukan pantatnya di atas sofa minimalis itu.
“Kemauan saya cukup mudah dan sangat menguntungkan bagi Anda. Jadi, Anda bisa bekerja dengan saya. Bagaimana, mudah bukan?”
Anissa menghela napas, dia sudah berkelana di dalam otaknya melihat lelaki yang berbadan tinggi, kekar, dingin, jutek sudah paket komplit membuat perempuan itu semakin bergidik ngeri.
Namun, dengan penghasilan dari sosial media saja perempuan itu sudah lebih dari kata banyak sebab dia pun tidak memiliki tanggung jawab besar dengan siapa pun. “Tapi ….”
“Pakai tapi, berarti Anda siap dengan bayaran kedua. Apa Anda siap?”
Anissa memejamkan matanya. “2 bulan lebih saya akan fokus di rumah. Jadi, bagaimana saya bekerja dengan Anda? Apa, saya menunggu 2 bulan lagi?”
Refal menyunggingkan bibirnya. “Enak saja! Anda pikir, itu perusahaan nenek moyang Anda? Tidak semudah itu, kau harus bekerja setiap hari.”
“Mana bisa? Saya tidak akan keluar rumah walaupun pergi bekerja. Dan, saya pun merasa dengan apa yang saya miliki sudah lebih dari cukup.”
“Anda yakin dengan ketenaran di media sosial akan selalu menghasilkan? Anda lupa, punya musuh bebuyutan istri suami Anda sendiri? Yakin, setelah mereka tahu nama Anda tenar, lalu dia akan diam saja?”
Anissa mengerutkan keningnya. Dia memang tidak pernah memikirkan risiko apa pun saya berkarier di dunia maya dengan bentuk apa pun.
Benar juga apa yang dikatakan lelaki ini. Tapi, apa iya Emi setega itu denganku?
“Sangat tega! Bahkan, suamimu juga diembat kan sama dia?”
Anissa mendongak. “Lho, kok Anda bisa menjawab isi pikiran saya?”
Refal menggeleng dengan tatapan yang remeh. “Anissa … Anissa … saya sudah menemukan banyak kasus perempuan seperti ini. Jadi, jangan menganggap saya ini remeh. Lagian, saya juga tidak akan mempekerjakan Anda di kantor.”
“Lalu, saya akan bekerja di mana?”
“Anda cukup di rumah saja. Apa, Anda lupa bassic Anda itu menjadi aktris di selebgram sebagai conten creator. Jadi, saya akan menempatkan Anda untuk mempromosikan produk milik saya. Bagaimana, mudah kan apa yang saya minta?”
Huh, cuma buat promosi produk aku juga bisa. Ya sudah deh, aku ambil kerja sama dia hitung-hitung bayar kebaikan dia yang sudah menyelamatkan harga diriku.
“Oke. Saya mau bekerja dengan Anda,” ucap Anissa dengan tegas.
“Silakan, hari ini kamu mau live, kan? Oh, iya mulai sekarang saya akan memanggil namamu. Dan, jika sudah menjadi partner kerja saya anti dipanggil dengan sebutan ‘Anda’ apa kamu bisa memahami aturan semudah itu?”
Anissa mengangguk paham.
Dia pun berjalan menuju ke kamar utamanya untuk mengambil peralatan yang akan diadakan saat live nanti. Namun, ada satu hal yang membuat Anissa risi yaitu live tidak sendirian melainkan disuruh Refal berada di depannya.
Awalnya Anissa menolak keras, akan tetapi justru Refal memaksa yang dijadikan sebagai interview kerja. Jadi, mau tidak mau dia harus berani melakukannya.
“Segini doang alatnya?” ejek Refal yang hanya melihat ponsel dan penyangganya.
“Iya. Memangnya kenapa?”
“Gajimu di sana berapa? Peralatan kumuh seperti ini tidak cocok untuk produk saya,” ejek Refal.
