Kini jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, Eve menyesap coffee ke tiga yang ia buat malam ini, mata itu sudah terasa berat bahkan tubuhnya terasa lelah, namun ia tidak ingin tertidur, ia ingin memastikan jika Liam pulang malam ini.
“Ya, Liam pasti pulang malam ini.” Gumam Eve lirih. Dan sepertinya harapan gadis itu terkabul, tak berapa lama ia mendengar suara pintu apartemen dan juga suara Liam yang berbicara pada Allisya, senyum tipis itu terukir di bibir pucat Eve. Ia segera keluar kamar untuk menyambut suaminya, walaupun suaminya pulang bersama wanita lain.
“Liam,” panggil Eve melihat Liam dan Allisya yang baru memasuki apartemen.
“Apa yang kau lakukan? Bukankah aku menyuruhmu untuk tidak menungguku?’”Ucapan tajam Liam yang akhir-akhir ini selalu ia dengar seolah sudah menjadi hal yang biasa sekarang.
“Aku hanya ingin memastikan suamiku pulang malam ini, dan tidak menghabiskan malamnya di hotel bersama gadis murahan” Ucapan Eve membuat Liam menggeram dengan wajah memerah. Tangannya begitu ringan melayangkan tamparan pada wajah Eve.
“Siapa yang kau sebut murahan? Mulutmu benar-benar kotor, ternyata bukan hanya sifatmu saja yang membuatku muak.” Eve menatap Liam tak percaya, pria itu baru saja menamparnya. Benarkah? Dan perlahan tanpa bisa dicegah satu persatu butiran air mata itu membasahi wajahnya, Liam juga tidak percaya dengan apa yang telah ia lakukan, itu hanya refleks karena Eve berani mengatakan Allisya murahan.
“Kau benar-benar jahat Liam.” Setelah mengucapkan itu Eve berlari ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan kasar. Sedangkan Allisya tersenyum licik, ia sengaja menjadi pihak yang tidak melawan saat di depan Liam , ingin melihat bagaimana kesakitan yang Eve alami karena berhasil merebut kebahagiaannya bersama Liam .
Liam menatap nanar pintu yang telah tertutup rapat itu dan melihat telapak tangannya yang sedikit memerah, lalu bagaimana dengan pipi gadis itu? Dan Liam benar-benar merutuki kebodohannya, tidak seharusnya ia menampar Eve seperti itu.
“Liam,” panggil Allisya dengan suara lirih hampir menangis, seolah ia memang benar-benar menjadi pihak yang hampir tertindas. “Hatiku sakit mendengar Eve mengucapkan kata-kata seperti itu padaku.” Dan kini gadis itu terisak memeluk Liam .
“Tidak apa-apa, aku yang akan menjamin gadis itu tidak akan mengatakan hal seperti itu lagi.” Suara Liam begitu menenangkan, namun pikiran pria itu masih terus diliputi oleh Eve, perasaan bersalah dan menyesal kini menghantuinya.
***
Eve masih terdiam dengan pandangan kosong di ranjangnya, sakit karena tamparan Liam masih begitu terasa, namun hatinya bahkan lebih sakit dengan perlakuan pria itu.
Sudah sejak dua jam yang lalu Liam mencoba untuk memejamkan mata, namun nyatanya hingga detik ini pria itu belum bisa melakukannya, pikirannya masih dihantui oleh wajah terluka Eve yang begitu menyiksanya. Bahkan dulu ia paling benci melihat Eve yang terluka, namun sekarang dialah yang melukai gadis itu. Ia menatap telapak tangannya sekali lagi, dan benar-benar merutuki tindakannya pada Eve tadi.
“Eunghh,” lenguhan Allisya membuat Liam menoleh ke samping, gadis itu tidur dengan begitu nyenyak di sampingnya, memeluk pinggangnya begitu erat. Ia teringat dengan alasan Eve menunggunya pulang, karena takut jika Liam benar-benar tidak pulang dan justru menghabiskan malamnya bersama Allisya. Bahkan Liam tidak pernah membayangkan untuk menghabiskan malam bersama gadis itu. Dia bukan tipe pria yang meniduri wanita lain, sedangkan wanita itu belum terikat resmi dengannya, kolot memang, namun Liam tidak ingin memberikan sesuatu yang seharusnya menjadi hak istrinya, sejak berhubungan dengan Allisya yang dilakukan pria itu tidak lebih dari sebatas b******u, dan jika ia harus menginap di apartemen Allisya, yang dilakukan mereka tidur dalam artian yang benar-benar tidur tanpa melakukan apapun.
