Hari pertama Ujian Semester. Ketiga semprul yang saling bersahabat itu janjian untuk datang jauh lebih awal ke sekolah guna melakukan pelemasan sel otak. Semacam pemanasan untuk berpikir jauh lebih keras selanjutnya. Pukul lima pagi ketiga anak remaja laki-laki itu bertemu di gazebo sekolah nomor tujuh belas.
Karena salah memasang peringatan di gawainya. Baek tiba pukul empat tiga puluh pagi. Gedung sekolah masih sangat gelap bin kosong melompong. Hanya ada cahaya kehidupan serta kebaikan tampak dari masjid. Terlihat juga beberapa orang shaleh serta shalehah yang habis menunaikan subuhan berjamaah.
“Masih gelap di sekolah segede ini serem juga ternyata,” komentar Baek dengan kedua mata masih terkantuk-kantuk.
Setengah jam kemudian Akio tiba di tempat janjian mereka. “Bladala! Dateng duluan malah ketiduran lo. Payah.”
“Gue nggak tidur, anjir. Ini namanya penjernihan otak. Gue mengosongkan pikiran agar siap menerima informasi baru. Bisa juga disebut meditasi,” respon Baek tanpa membuka kedua mata.
“Terkadang lo banyak teori dah, Bek. Nggak bawa tas lu?” tanya Akio melihat ke sekeliling sahabatnya satu itu.
“Gue cuma bawa kartu ID buat absen,” jawab Baek belum membuka kedua mata.
“Nggak bawa makan siang juga?” tanya Akio lagi memastikan.
“Gue puasa untuk menyucikan hati serta pikiran,” jawab Baek dengan tampang tawadhu yang bisa membuat ukti-ukhti menjerit kegirangan merasa temukan calon imam terbaik.
“Gue juga lagi puasa, lho. Kok bisa samaan ya kita? Jangan-jangan kita jodoh lagi!?” pekik Akio dengan najongnya.
“Hari ini lo rada najis, Ki,” respon Baek malas.
Akio duduk santai di samping Baek. Diam-diam mencuri pandang melihat wajah tampan salah satu sahabat pertama yang pernah ia punya dalam hidup itu. Gue emang nggak salah. Baek itu anak yang baik banget. Andai cewek gue pasti jatuh cinta sama dia.
Eh, najong.
“Aku juga tengah menjalani ibadah puasa, wahai teman-teman,” ucap sebuah suara “ghaib”.
Kapan lo dating, a***y. “Nggak usah banyak cincong. Kita mulai acara kita pagi hari ini dengan berdoa. Ayat Kursi, mulai!” komando Baek.
Ketiga anak remaja itu pun melantunkan Ayat Kursi bersama-sama. Ini bukan kali pertama mereka begitu serasi. Pernah mereka secara tak sengaja ketemuan dan jalan dengan pakaian bergaya klasik. Terkadang bergaya kasual. Terkadang bergaya edgy. Terkadang pop. Terkadang lagi sok ngerock.
Beberapa anak SMP Negeri A1 sampai menjuluki mereka Geng Gehotetasepuymela alias Geng Geng Homo Teletubies Tanpa Seorang Pun Yang Mewakili Lala.
“Cita-cita lo apaan, Ki?” tanya Baek tiba-tiba sambil membaca buku.
“Waktu kecil cita-cita gue yang penting naik haji. Setelah masuk SMP cita-cita gue lulus SMP,” jawab Akio sambil mengerjakan beberapa soal latihan.
Basi banget. Eh, maksudnya, walau mulia, tapi kok begitu amat. “Kalo lo apa?” tanya Baek lagi pada sahabatnya yang lain.
“Jadi seperti Stephen Hawking atau Nikola Tesla. Mendedikasikan hidup demi kemanusiaan tanpa memikirkan cemoohan orang atau bahkan diri sendiri. Aku sangat ingin… jadi sepertinya,” jawab anak itu.
