Liam menoleh ke belakang begitu mendengar sesuatu yang berdebam cukup keras di belakangnya, dan wajah itu langsung menunjukkan raut terkejutnya ketika melihat Eve yang tak sadarkan diri.
“Eve,” Liam langsung memangku kepala Eve di pangkuannya, ia menepuk pipi itu pelan, berharap gadis yang ada di pangkuannya memberikan respon. Namun yang ia dapat hanya wajah pucat tanpa reaksi dari Eve. Ia segera membawa Eve, menggendong gadis itu dan berlari menuju lift agar segera sampai di unit mereka.
“Eve, kau bisa mendengarku? Kenapa kau selalu membuat diriku khawatir?” ujar Liam dengan wajah cemasnya, ia segera berlari begitu lift tiba di lantai unitnya.
Ia membuka pintu apartemennya dengan kasar, dan langsung menuju kamar Eve, meletakkan dengan pelan tubuh gadis itu yang kini sudah dipenuhi oleh peluh, Liam berlari menuju kamarnya untuk mengambil peralatannya.
“Bukankah sudah kukatakan untuk berhenti mengonsumsi coffee, gadis nakal.” Liam menghembuskan napas panjang setelah mengetahui keadaan gadis itu, asam lambung gadis itu naik, namun bukan hanya itu pemicunya, gadis itu juga dehidrasi, Liam yakin gadis itu akhir-akhir ini menghabiskan waktunya di lab dan berkutat dengan bahan-bahan kimia. “Dan berhentilah bekerja terlalu keras untuk penelitianmu.” Liam menyingkirkan anak rambut yang menutupi kening gadis itu, dan perlahan entah sejak kapan, bibir Liam telah mendarat di kening Eve, menyampaikan bagaimana perasaannya kepada gadis itu, bagaimana ia menyayangi gadis itu dan mengkhawatirkan gadis itu setiap saat, menyampaikan permintaan maaf karena hanya memberi luka pada gadis itu, permintaan maaf karena tidak bisa menjaga janjinya untuk selalu melindungi gadis itu dan membunuh siapa saja yang membuatnya menangis.
“Jadi apakah aku harus membunuh diriku sendiri yang telah membuatmu menangis dan banyak melukaimu Eve?”
Gadis itu terjaga saat dini hari, ia menoleh ke samping dan melihat seseorang yang kini telah berstatus sebagai suaminya, seseorang yang begitu ia cintai terlelap dengan posisi duduk sambil menggenggam tangannya. Haruskah ia bahagia? Haruskah ia sakit setiap saat agar Liam selalu ada di sampingnya dan merawatnya? Tatapannya nanar, beberapa hari ini ia selalu terbangun tengah malam, memikirkan tentang semuanya, haruskah ia mengakhiri semua ini? Haruskan ia membiarkan Liam bersama Allisya? Bahkan saat gadis itu memikirkannya ia selalu merasa sesak, entah mengapa hatinya mengatakan jika ia meninggalkan Liam bersama Allisya, ia akan membuat neraka penderitaan untuk Liam , ia tidak yakin Allisya akan membahagiakan Liam dan merawat pria itu. Selama ini ia tau apa yang Allisya lakukan, sejak mereka bertemu dan memutuskan untuk bersahabat Allisya selalu memeras Liam perlahan-lahan, bahkan setelah menjadi kekasih Liam, wanita itu meminta ini dan itu kepada Liam , dan Eve merasa jika Allisya tidak tulus mencintai Liam, gadis itu hanya memanfaatkan Liam untuk kepuasannya akan barang-barang mahal.
Eve tersenyum, tangannya perlahan menuju surai pria yang kini terlelap di hadapannya, ia membelai surai itu dengan gerakan lambat agar tidak membangunkan Liam, ia lupa kapan terakhir kalinya melihat Liam sedekat ini, dulu Liam sering tertidur di pangkuannya karena lelah dengan jadwal operasi yang begitu padat, namun pria itu selalu menjemput Eve di kampus dan selanjutnya mereka akan membuat makan malam di apartemen Liam dan berakhir dengan Liam yang tertidur di pangkuan Eve.