Hujan di luar masih berlangsung dan suara petir yang menyambar membuat Allisya semakin mengeratkan pelukannya pada Liam , gadis itu juga menarik selimut hingga batas dadanya. Dan listrik yang padam menambah suasana malam itu semakin mencekam.
“Ashh kenapa listrik harus padam di saat seperti ini.” Liam menggerutu kesal, pria itu juga melakukan hal yang sama dengan Allisya, menarik selimut hingga batas leher dan memeluk erat Allisya.
Di kamar lain yang juga terlihat begitu gelap karena listrik yang padam, seorang gadis merangsek hingga ke ujung head board ranjang, gadis itu menarik selimut begitu erat bahkan mencengkramnya, keringat dingin membasahi wajahnya begitu banyak. Dan perlahan rintihan itu mulai terdengar. Sejak kecil Eve memang phobia dengan kegelapan, gadis itu bahkan tidak bisa bertahan lama di tempat gelap atau dirinya akan pingsan, ia merasa sulit bernapas saat di tempat gelap, tidak bisa melihat apapun dan rasanya ingin mati.
“Hhhhh,” Eve menekan dadanya yang terasa sesak, ia seolah sulit untuk menghirup oksigen saat gelap, Eve merintih bahkan nafasnya sudah tersendat-sendat, ia berusaha mencari ponselnya yang entah sejak kapan ia lupakan, keadaan ini benar-benar menyiksanya.
Liam belum juga bisa tertidur, ada sesuatu yang mengganjal di hati pria itu, tentang gelap, ia seolah mempunyai sesuatu yang sangat penting untuk diingat, namun otaknya dengan lamban meresponnya.
“Astaga! Evelyne.” Liam langsung terlonjak dari tidurnya, ia teringat gadis itu yang phobia gelap. Tanpa mempedulikan Allisya yang terusik dengan tidurnya, ia berlari menuju kamar Eve dan membuka kencang pintu gadis itu.
“Eve,” panggil Liam dengan nada kekhawatiran yang begitu jelas, ia mendekati ranjang Eve dan semakin jelas mendengar rintihan gadis itu. “Eve,” dan dalam satu sentakan Liam langsung membawa gadis itu dalam pelukannya, ia menyalakan light pada ponselnya dan bisa melihat tubuh gadis itu yang bergetar hebat. “Tidak apa-apa, aku di sini, aku di sini Eve,” Liam semakin erat memeluk Eve, nafas gadis itu masih terasa sesak.
“Aku takut.... aku takut... bawa aku keluar dari kegelapan ini Liam ,” Eve berkata parau, gadis itu masih memukul-mukul dadanya yang terasa sesak, kembali teringat dengan masa kecilnya yang membuat ia phobia dalam kegelapan.
“Maafkan aku... maafkan aku Eve,” Liam mencium puncak kepala gadis itu, merasa bersalah dengan phobia yang dimiliki Eve, ini semua karena kesalahannya, saat mereka lulus dari JHS Liam mengajak Allisya dan Eve untuk menjelajah hutan, namun karena mereka masih remaja, dan karena sebuah keteledoran, Eve terpisah dari rombongan, gadis itu tersesat di tengah hutan sendirian, bahkan hingga pagi menjelang, dan entah apa yang dialami gadis itu, saat pagi harinya mereka menemukan Eve yang sudah tak sadarkan diri.
“Sesak Liam , keluarkan aku dari sini tolong... tolong,” Eve menarik-narik baju Liam. Membuat pria itu semakin erat mendekap tubuh ringkih dalam rengkuhannya.
