Gratissimum

2106 Kata
Satu minggu kemudian. Var dan Akio ikut ke bandara untuk mengantar keluarga Baek yang ingin berangkat ke luar negeri untuk liburan. Biasalah namanya juga orang kaya. Walau tak ada di antara sahabat terdekatnya yang bersedia diajak ikut serta dalam perjalanan menyebalkan yang tak pernah "kebanyakan" anggota keluarganya harap ini. Baek tetap berjanji bahwa ia akan membawa oleh-oleh untuk Var juga Akio saat pulang nanti. Oh, sungguh teman yang baik. “Kenapa sih lo nggak mau ikut aja sama jalan-jalannya si Baek?” tanya Var saat keduanya sedang dalam perjalanan kembali di dalam taksi, “Padahal bagus kalau bisa buat cari pengalaman juga. Gratis ini, 'kan.” Ia melanjutkan, “Kasian tau si Baek. Ngegalau lagi entar dia di padang bersalju malah bikin video klip lagi.” “Judulnya Alleine täuschen (bahasa Jerman yang berarti Menggalau Seorang Diri),” sambung Akio cekikikan sendiri. “Habis itu terjun ke jurang dia,” timpal Var ikut cekikikan. “Khi khi khi. Jangan, lah. Entar nggak ada yang bayarin akomodasi nongkrong dan menikmati masa muda gue lagi, dong,” balas Akio geli. “Taik lu emang, Ki,” balas Var. “Gak, lah. Gue ini nggak suka udara dingin, Var. Pengen ke Korea Selatan pas musim panas aja mikir dua kali. Boro-boro ke Swiss pas musim dingin,” jawab Akio serius, "Gaya hidup gue yang sejak lahir di negara panas ini tentu gak bisa disamain sama Baek yang sejak kecil gak pernah ngerasain hidup susah." “Lo inget nggak kejadian tahun baru sebelumnya?” tanya Var. Rautnya kini ikut serius. “Sengaja nunggu Baek pergi buat ngomongin itu, ya? Itu dosa terbesar gue, sih,” jawab Akio. Keheningan menerpa situasi keduanya. “Katanya para siswa SMA Swasta Spebius udah pada kerja dan punya jabatan tinggi. Kalau begitu sekolah mereka bakal gimana belajarnya?” tanya Akio. “Sekolah kasih fleksibilitas buat yang kerja. Kalo pengangguran malah bakal dirundung. Makanya gue harus cepet dapet kerja dan tetap berpenampilan gaya,” jawab Var. Keduanya duduk di bangku belakang. “Yang sekolah di SMA Swasta Spebius kan para anak orang kaya. Mungkin persiapan biar setelah lulus bisa langsung jadi pewaris perusahaan, ya,” tebak Akio drama Korea abis. “Yang sekolah di SMA Swasta Spebius itu nggak semua anak orang kaya juga lho, bro,” sanggah Var. Ia melanjutkan, “Biasanya anak orang yang mampu bakal masuk lewat jalur biasa dengan tes kayak gue. Ada juga anak-anak biasa yang berusaha masuk dengan cari beasiswa kayak Ariy,” beritahunya. “Kalo orang kaya mau cari beasiswa apa bisa?” tanya Akio. “Kalo punya duit mending nggak usah ambil beasiswa SMA Swasta Spebius, lah. Syarat dan ujiannya ribet banget anjir. Orang sepinter dan seberbakat gue aja rasanya bisa kena vertigo kalau ikut ujian itu,” jawab Var sok mendramatisir. “Ternyata Ariy sehebat itu, ya. Kenapa waktu SMP posisi nilai dia ada di bawah lo, ya?” tanya Akio sambil asyik memegang dagu. “Pak, saya turun di sini aja,” pinta Var tiba-tiba pada supir taksi. “Ciyee, yang pertama kali ngantor,” ledek Akio. Sebagai DJ, kalau boleh jujur kerjaan impian gue sebenernya adalah staf kantoran. Gak ada hubungannya emang. “Gue minta tolong doain gue, ya,” pinta Var dari luar kendaraan. Akio mengerjapkan sebelah matanya mantap. “Siap, bro.” ……. Setelah