“Liam aku merindukanmu,” Eve berujar lirih, tersenyum dalam tangisnya, berharap agar Liam membuka hati untuknya, belajar untuk mencintainya. Bolehkah ia meminta seperti itu kepada Tuhan?
***
Pagi itu Liam bangun lebih awal dari Eve, ditatapnya wajah damai Eve yang diam-diam begitu ia rindukan, Liam tersenyum dan membelai rambut Eve sebelum memutuskan untuk membuat sarapan untuk gadis itu, ahh tidak ia akan menggunakan delivery, ia yakin jika ia memasak, maka makanan itu tidak layak untuk dimakan.
Selagi menunggu delivery, Liam memutuskan untuk membersihkan dirinya, kebetulan hari ini ia mendapat sift siang di rumah sakit, setidaknya ia bisa memantau Eve dan memastikan keadaan gadis itu.
Eve terbangun saat mencium bau harum yang menusuk hidungnya, ia mengerjapkan matanya beberapa kali, melirik jam di atas nakas dan menghembuskan nafasnya lelah, setidaknya hari ini ia tidak ada jadwal bimbingan, lagi pula ia merasa tubuhnya belum begitu sehat. Eve mengikat rambutnya menjadi satu ke atas, menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya, dan menuju ke dapur, saat di pintu dapur ia melihat Liam yang sedang menata beberapa makanan di meja makan.
“Kau memasak?” Tanya Eve mendekati meja makan.
“Ahh Eve, kau sudah bangun? Duduklah dan makan bubur abalon ini, aku baru saja membelinya di restoran depan.” Liam tersenyum dan menarik kursi ke belakang untuk duduk Eve, membuat gadis itu balik tersenyum.
“Terima kasih,” Eve tersenyum, sesaat ia merasakan kembali hangatnya sikap Liam yang begitu memperhatikannya.
“Makanlah yang banyak.” Liam memberikan semangkuk bubur abalon itu kepadanya, ia juga mengambil satu mangkuk untuk dirinya sendiri.
Setelah sarapan, baik Liam maupun Eve tidak memiliki kegiatan, mereka hanya menonton variety show pagi, tanpa adanya percakapan, sesekali Eve melirik ke arah Liam , yang ia yakin Liam juga tidak menikmati acara itu.
“Apa kau tidak ke rumah sakit hari ini?” Tanya Eve memulai percakapannya.
“Ahh, aku akan ke rumah sakit nanti siang, mungkin aku akan pulang malam. Apa kau sudah merasa lebih baik?” Tanya Liam kembali.
“Ahh ya. Berkat dirimu. Terima kasih.” Eve tersenyum, membuat Liam juga ikut tersenyum.
“Berhentilah mengonsumsi coffee, dan makanlah tepat waktu.” Liam berujar tegas tak terbantahkan, membuat Eve mengangguk patuh. “Ke mana?” Tanya Liam melihat Eve yang beranjak dari sofa.
“Membersihkan apartemen tentu saja. Apalagi?” Eve mengerutkan keningnya bingung, saat Liam ikut beranjak dari sofa dan menggenggam tangannya.
“Hari ini biar aku yang melakukannya, kau istirahatlah.”
“Ya?” Eve lagi-lagi dibuat bingung dengan perilaku Liam .
“Aku baik-baik saja, kau tidak perlu melakukan pekerjaan rumah tangga.” Eve merasa tidak enak hati, bagaimana pun itu adalah tugasnya sebagai istri.
“Jangan membantah. Istirahatlah. ”Liam lagi-lagi berujar tajam tak terbantahkan.
“Baiklah, aku akan duduk di sini menemanimu. Maaf.” Ujar Eve menunduk, ia memilih kembali duduk di sofa dan menemani Liam , sedangkan pria itu hanya menghembuskan nafasnya panjang. Gadis itu benar-benar keras kepala.
Liam mulai membersihkan ruang tamu menggunakan vacum cleaner, berkali-kali Eve beranjak untuk membantunya, namun saat itu juga ia mendapatkan tatapan tajam dari Liam .
“Aku akan membereskan kamar, itu bukan pekerjaan yang berat.” Ujar Eve lagi-lagi memohon untuk membantu Liam .
“Baiklah. Aku akan membantumu, kau memang keras kepala.” Perkataan Liam membuat Eve tersenyum, dengan semangat gadis itu menggandeng tangan Liam , dan menuju kamar Liam terlebih dahulu.