“Aku di sini Eve, jangan takut, bukankah aku cahayamu, aku yang akan menjadi cahayamu, tenanglah.” Liam berulang kali mencium puncak kepala Eve, mengusap punggung gadis itu dengan gerakan teratur hingga ia mendengar nafas teratur gadis itu, Liam melepaskan pelukannya dan melihat wajah damai Eve yang terlelap. Pria itu menghapus jejak-jejak air mata di wajah Eve dan membaringkan tubuh itu perlahan.
“Maaf jika aku menyakitimu terlalu dalam, aku hanya belum bisa menerima pernikahan ini, dan entah aku bisa menerimanya atau tidak.” Liam menggumam memandang wajah polos di hadapannya, ia mengusap pelan wajah Eve dan beranjak dari sana, namun sebuah tangan menahannya. Liam menoleh dan melihat Eve yang menggenggam tangannya, namun mata gadis itu tetap terpejam.
“Jangan pergi,” gumam Eve dalam tidurnya, membuat Liam mengurungkan niatnya untuk pergi, dan akhirnya memutuskan untuk berbaring di samping gadis itu, namun ia merasa ini hal yang sedikit berbeda, padahal nyatanya setiap Eve mengalami hal seperti ini, Liam akan selalu menemaninya, dan ini bukan pertama kalinya ia tidur di samping gadis itu, pernah beberapa kali Liam tidur bersama Eve untuk menenangkan dirinya yang masih terpukul setelah insiden di hutan itu, Eve selalu menggumamkan kata takut dan Liam hanya akan memeluknya hingga gadis itu tertidur, beruntung rumah mereka yang berhadapan dan kedua orang tua mereka juga tidak mempermasalahkan hal itu, mereka percaya kepada anak-anaknya, namun dengan status dan keadaan mereka sekarang membuat semua rasa itu berubah.
***
Liam mengerjapkan matanya dan melihat Eve yang masih terlelap, ia baru ingat semalam tidur di kamar gadis itu untuk menemaninya, dan Liam memilih bangun walau bisa dibilang ini masih cukup pagi, sebelum Allisya menyadari jika dia tidak tidur bersamanya semalam. Dan begitu ia sampai di kamarnya, ia melihat wanita yang ia cintai itu masih tertidur dengan posisi yang membuat Liam terkekeh, ia mendekati Allisya dan menjepit hidung gadis itu dengan ibu jari dan telunjuknya, membuat Allisya mengerang pelan dan memukul tangan Liam kesal.
“Bangun sayang, bukankah kau bilang hari ini kau ada perjalanan bisnis ke Jepang untuk satu minggu ke depan?” Bisik Liam seduktif di telinga Allisya, membuat gadis itu menggumam tak jelas.
“Give me five minutes Liam Hwang.” Ujar Allisya menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, Liam langsung kembali menyibak selimut itu, dan mencium bibir Allisya, melumatnya penuh nafsu, biasanya ini yang dilakukan Allisya jika Liam tidak juga kunjung bangun, dan sekarang Liam hanya meniru apa yang dilakukan Allisya, ternyata ini begitu menyenangkan. Bibir itu terus melumat dan menjelajah mulut Allisya, membuat sang empunya menggeliat dan mengalungkan tangannya di leher Liam .
“Eunghh...” Allisya mendesah saat Liam mulai mencium cuping telinganya dan menggigit kecil lehernya, ia menekan kepala pria itu dan menjambak rambut Liam untuk menyalurkan hasratnya.
“Oke. Enough, aku tidak bisa melakukan lebih dari ini, cepat mandi, atau kau akan ketinggalan pesawat” Ujar Liam membuat Allisya merengut kesal.
Di sisi lain, Eve baru saja terjaga dari tidurnya, gadis itu tidur cukup nyenyak semalam, ia merasa Liam memeluknya, namun harapan itu pupus saat ia terbangun seorang diri, mungkin harapannya terlalu tinggi jika Liam mau tidur dengannya, pria itu datang saja sudah beruntung, setidaknya pria itu menepati janjinya untuk selalu ada di saat kegelapan itu hadir di sekitar Eve.
Gadis itu beranjak dari ranjang, mengikat rambutnya menjadi satu dan mulai melangkahkan kakinya menuju dapur untuk memulai aktivitasnya hari ini. Saat ia melintasi kamar Liam yang memang bersebelahan dengan kamarnya, ia mendengar pembicaraan Liam dan Allisya yang begitu menarik perhatiannya.