“Lo masih mau kawin, ‘kan?” tanya Baek dan Akio berbarengan. Cemas.
“Itu cita-cita jangka panjang. Yang terpenting saat ini adalah menyelesaikan S3 secepat mungkin,” jawab anak itu lagi.
“Pengen jadi ahli gizi gue,” kata Akio sambil menatap langit.
“Cita-cita yang unik. Biasanya anak seumuran kita cita-citanya jadi youtuber atau selebgram. Kita nggak ada yang biasa, ya,” celetuk Baek.
“Kau sendiri sejak dulu sangat terobsesi untuk menjadi seorang dokter,” ucap anak itu, “Itu juga bukan cita-cita yang biasa kan untuk anak remaja kekinian? Apalagi anak dengan intensitas pergaulan seperti dirimu.”
“Gue masih pengen jadi dokter. Tapi, jadi dokter itu lama banget sekolahnya. Terkadang gue mempertanyakan tekad gue sendiri. Kuat gak, ya? Bakal tahan gak, ya? Karena itu sebelum jadi dokter ada sebuah profesi yang pengen gue coba,” respon Baek sembari menyipitkan kedua mata.
“Apa?” tanya kedua sahabatnya.
“Disc Jockey,” jawab Baek tersenyum lima watt.
Deg. “Jadi DJ itu erat dengan kehidupan malam, Bek. Pesta, minuman keras, barang haram, dan semacamnya. Kalo s**l lo juga bisa kena amuk pelanggan yang mabuk maupun aksi anarkis tukang pesta lainnya. Lo tuh cocok jadi dokter aja udah. Jangan buang waktu untuk hal nggak guna,” nasihat Akio.
“Mengapa kau jadi seperti curhat, Akio?” tanya anak itu.
“Baek kan dari keluarga yang sangat terpandang. Lo cari informasi soal keluarganya di Google juga ketemu saking terpandangnya. Mending cari kerja yang baik-baik juga,” sanggah Akio, “Bukan berarti DJ nggak baik. Tapi, lo ngerti lah maksud gue.”
“Masa, sih? Gue pengen tetep nyoba jadi DJ. Keren aja. Kerja gitu doang. Dikelilingin cewek cantik dan seksi yang joget-joget dengan tubuh indahnya. Dari dulu gue mimpi bisa party sepanjang malam,” ucap Baek dengan mata berbinar.
Mimpimu seliar itu, tapi bersahabat dengan anak-anak culun seperti kami. Tidak akan terwujud, bodoh, batin anak itu dan Akio.
“Kenapa kau sangat ingin menjadi dokter?” tanya anak itu.
“Gue terinspirasi om dan tante gue,” jawab Baek.
“Maksudnya?” tanya Akio.
“Jadi, beberapa tahun lalu, waktu gue masih kecil keluarga besar gue itu pernah ngadain semacam reuni gitu lah di villa kakek gue yang ada di Swiss. Nah, tiba-tiba om gue minta izin pulang duluan karena ada masalah di rumah sakit tempat dia tugas. Kakek marah besar, dong. Sejak awal juga Kakek itu nggak pernah setuju ada anaknya yang jadi dokter. Tapi, om gue tetep nekat. Dia jadi dimusuhin sama Kakek, deh. Tapi, dia pasti nggak menyesali hal itu,” jawab Baek yakin.
“Aku tahu kejadian itu. Sebelas tahun lalu terjadi kecelakaan besar yang menimbulkan banyak korban di Jenewa. Karena tangki pembawa bahan bakar meledak di pemukiman warga,” ucap anak itu.
“Punya temen yang eidetic memory (memori fotografis) memang berguna buat mereview sejarah. Itu membuat gue sangat mengagumi profesi dokter,” kata Baek menundukkan wajah, “Lagian begini-begini juga gue punya otak yang lumayan pinter dan orang tua gue sangat kaya. Seharusnya nggak ada masalah untuk mewujudkannya.”