“Anda bisa gak sih, gak usah banyak komentar? Saya rasa dengan kegunaannya masih sama tidak masalah,” elak Anissa.
“Kamu lupa sudah bekerja dengan saya?”
“Iya, maaf Pak Refal.”
“Ya sudah, buruan saya mau melihat kemampuan Anda secara langsung,” pinta Refal.
Anissa berdecak malas. Tangannya menuntun untuk memposisikan ponselnya yang pas dengan tripodnya. Namun, dalam keadaan dilihat lelaki lain apalagi berwajah dingin, tangannya sampai gemetar sehingga dia tidak bisa fokus dengan baik sampai beberapa kali ponselnya hampir jatuh.
Ya ampun, ini kenapa dari tadi handphone jatuh terus sih. Dia buta apa gimana sih? Udah tahu aku kesusahan, masa gak dibantu sedikit pun.
Anissa menggerutu sendiri, hingga ia pun dapat melihat senyuman sinis dari bibir Refal yang terpantul dari cerminnya. Perempuan itu pun berusaha semampu mungkin untuk tidak meminta bantuan sedikit pun dengan Refal.
“Menata kamera aja sampai setengah jam, kamu ini sebenarnya conten creator kelas berapa sih? Saya tidak mau, kau asal-asalan mengatur produk saya,” ejek Refal.
“Pak Refal yang terhormat, saya juga butuh konsentrasi dalam mengatur kamera. Seperti yang Pak Refal katakan tadi, jadi saya tidak bisa asal-asalan,” tangkis Anissa.
“Kamu berani melawan saya? Saya ini bos kamu, jadi mulai sekarang apa yang saya katakan harus kamu patuhi tanpa kamu melawan. Saya paling tidak suka ada karyawan yang membantah, jika kamu merasa tertekan bekerja dengan saya akan saya ganti yang lain!”
Anissa menghela napas dengan kasar, rasanya dia ingin sekali mencakar wajah Refal yang dingin dan jutek itu.
“Eh, jangan Pak. Sa-saya akan mematuhi perintah Pak Refal. Besok saya akan ganti peralatannya yang lebih canggih.”
“Ya sudah, ayo buruan saya mau lihat kamu ngoceh di depan kamera bukan di depan saya.”
“Iya Pak, sebentar ya saya mau ganti baju dulu.”
“Hmm.” Refal membuka ponselnya kembali.
Perempuan itu yang sudah melangkah pun melirik lelaki itu kembali.
“Kenapa?” Refal mendongak saat merasa diintai perempuan itu.
“Pak Refal bisa keluar dulu?”
“Kamu pikir saya akan mengintip kamu? Tidak level bagi saya perempuan seperti Anda.”
Anissa pun kembali ke kamarnya dalam keadaan menggerutu dengan bosnya itu. Selama Anissa bekerja, dia tidak pernah berurusan langsung dengan bos besarnya. Jadi, dia sangat terkejut ternyata berhubungan dengan bos langsung tidak seenak apa yang dia bayangkan.
“Ternyata dia itu dingin, angkuh, keras kepala banget ya. Kalau aku ganti selain bekerja dengan dia, aku takut justru malah lebih menekan dari pada ini. Duh, apa semua bos kaya raya melakukan karyawannya seperti ini ya?”
“Ah, sudahlah. Yang penting kan, dia gak main tangan. Lebih baik, aku jalani dulu bekerja sama dia.” Anissa merapikan hijabnya di depan cermin cembungnya.
Padahal, selama ini Anissa tidak pernah menampakkan wajahnya di depan kamera dalam bentuk foto maupun video. Live streaming dan promosi apa pun ia edit dengan video tanpa menggunakan wajahnya.
“Lho, kenapa aku deg-degan banget ya? Dan, kenapa rasanya aku ingin tampil cantik? Kan sudah tahu, aku kalau live pun tidak menampakkan wajahku?” Jemarinya merapikan hijab yang melambai-lambai di atas. Rasanya, ia selalu kurang dalam kerapian tubuhnya.