Liam hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Eve. Dan tepat saat pintu kamar Liam terbuka, tubuh Eve membeku, kembali mengingat bagaimana Allisya dan Liam yang b******u di sana, dengan tanpa dosanya mereka membagi ranjang yang seharusnya menjadi hak Eve, dan mereka menyalurkan perasaan masing-masing melalui nafsu dengan b******u di kamar itu, hati Eve sekali lagi merasakan sakit mengingat kejadian itu.
“Ada apa?” Tanya Liam bingung melihat Eve yang membeku tepat di depan pintu kamarnya, tatapan gadis itu juga kosong dan, sarat luka. “Eve, kau baik-baik saja?” Tanya Liam sekali lagi mengguncang bahu gadis itu, membuat Eve tersadar, dan tersenyum canggung.
“Tidak apa-apa. Ayo.” Ujar Eve masih dengan senyum terpaksanya.
“Istirahatlah jika kau masih merasa sakit,” Liam melihat ke dalam mata Eve dengan tatapan kekhawatiran.
“Aku baik-baik saja.” Eve langsung memasuki kamar Liam dan merapikan selimut serta bantal yang berserakan, sedangkan Liam membuka gorden yang memang sejak pagi tidak ia buka, karena semalam ia tertidur di kamar Eve.
“Liam, aku akan membersihkan kamarku sendiri. Kau bisa membersihkan dapur.” Eve mencegah Liam yang akan menuju kamarnya, dan Liam hanya bisa mengangguk, ia menghormati itu sebagai bentuk privasi untuk Eve.
***
Waktu sudah menunjukkan jam dua siang, dan Eve benar-benar merasa bosan tidak melakukan aktivitas apapun, Liam sudah pergi sejak jam makan siang, dan selama dua jam itu yang ia lakukan hanya berdiam diri di ranjangnya. Memainkan ponselnya, membuka akun SNS miliknya. Dan satu pesan masuk di ponselnya.
-Eve, kau baik-baik saja? Kenapa hari ini kau tidak ke kampus?-
Itu pesan dari Dareen, Eve tersenyum, dan segera mengetik balasan untuk pria itu.
-Ohk. Asam lambungku naik –
-Apa? Astaga? Bagaimana kau bisa ceroboh hingga asam lambungmu naik? Aku akan ke apartemenmu sekarang-
Dareen membalasnya tidak sampai satu menit, dan Eve membulatkan matanya saat membaca pesan pria itu jika ia akan ke apartemennya.
-Dareen, kau tidak perlu ke apartemenku, aku sudah baik-baik saja, Liam telah merawatku-
Balas Eve, namun pesan itu tidak kunjung dibaca oleh Dareen, kemungkinan besar pria itu dalam perjalanan menuju apartemennya.
Dan benar saja, lima belas menit kemudian, seseorang menekan bel apartemennya, Eve segera beranjak dari ranjang dan membuka pintunya.
“Kau baik-baik saja?”
Wajah khawatir Dareen yang pertama kali ia lihat begitu membuka pintu, pria itu memegang kedua bahu Eve dan meneliti keadaan gadis itu secara menyeluruh.
“Aku baik-baik saja, seharusnya kau tidak perlu ke sini. Lagi-lagi aku merepotkanmu.” Eve melepaskan tangan Dareen yang berada di bahunya.
“Eiyyy siapa yang merasa direpotkan, aku benar-benar khawatir padamu.” Dareen tersenyum tulus, dan mengikuti gadis itu masuk.
“Duduklah , aku akan membuatkan minum untukmu.” Dareen mengangguk sambil mengamati interior apartemen itu.
“Apa kau tidak memiliki kesibukan hari ini?” Eve bertanya setelah meletakkan orange juice di hadapan Dareen.
“Ohk. Hari ini aku hanya bertemu dengan Profesor Jo untuk mendiskusikan riset kami.” Eve hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Dareen. “Kau masih merasakan sakit?” Dareen kembali menunjukkan raut wajah khawatirnya, membuat Eve tersenyum dan gadis itu menggeleng, mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Dan obrolan mereka berlanjut bahkan tidak terasa waktu yang telah berjalan lama hingga malam menjelang, Eve bertanya banyak seputar riset untuk tesisnya, dan Dareen tanpa bosannya menjelaskan kepada gadis itu secara mendetail hingga malam menjelang.