“Kalau udah sekagum itu mending jangan ditunda-tunda. Jadi DJ buang-buang waktu,” nasihat Akio menepuk punggung Baek. Walau terlihat percaya diri akan impiannya. Akio merasa Baek memiliki insecurity yang tak bisa ia ucapkan.
“Semangat ya, Dokter Baek!” ucap Akio dan satu sahabat mereka sambil mengangkat kepalan tangan ke udara.
Baek pun mengangkat lagi wajahnya. “Aha ha ha ha. Iya, gue memutuskan untuk jadi dokter aja, deh. Peduli setan dengan yang namanya DJ,” respon Baek. Meneguhkan tekad.
“Kalau lo sendiri mau ngambil kuliah apa?” tanya Akio pada sahabatnya yang lain.
“Sejak dulu aku selalu ingin jadi seperti Ayah. Kalau tidak teknik kimia, fisika, atau mungkin nuklir. Ah, yang pasti bukan nuklir. Aku tidak mau menikah terlalu cepat,” jawab anak itu.
“Berarti yang masa depannya belum jelas di antara kita gue doang.” Padahal gue yang paling normal diantara kalian, batin Akio sedih.
“Cita-cita itu kan doa. Bukan kepastian,” kata Baek menenangkan. “Jalan lo masih panjang. Gunakanlah jalan itu untuk merengkuh masa depan yang belum terbayangkan!”
Akio merinding disko mendengar Baek bicara seperti itu.
Plok plok plok. “Kata-katamu hebat sekali,” puji anak itu.
Jadi suka sok memotivasi. Ketularan Maz Rian. “Udahlah, pokoknya lo denger aja omongan gue. Anak dengan otak seencer kalian berdua itu haru masuk SMA Swasta Spebius!”
“SMA Swasta Spebius itu bukan kelas gue, anjir. Gue sama sekali nggak ada minat,” respon Akio datar.
“Aku juga demikian. SMA Swasta Spebius bagai hutan belantara yang menelantarkan para hewannya. Pergaulan di sana sangat keras dan ganas. Aku tak akan mampu menghadapi semua itu dengan jiwa yang rapuh ini. Aku tak ingin naif dengan mengambil jalan yang curam itu. SMA Negeri A1 saja cukup,” respon anak itu.
Hadeeehh…
“Kalian pernah memandang sesuatu rendah karena ada di atas?” tanya Baek.
“Aku memandang semua hal di dunia sama rata. Tanpa tinggi maupun rendah. Tanpa puncak gunung maupun ngarai,” jawabnya.
Peribaratannya mantap betul. “Kalau lo?” tanya Baek pada Akio.
“Mungkin gue ada di puncak gunung. Tapi, hati gue tetap terperosok jatuh ke dasar lembah. Itulah hidup gue,” jawab Akio puitis.
Ini lagi. “Kita ngomongin hal-hal kayak masuk SMA Negeri A1 maupun SMA Swasta Spebius dengan gampangnya. Padahal ada anak-anak yang mimpi buat masuk sekolah negeri terendah pun nggak berani,” ucap Baek.
“Setiap manusia punya sisi gitu, ‘kan? Kita nggak bisa hidup tanpa mikirin orang lain. Tapi, kalau terlalu dipikirin juga. Kelar hidup lo,” kata Akio.
Gue jadi ngerasa gak pantes nasehatin Maz Rian kayak gitu. Maz Rian itu puncak gunung. Sementara gue… hanya pemimpi yang berusaha mendakinya, batin Baek sendu.
“…”
“…”
“Kalau Ujian Sesmester kali ini lo turun peringkat rela nggak?” tanya Baek kemudian.
Tersenyum optimis anak itu menjawab, “Tidak akan pernah.”
Kelar hidup gue.
…….
Bel berbunyi. Karena tempat duduk siswa semuanya diacak. Mereka terpencar. Baek di ruang ujian 1. Akio di ruang ujian 6. Dia di ruang ujian 9.
“Ujian dimulai!” ucap guru pengawas di masing-masing kelas.