Baek tak menceritakan masalah yang tengah ia alami pada siapa pun juga bahkan kedua sahabatnya di sekolah kecuali hanya pada Maz Rian seorang. Adik sepupu sekaligus orang yang sangat ia benci dalam tanda kutip. Ia curahkan hampir seluruh waktu di rumah, di sekolah, bahkan di tempat nongkrong bersama dia dan Akio hanya untuk belajar, belajar, dan belajar saja. Ia tak mau tampil mencolok dengan tiba-tiba berubah jadi anak super rajin di depan dua sahabat yang selama ini mengenalnya sebagai anak pemalas slengekan saja. Ia berusaha menyesuaikan diri secara perlahan.
*
“Ujian Semester tinggal tiga hari lagi… tiga hari… tiga hari… tiga hari… tiga hari… tiga hari…” ulangnya berkali-kali sambil mengerjakan beberapa buah soal dari Maz Rian.
“Mending lu dzikir dah timbang ngulang kalimah kagak ada faedahnya gitu, bro,” nasihat Maz Rian.
Mendengar nasihat itu Baek pun bermanuver, “Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…”
“Jangan terlalu stress lah, Baek Sen Jo. Nanti yang ada lu malah jadi nggak bisa ngerjain soalnya sama sekali,” nasihat Maz Rian lagi. Khawatir melihat kondisi mental kakak sepupu sedarah dagingnya.
“Gue nggak stres… gue nggak stres… gue nggak stress… gue nggak stres… gue nggak stres… gue nggak stress…” respon Baek lirih.
Maz Rian menutup halaman buku yang tengah Baek kerjakan. “Santai aja, bro. Istirahat sebentar, yuk,” ajaknya ramah.
“Lo bisa ngomong gitu karena lo itu pinter, bangke!” geram Baek berusaha merebut lagi buku yang diambil oleh Maz Rian.
“Gue itu nggak sepinter yang lu bayangin, bro Sen Jo. Gue hanya… bisa lu bilang… sedikit beruntung masalah pelajaran,” balas Maz Rian kalem.
“Apa lo pernah mikirin perasaan dan perjuangan orang yang harus berusaha keras, Maz Rian?” tanya Baek datar dengan tatapan tajam. Orang yang sangat “sempurna” sebagaimana Maz Archerian Gala Gilga Mesha Halayuda mana bisa sih memahami perjuangan orang “biasa” seperti dirinya. “Gue jadi ngerti perasaan cewek itu,” pungkasnya, “Menghadapi seseorang seperti elu.”
Seorang pangeran yang nyaris serba ada. Berusaha mencari alasan untuk kekurangannya dengan kata keberuntungan.
“Yang penting sekarang lo udah tau kalau orang yang dalam tanda kuti sempurna kayak gue ini pun juga punya kekurangan,” balas Maz Rian santai, “Gue masih manusia normal, Sen Jo. Belum jadi nabi atau setengah dewa juga.”
Pada akhirnya Baek membaringkan tubuh di atas karpet. “Sori, ya. Gue emang lagi emosional aja karena hubungan sama Sabrina akhir-akhir ini naik turun,” balasnya sambil menutup kedua mata.
“Orang yang bisa emosional sama gue ya cuma elo,” balas Maz Rian santai seperti di pantai.
“Lo mau ke rumah cewek itu kapan?” tanya Baek.
“Habis ini,” jawab Maz Rian.
Tiba-tiba Tante Niydeia datang. “Anak-anak, ayo makan malam dulu!” ajaknya ramah.
Baek menjawab, “Makasih banyak, Dokter. Kebetulan saat ini saya lagi…”
Tante Niydeia berkata dengan senyum sumringah bertahta indah di wajah, “Sudah – Tante – MASAKKAN…” *terdengar dengan efek suara horror: GUNJRANG GUNJRANG GUNJRANG*.
“Matur sembah nuwun, Bulek. Saestu Mama sampun masak ning dalem. Kulo sinaune nggeh telas. Monggo Bulek, Maz Rian, nyuwun pangestu,” ucap Baek sambil membereskan tasnya. Ia tak ingin mengulangi pengalaman NDE (Near Death Experience) itu lagi.
Maz Rian mengernyitkan dahi. Ngomong apa dah ini orang.
…….