mengganti pakaian di toilet SPBU. Var segera menuju gedung kantor tempat yang akan ia magangi berada. Dari luar gedungnya tampak sangat mewah dan bersahaja. Tidak heran. Perusahaan ini adalah pemilik SMA Spebius sekolahnya. Var sudah siap untuk memulai pekerjaan. Dengan penampilan paling baik. “Perkenalkan, saya Kiranti, Kadiv Personalia. Mulai hari ini kamu akan magang di divisi saya. Ingat apa posisi kamu?” tanya dara muda itu. “Staf magang,” jawab Var. “Hasil tes kamu cukup memuaskan. Saya harap kamu tidak melakukan kesalahan apa pun. Kalau kamu bisa bekerja dengan baik. Bukan tidak mungkin kamu akan direkrut ke perusahaan ini,” beritahu Kiranti. “Saya sangat menantikan hal itu,” balas Var diiringi senyuman optimisme. Saat tengah dalam perjalanan menuju divisinya. Var melihat sosok yang tampak tak begitu asing. Penampilannya sangat kasual dengan menggunakan topi, kaus, dan celana jeans. Sedikit berbeda dengan aturan dress code kantor yang ia pahami dari puluhan lembar rules yang telah ia baca. “Maaf, Bu. Yang barusan lewat itu siapa, ya?” tanya Var. “Oh, itu Pak Jin Ma. Jarang datang ke kantor dia. Beruntung kamu bisa melihatnya di hari pertama,” jawab Bu Kiranti. “Jarang datang ke kantor. Di perusahaan yang peraturannya dua ratus tiga puluh sembilan lembar kertas A4 ini. Memang dia siapa, ya?” tanya Var lagi. Bu Kiranti menghentikan langkah. Tep. “Bu Kiranti?” tanya Var. “Kantor ini, perusahaan ini, adalah dunia yang berbeda dengan dunia yang telah kamu pelajari sepanjang hidupmu. Sekali masuk ke sini kamu akan berada di sisi lain. Dunia yang sangat berbeda dengan yang ada di luar sana. Dengan yang selama ini kamu jalani dan lewati. “Gratissimum (Selamat datang),” jawab Kiranti. TANGGUNG JAWAB dan Profesionalisme.  Ia jadi bertanya-tanya. Aduh, apa keputusan yang ia ambil ini benar, ya? Ia mengikuti seleksi magang di perusahaan Æthernal Corp. karena masih terbelenggu oleh rasa penasaran terhadap para SUP. Apakah SUP SMA Spebius memiliki hubungan dengan mereka? Yang paling penting bahkan… apa mereka berhubungan dengan Ayahnya? Semua itu masih sebuah tanda tanya yang belum ada jawabannya. Petunjuk akan jawabannya saja belum ada. Selama magang di kantor Æthernal Corp. Var telah berusaha menyelidiki hubungan perusahaan itu dengan PT. Valuable Kanpeki milik ayahnya. Sama sekali tak ada. Ia malah melihat rivalitas cukup tajam di antara mereka dalam beberapa perebutan tender pemerintah juga aneka proyek senilai megatriliun. Persaingan yang benar-benar sengit. Intinya ia tak melihat keterlibatan apa pun antara ayahnya dan Ariy yang bisa membuat mereka terlihat begitu akrab. “Zzzhh! Sungguh buat gelisah,” rutuknya sambil mengerjakan suatu laporan perekrutan pegawai di computer kantor. “Var!” panggil seorang pegawai dari sebelah kubikel. “Iya, Mas,” sahut Var. “Cepet bikinin kopi!” perintah pegawai itu seenak udel. Tidak pakai kata tolong lagi. Ia menjawab, “I, Iya, Pak.” Sambil berjalan ke pantry dengan langkah gontai. Var merutuki para pekerja yang ada di divisinya. Posisinya adalah staf percobaan. Tapi, setiap hari malah disuruh yang bukan-bukan. Memijat. Buat kopi. Buat teh. Buat Pop Mie. Buat mie instan. Beli makan siang. Ngepel lantai. Masangin lampu. Bersihkan debu. Dan lain-lain