“Aahh, kita sudah banyak menghabiskan waktu, bahkan kini langit sudah berubah gelap,” ujar Eve yang baru menyadarinya. “Aku akan membuatkan cokelat panas untuk kita, dan setelah ini kau harus pulang.” Eve menatap tajam seolah-olah marah kepada Dareen, membuat Dareen terkikik geli.
“Baiklah-baiklah, apa seperti ini balasanmu kepada seseorang yang telah membimbingmu? Ck ck ck,” Dareen menggelengkan kepalanya, membuat ekspresi kecewa yang mengundang gelak tawa Eve, karena pria itu gagal melakukannya, dan justru ekspresi anehlah yang mampir di wajahnya.
“Awww,” teriakan Eve di dapur membuat Dareen langsung berlari, ia melihat gadis itu yang berjongkok memegangi pergelangan kakinya.
“Astaga. Bisakah sekali saja kau tidak ceroboh Evelyne?” Dareen telah berjongkok di depan gadis itu, dan melihat pergelangan kaki gadis itu yang lebam.
“Aku juga tidak sengaja.” Eve menundukkan kepalanya menyesal.
“Apa kau bisa berjalan?” Tanya Dareen, Eve mengangguk dan mencoba berdiri, namun ia kembali jatuh, beruntung Dareen dengan sigap menangkapnya.
“Aku akan memapahmu ke ruang tamu, dan mengobati lukamu, sepertinya kakimu lebam.” Eve hanya mengangguk pasrah, dirinya memang selalu ceroboh, ia mengakui itu.
Saat mencapai ruang tamu, Eve merasa tubuhnya terhuyung karena Dareen melepaskan pegangan tangan di pinggangnya.
“b******k. Apa yang kau lakukan pada istriku.” Dan seketika Eve mendelik terkejut melihat Dareen yang telah tersungkur di lantai karena pukulan Liam , Liam yang terlihat begitu marah, bahkan pria itu kembali akan melayangkan pukulannya pada wajah Dareen.
“Liam. Berhenti.” Ujar Eve menghentikan aksi Liam. Ia mendekati Liam dan memeluk pria itu dengan jalan terpincang. “Dia hanya menolongku, kumohon jangan salah paham .” Eve memeluk erat Liam , namun sorot mata pria itu masih menunjukkan amarah.
“Pergi dari rumahku sekarang Dareen!!!” Teriak Liam , membuat Dareen menatapnya tajam, Eve melihat ke arah Dareen dengan tatapan memohon, berharap pria itu mau mengalah dengan emosi Liam yang sedang memuncak.
“Maafkan aku.” Ujar Eve lirih dengan sorot mata bersalah pada Dareen, Dareen yang melihat sorot mata itu hanya bisa menghembuskan nafas lelah dan mengalah, ini demi kebaikan Eve.
“Kau harus mengobati kakimu.” Ujar Dareen lirih sebelum benar-benar pergi.
Setelah Dareen pergi, Liam langsung melepaskan pelukan Eve membuat gadis itu kehilangan keseimbangannya dan terjatuh hingga merintih sakit. Liam melihat ke arah Eve dan menatapnya tajam.
“Apa yang kau lakukan dengan pria itu berdua saja di apartemen? Ingat Eve. Kau sudah bersuami.” Walau kesal Liam tetap menggendong Eve menuju sofa, memperhatikan kaki gadis itu yang membiru.
“Dia hanya menjengukku , dan membantuku mengerjakan tesis, tidak ada apa-apa di antara kami, percayalah.” Eve menatap Liam dalam, namun pria itu tidak menanggapinya justru meninggalkan Eve menuju kotak obat dan kembali lagi mengobati kaki gadis itu dalam diam. “Liam katakanlah sesuatu, kau membuatku takut.” Eve menggenggam tangan Liam yang tengah mengobati kakinya, membuat pria itu menatap ke arahnya.
“Baiklah, aku percaya padamu, tapi jangan pernah lagi menerima laki-laki itu di apartemen kita.” Eve mengangguk senang, walau Liam berujar penuh penekanan.