Sesampai di rumah Baek kehilangan seluruh nafsu makan. Padahal waktu mengerjakan soal Maz Rian rasanya lapar sekali. Mungkin gara-gara membayangkan rasa masakan Tante Niydeia yang sangat wadidaw itu. Jadi hilang semua selera.
“Maz Rian emang anak berbakti bener, dah. Udah pinter, berprestasi, anak berbakti, baik hati juga. Kalau dia… pasti bisa dengan mudah memenangkan challenge dari Mama.”
Haahhh.
…….
“Kalau nggak bisa ngalahin. Berjalan sejajar aja,” nasihat Maz Rian tadi.
“Jadi flawless (tanpa cacat) lebih susah daripada jadi the best (yang terbaik),” balas Baek.
“Soalnya selama ini lo di bawah minus!” balas Maz Rian. “Kalo Tante Olaf ngelakuin ini dari dulu. Gue yakin dapet nilai sempurna mudah buat lo. Di satu sisi lo memanjakan diri dengan kepercayaan bahwa lo mampu dan pintar. Di sisi lain lo membuang semua ekspektasi akan hal itu,” lanjutnya.
…….
“Membuang ekspektasi. Selama ini gue memang terlalu memanjakan diri gue sendiri. Pacar cakep, baik, nurut, nyenengin, bin nyaris sempurna. Punya rumah bagus cenderung di atas rata-rata. Orang tua yang sangat berada. Menempuh Pendidikan di sekolah yang elit punya. Tapi, pada akhirnya itu malah membuat gue jadi membiarkan semua berjalan datar tanpa memiliki harapan. Padahal gue punya kesempatan untuk jadi lebih baik.
“Terima kasih banyak ya, Maz Rian. Sudah menyadarkan gue akan hal yang selama ini telah gue sia-siakan. Gue buang tanpa jejak.”
Tok tok tok.
“Baek, sudah jam segini! Kamu sudah makan belum? Ayo kita makan malam dulu! Habis Mama buatkan menu favorit kamu, nih,” teriak mama Baek dari luar pintu kamar.
“Iya, Mama sayang!” jawab Baek semangat. Langsung keluar kamar dan memeluk mamanya. Terima kasih banyak juga, Ma. I love you Mama sayang, the best, tiada dua. Yang paling baik di atas dunia dan bawah langit. Muah muah muah1
“Lepas!” pinta mamanya risih. Bertanya, “Ngapain sih kamu? Kesambet apa kok bisa-bisanya tiba-tiba muji muji begini. Bikin geli aja.”
“Yaa… soalnya aku baru aja menyadari sesuatu yang paling penting dalam hidupku, Ma,” jawab Baek. Masih asyik bermanja-manja di tubuh sang mama yang beberapa centi lebih kecil darinya.
“Heh, Mama tidak peduli ya, Grandson Halayuda Senior. Yang paling penting untuk Mama itu kamu bisa dapat ranking satu seperti yang Mama syaratkan. Itu juga kalau kamu mau seluruh fasilitasnya Mama kembalikan,” balas sang mama dengan raut tidak peduli. Tanpa menolehkan wajah kea rah putra tunggalnya. Tetap berjalan menuju ruang makan di mana beberapa piring berisi menu masakannya telah berada. Masih super hangat fresh from the oven.
Baek membalas, “Iya, Ma. Aku tidak masalah denga napa pun yang Mama putuskan untuk membuatku jadi anak yang jauh lebih baik. Yang paling penting itu aku bisa jadi sebaik yang Mama dan Papa kehendaki. Masalah fasilitas yang Mama hentikan kucuran dananya itu hal yang kita pikirkan belakangan saya kali, ya. Yang paling penting saat ini adalah kepercayaan yang Mama beri. Dan bagaimana aku berusaha mempertahankannya.
“I love you so much, Mama.”
“Udah, udah, cepat makan!” pinta mamanya seraya menuangkan beberapa centong nasi di piring sang putra setelah menaruh nasi di piring papanya.
“Ada apa dengan anak kita, Ma?” tanya papa Baek. Nyaris merinding disko melihat putranya yang beberapa hari belakangan tampak suram. Tiba-tiba saja kali ini jadi seseorang yang cerah ceria.
“Nanti Mama tanyakan ke Dek Niydeia, ya. Sepertinya anak kita habis jatuh dari tangga selama ada di rumahnya,” jawab wanita itu pelan.
"Astaga," desah sang papa, "Pewarisku hanya satu kenapa harus seperti ini, sih?"