yang mana semua itu tak diimbangi dengan berkurangnya pekerjaan. Tugas yang harus ia selesaikan terus bertambah, bertambah, dan bertambah sampai menumpuk tak bisa dikontrol. * “Ciee, anak Ayah lembur,” ledek sang ayah tadi malam. “Di kantor Ayah apa kayak gini juga?” tanyanya setengah keteteran. Ini melebihi tingkat kesulitan tugas-tugas sekolahnya yang sudah demit itu. “Jangan suka banding-bandingin kantor orang deh, Var. Kebijakan kantor Æthernal sama kantor Valuable Kan- jelas beda. Jalani aja sesanggup kamu,” jawab Val santai, “Kalau udah nggak sanggup cobalah lambaikan tangan ke kamera.” * “Honestly ini sudah cangkir kopi kedelapan yang gue buat hari ini,” gerutu Var lagi. Sampai-sampai ia ingin sekali masukkan sianida atau racun tikus ke dalam cangkir. Eh, tidak, tidak, tidak. Bukan begitu maksudnya. Ia belum mau jadi pembunuh kontroversial melegenda. Seorang office boy masuk sambil mendorong kereta baki yang digunakan membawa minuman dan makanan. “Mas, kalau magang di sini memang akan diperlakukan seperti ini, ya?” tanya Var pada office boy tersebut. “Kalau kerja memang begini, Dek. Jangan pikir karena Adek Spebiuzer (julukan untuk para murid SMA Spebius), maka Adek akan diperlakukan secara istimewa, ya,” beritahu mas-mas itu, “Ini dunia profesional.” “Saya nggak berpikir kayak gitu,” balas Var. “Adek pasti berpikir begitu kalau Adek protes dengan perlakuan mereka,” nasihatnya lembut. Dengan senyum ramah. “Dunia profesional itu di mana yang kuat berkuasa.” “Hukum rimba, dong?” tanya Var. “Itulah kata paling dekat yang tepat merefleksikan profesionalisme,” sahut si office boy. “Terima kasih, Mas. Saya kembali dulu,” ucap Var cepat-cepat bereskan meja. Di perjalanan menuju ruang divisi. Var berpapasan dengan pemandangan sekumpulan wanita yang mengerubungi seseorang. Lagi-lagi ia berpikir mengenal orang itu. Tapi, rasionalitas kadang menepis bisikan hati nurani. ……. Sudah jam lima sore. Sudah waktunya pulang. Var membereskan meja dan bersiap untuk kembali. Hari ini hanya delapan gelas kopi dan empat gelas teh yang ia buatkan. Ia sudah siap melanjutkan pekerjaan di rumah. “Waktunya bikin teh buat diri sendiri,” dendangnya ceria sambil membuat teh celup. “Adek masih di sini?” tegur seorang office boy. Ah, mas-mas yang tadi. “Iya, Mas. Ini mau minum teh dulu biar nggak ngantuk di perjalanan,” jawab Var seraya menyeruput tehnya. “Kebetulan sekali. Saya minta tolong kamu antarkan kopi ini ke ruangannya Pak Jin Ma,” pinta office boy tersebut. “Boleh aja, sih. Pak Jin Ma itu sendiri sebenernya siapa, sih?” tanya Var penasaran. “Maaf ya, Dek Var, saya buru-buru. Kamu lihat saja sendiri orangnya siapa,” jawab si office boy. Dan pergilah office boy bernama Leonardo itu. Ia sendiri merasa ini kesempatan bagus untuk buktikan prasangka yang selama ini menggelayut dalam jiwa. Apa ia sungguh mengenal orang bernama Jin Ma itu… ataukah tidak. Yang mana? “Ruangan Pak Jin Ma itu ada di lantai sembilan belas, ya,” pikirnya sambil menekan tombol lift. Di depan ruangan yang tengah ia tuju menempellah sebuah plat berwarna emas mengkilat dengan tulisan: Kim Jin Ma. Var membatin, apa dia orang Korea, ya? Miris sekali orang asing malah jadi pejabat di kantor milik pribumi. Dunia sungguh tak adil. Ia