Perempuan itu pun keluar dari kamarnya menggunakan jas putih berhijab kuning terang, sehingga aura wajahnya begitu terpancar sempurna. Dia tidak bermaksud untuk hal negatif, tetapi sebagai pekerja dia akan berpenampilan serapi mungkin.
Refal pun dapat melihat aura positif dari perempuan itu. Oke juga penampilannya. Perfect!
Tanpa menunggu lama, Anissa pun segera menyalakan kamera dengan metode tampilan gambar yang sudah dipersiapkan. Lalu, dia pun berusaha enjoy menyapa dengan penggemarnya yang masih setia walaupun dia belum menampakkan wajahnya.
“Lho, kenapa wajahmu tidak ditampilkan? Ini kan live?”
“Iya, Pak. Apa Pak Refal tidak lihat beberapa video saya kalau saya memang tidak menampakkan wajah saya di sana.”
Refal mengerutkan kening, padahal menurut dia Anissa tipe wanita yang memiliki aura yang baik juga tidak jelek-jelek amat. “Kenapa?”
“Niat saya kan dulu bukan jadi artis selebgram. Tapi, memang penggerak semangat untuk perempuan-perempuan di sana.”
“Ya sudah, mulai sekarang kamu harus tampilkan wajahmu di sana. Apa kamu tidak ingin menampilkan aura kebahagiaanmu untuk penggemarmu yang mungkin merasakan hal apa yang sudah kamu rasakan? Gak lucu dong, kalau kamu live produk saya tidak memunculkan wajahmu?”
Iya juga ya, aku kan kerja sama dia sebagai conten creator yang memasarkan produk. Tapi, aku takut jika ….
“Kenapa, takut suami dan sahabatmu itu tahu kalau kamu itu sukses dalam bidang konten beginian?”
Anissa mengangguk.
“Kamu ini jangan bodoh seperti mereka. Tunjukkan aura bintang kamu, Anissa. Saya yakin, kamu itu bisa berbangkit dan tunjukkan pada mereka kalau kamu itu bisa dan layak bahagia daripada mereka. Saya sudah lihat beberapa komentar di sana, mereka ingin melihat wajah dan aura bintangmu.”
“Tapi, Pak sa—”
“Tidak ada tapi-tapian. Ya sudah, live kali ini yang terakhir kamu tidak menampakkan wajahmu. Besok, saya akan bawa produk testi. Dan, sapa penggemarmu untuk pertama kali dengan menampilkan keceriaanmu! Jadi, kamu boleh bodoh dalam hal percintaan. Tapi, jangan mengorbankan kariermu hanya karena takut sama mereka!”
Anissa pun mulai menyapa penggemar dan membagikan tips keceriaan yang membuat hidupnya tenang dan semangat. Beberapa pertanyaan pun sudah mereka ajukan lalu Anissa langsung menjawabnya dengan baik sampai membuat Refal terkagum, padahal baru saja ia membentak dan menasihatinya dengan keras, tetapi perempuan itu masih pintar menyembunyikan rasanya.
Padahal, wajahnya tidak tertampak di kamera. Coba, kalau penggemarmu melihat aura kebahagiaanmu pasti mereka ikut senang.
“Oke, saya tertarik dengan ketenangan kamu di depan kamera. Mulai besok, kamu akan dibantu oleh sekretaris saya. Jadi, selama masa iddah kamu berada di sini sampai nanti tanda tangan kontrak di kantor saya. Apa kamu bisa mengerti, Anissa?”
“I-iya, Pak. Saya mengerti.”
“Ya sudah, kalau gitu saya permisi.” Refal pun melangkah keluar rumah itu.
Refal melepas kacamata hitam sebelum menyetir mobilnya. Saat ini, aku sudah mengikat dia dengan bekerja denganku. Sepertinya, dia akan membawa keberuntungan besar bagiku.