“Kenapa? Kenapa kau tidak ingin berhubungan lebih dari ini denganku? Kita sepasang kekasih dan saling mencintai, tidak ada yang salah jika kita melakukannya?” Liam menghembuskan nafas panjang, sudah kesekian kalinya hal yang sama ditanyakan gadis itu.
“Aku belum mengikatmu dalam ikatan yang resmi Allisya, dan aku tidak mau merusak dirimu, ini demi kebaikanmu.” Ujar Liam menangkup wajah gadis itu, dan mencium kilat bibir Allisya.
“Apa kau akan melakukannya dengan Eve? Bukankah kau sudah mengikatnya? Dan kau akan meninggalkanku?” Ujar Allisya terisak kecil, kepala gadis itu menunduk, ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi.
“Sayang, dengarkan aku, itu tidak akan terjadi, aku tidak mengikatnya, ini adalah sebuah paksaan, kau lupa? Aku tidak akan menyentuhnya, aku hanya mencintaimu, dan setelah aku berhasil menceraikan Eve aku akan segera menikahimu dan kita akan membangun keluarga kecil kita.”
Dan di balik pintu bercat putih itu, seorang gadis berusaha menahan mati-matian air matanya, ia mengepalkan tangannya kuat di sisi-sisi tubuhnya, berharap yang ia dengar bukanlah kenyataan, kata-kata itu begitu menusuk hatinya dan mencabik-cabiknya, bahkan saat di pagi hari pun pria itu tidak pernah berhenti memberikan kesakitan padanya. Apakah rasa sayang itu benar-benar berubah seketika menjadi rasa benci yang begitu besar bagi Liam ? Tidakkah pria itu mengingat bagaimana persahabatan mereka selama belasan tahun.
Perlahan tubuh itu mundur tertatih, menjauhi kamar itu, gadis itu kembali menuju kamarnya dan meraung dengan mulut yang ia bekap sendiri. Bahkan ia tidak pernah membayangkan akan bercerai dengan Liam, ia tidak sanggup, tidak akan. Ia hanya ingin mempertahankan pria itu di sisinya. Tidak bolehkah ia egois? Ia hanya ingin kesempatan itu datang, kesempatan saat Liam membuka hati untuknya, bahkan sekecil apapun peluang itu, ia ingin mendapatkannya, ia hanya ingin merasakan kebahagiaan yang mungkin hanya sedikit ia rasakan sebelum hatinya benar-benar sanggup untuk melepaskan pria itu dan kebahagiaannya, jika nyatanya kebahagiaan pria itu bukan bersamanya.
Semua perkataan menyakitkan Liam selama ini dan fakta yang ia dapatkan pagi ini menjadi hantaman keras untuknya, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan itu, sahabat? Eve sanksi dengan kata itu. Bagi Eve tak ada lagi kata sahabat dalam hidupnya, semua adalah kedok mereka untuk menghancurkannya perlahan-lahan. Bahkan belum lama ia menjadi istri Liam, namun sudah begitu banyak kesakitan yang ia dapatkan, mungkinkah di masa depan akan lebih banyak lagi kesakitan itu, di satu sisi ia ingin melepaskan semua beban yang membelenggu hatinya, namun sudut hati kecilnya berteriak jika ia tidak akan hidup lebih baik tanpa Liam, pria itu yang telah menjadi porosnya, pusat rotasi kehidupannya, pria itu yang mengenalkan arti cinta dan kesakitan mencintai sekaligus, dan apa yang harus ia lakukan jika semuanya harus seperti ini, jika perjuangannya untuk mendapatkan hati Liam berakhir dengan kesedihan karena pria itu yang meninggalkannya, mampukah ia menjalani hidup dengan baik setelahnya, membayangkannya saja sudah membuatnya sesak nafas.
“Aku akan terus bertahan hingga hati ini berontak untuk meninggalkanmu jika sudah terlalu banyak kesakitan yang kau torehkan, namun selama hati kecilku masih menginginkanku berada di sisimu, aku akan bertahan sejauh apapun kau akan menyaikitiku nantinya.”