meminta izin menemui Jin Ma pada sekretarisnya yang seorang laki-laki usia pertengahan dua puluhan mungkin. “Kamu taruh di sini saja!” jawab sekretaris berwajah sinis itu jutek itu sambil menggebuk permukaan mejanya. Dak dak dak. Aakh, padahal dikit lagi gue bisa ketemu. “Boleh tidak saya bertemu dulu dengan Pak Jin Ma?” tanya Var berusaha seramah mungkin. Kesan pertama pada sekretaris ini sudah kurang baik. Sepertinya ia bukan orang yang mudah diajak bicara. Sekretaris itu mengangkat wajahnya. “Memang kamu ada keperluan apa? Ada kepentingan apa? Kamu pikir Pak Jin Ma itu nganggur gitu ya sampai bisa ketemu sama pegawai magang nggak penting kayak kamu? Ngaca, dong, ngaca!” tanyanya sengak sambil menghadapkan telapak tangan kanan ke wajahnya sendiri. “Ah, iya, kalau begitu tolong maafkan saya, Mas, maksudnya Pak,” ucap Var sambil menundukkan wajah pasrah. Ia benar-benar awam dalam dunia ini. Dunia professionalism. Dunia hukum rimba di mana hanya yang kuat yang berkuasa. Dan yang lemah mati aja sana. Sleet. Tiba-tiba pintu ruangan Pak Jin Ma terbuka. Seorang pria dengan kerah atas kemeja terbuka berlari dari dalamnya. Apakah ia adalah… Jin Ma? Dua mata Var nanar menatap sosok lelaki yang sangat necis itu. “Mas Padma, sudah waktunya saya harus pergi,” beritahu Kim Jin Ma dengan nada tergesa. Sekilas ia tatap wajah Var. Setelah itu langsung melengos. Var langsung memacu langkah untuk ikuti pria itu yang buat mereka terjebak di dalam lift hanya berdua. Kesempatan seperti ini tak akan datang dua kali. Sebuah kesempatan emas11 “Permisi, Pak,” basa-basi Var berusaha membuka percakapan. Kim Jin Ma itu tak merespon. Di lantai sebelas, segerombolan pegawai menyerbu masuk. Semakin batasi jaraknya dan Kim Jin Ma. Pegawai-pegawai itu langsung asyik bertegur sapa dengan Kim Jin Ma tanpa sedikit pun perdulikan keberadaannya yang hanya bisa nyempil di pojokan. Aahhh. ……. Dalam perjalanan pulang. Var tak mengikuti rute yang biasa ia ambil untuk pulang menuju kediamannya sendiri. Di tengah jalan ia berbelok menuju sebuah gedung. “Mbak Pratista, tolong ya, saya mau ketemu Ayah!” Var meminta pada sekretaris pribadi ayahnya. “Pak Val masih ada urusan, Dek,” tahan Mbak Pratista sekuat tenaga. Pada Var yang memaksa masuk ke ruang kerja ayahnya. Di kantor magang ditolak. Di kantor bokap sendiri ditolak. Menyebalkan! Ia hanya bisa membatin berusaha menahan kesal. Mbak Pratista kehilangan kendali. Var terus memaksa. Jgrek. Tibak-tiba pintu ruangan Val terbuka. Di dalamya ada pria itu bersama seorang pria. “Siapa ini, ya?” tanya pria itu dengan tatapan tajam menatap Val dengan sorot merendahkan. “Aha ha ha ha, maaf ya, Pak Kayana. Itu Var, putra tunggal saya,” jawab Val tetap menunjukkan profesionalitas tanpa batasnya. “Ya sudah. Urusan saya juga sudah selesai. Saya kembali dulu, ya. Terima kasih atas jamuan Anda, Pak Val,” ucap pria itu menunduk santun. Kelihatannya ia lebih muda timbang Val. “Sama-sama,” balas Val. Ditatap putra semata wayangnya tajam. “Apa yang kamu lakukan di sini?” pria itu bertanya tegas. Waduh, harapan anak remaja naif itu untuk mengorek informasi dari sang ayah sendiri tampak malah berujung petaka. Apakah yang akan terjadi selanjutnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN