Cinta adalah kuatmu bertahan, jika kuatmu tidak dihargai, maka lepaskanlah. -Iqbal
***
Akhirnya Iqbal bisa menghirup udara Jakarta lagi setelah sekian lama merantau ke tanah orang dan pulang hanya ketika liburan semester. Begitupun Valen, ia rindu dengan kota kelahirannya ini, kota sejuta kenangan pahit dan manis.
Di sinilah, ia merasakan bagaimana indahnya menjalin persahabatan, juga indahnya jatuh cinta, serta perihnya terjatuh setelah melambung tinggi.
Tidak ada yang berbeda, Jakarta masih panas dan macet.
Sebuah taksi yang membawa mereka dari airport, berhenti di depan sebuah rumah bernuansa Eropa modern milik Iqbal, lebih tepatnya milik orangtua Iqbal.
Valen tidak bisa memungkiri detak jantungnya yang berdegub kencang ketika kakinya mulai melangkah ke dalam pekarangan rumah itu, ada rasa tak enak yang ia rasakan ketika berada di sini, bayangan masa lalu kembali menguasai pikirannya.
Iqbal yang peka dengan perubahan raut wajah Valen langsung menggenggam jemarinya seraya menampilkan senyuman terbaiknya. "Jangan gugup, mereka sedang menunggu kita."
Valen mengernyitkan keningnya, ia berpikir seperti hendak menemui calon mertua padahal nyatanya Iqbal bukan pacarnya, apalagi calon suaminya.
"Hai, Iqbal yang ganteng setara Alvaro Mel hadir kembali di hadapan Anda sekalian." Iqbal menyapa seluruh anggota keluarganya yang sedang berkumpul di ruang tamu. Kemudian Mereka duduk di sofa.
"Udah tua masih aja alay!" cibir Zea yang hanya dijawab cengiran oleh Iqbal.
Mata Valen menangkap sosok Zea yang duduk di sebelah Kenzio, ia tersenyum tipis, perasaan awkward itulah yang Valen rasakan saat ini.
"Abang, Alen kangen."
Bocah yang besok berumur 6 tahun itu langsung berlari ke arah Iqbal ingin dipangku, dulu Iqbal yang paling menentang atas kehadiran Alen, ia ngambek karena posisinya sebagai anak bungsu direbut oleh Alen tapi seiring berjalannya waktu Iqbal lah yang paling dekat dengan Alen daripada Zea, kakak perempuannya.
"Alen udah besar, jangan minta pangku Abang terus," tegur Alana. Sementara Alen menggeleng kuat karena percayalah Alen ini sangat manja melebihi manjanya Iqbal saat kecil.
Iqbal menatap Valen kemudian berbisik ke telinga Alen namun masih terdengar oleh beberapa pasang telinga di ruangan ini. "Kak Valen ini calon istrinya Abang."
"Wah nama kita hanya beda satu huruf!" seru Alen dengan senyuman ceria.
Valen yang terkejut dengan pengakuan dusta Iqbal langsung menggeleng kuat. "Bukan, jangan percaya."
"Om pikir sih apa yang Iqbal katakan itu benar karena tidak mungkin kamu mau jauh-jauh datang ke sini kalau tidak ada hubungan apa-apa dengan Iqbal," ujar Gavril yang membuat Iqbal tersenyum senang.
Papa the best.
"Apa kabar, Len?" tanya Zea, jujur ia rindu dengan Valen, biar bagaimanapun Valen pernah menjadi sahabatnya dan hancur karena sebuah keegoisan cinta.
Valen tersenyum simpul. "Aku baik, Zea. Kamu apa kabar?"
"Aku juga baik, aku punya dua jagoan tapi mereka sekarang lagi tidur namanya Razka dan Azka."
"Kembar?" tebak Valen.
"Iya."
Mereka udah bahagia, hanya aku yang belum menemukan kebahagiaanku.
Valen menatap wajah Kenzio, pria yang pernah Valen ingin miliki pada saat itu. Namun, harus ia kubur dalam-dalam, mengingat Kenzio tidak pernah mencintainya, ia hanya mencintai Zea.
Ini kah yang namanya karma? Dulu aku pernah ada di posisi Rara dan sekarang aku yang berada di posisi Zea.
"Kapan Abang nikah sama Kak Valen?"
"Sayang, jangan dengarkan Abang Iqbal. Kakak bukan calon istrinya Abang Iqbal."
"Sayang, jangan malu-malu dong," ujar Iqbal ke Valen.
Valen memilih diam karena percuma ia mengatakan apa pun karena pasti akan kalah berdebat dengan Iqbal. Seharusnya Valen tidak usah menuruti kemauan Iqbal yang mengajaknya ke sini. Setelah dipikir-pikir untuk apa ia di sini karena dirinya bukan bagian dari keluarga ini.
"Len, kita minta maaf. Karena kesalahan kami di masa lalu membuat hubungan kamu dan Iqbal hingga kini memburuk. Kalau aja ide konyol itu tidak pernah ada, mungkin sampai sekarang hubungan kalian masih langgeng," ujar Kenzio.
Tidak ada yang bisa menyalahkan masa lalu karena itu bagian dari takdir yang Tuhan gariskan dalam hidup kita.
Valen memang masih mengingat dengan jelas bagaimana sakit hatinya atas perlakuan mereka yang mempermainkan dirinya tapi Valen mencoba menghilangkan kesakitan itu karena ia tidak ingin hidup dikuasai oleh kebencian.
"Semua udah berlalu, aku juga minta maaf karena dulu sempat ingin menjadi penghancur hubungan kalian."
"Ini lagi acara lebaran, kah? Kok pada minta maaf." Iqbal berusaha membuat suasana agar tidak terasa canggung.
Semua sudah berubah, orang paling akrab pun pasti akan mengalami kecanggungan, semua tak sama lagi.
***
Waktu sudah hampir larut tapi mata Valen masih enggan untuk tidur, ia masih terbayang-bayang bagaimana masa lalunya, bagaimana dirinya diterbangkan oleh Iqbal ke atas awan lalu dihempaskan ke bumi, dan sekarang mereka bertemu kembali dengan perasaan yang masih sama, hanya saja mungkin takdir memang tidak mengizinkan mereka untuk bersatu.
Muncul satu pesan dari Iqbal.
Iqbal : udah tidur?
Valen : belum
Iqbal : boleh masuk ke kamar Ibu?
Valen : hah?
Iqbal : tenang, saya masih cukup waras untuk gak membuat Ibu mendesah sebelum waktunya, saya ada di depan kamar Ibu, tolong buka pintunya
Valen berjalan ke arah pintu, kemudian membukanya dan membiarkan Iqbal masuk, setelah itu ia menutup kembali, entah kenapa Valen mudah sekali percaya dengan kata-kata Iqbal, tapi ia memang yakin bahwa Iqbal tidak akan berbuat macam-macam.
Iqbal mengikuti Valen yang sudah duduk di tepi ranjang.
"Kenapa belum tidur?"
"Belum ngantuk."
"Sama, kayaknya kita emang jodoh, Bu."
Valen hanya tersenyum tipis menanggapi jokes konyol Iqbal, laki-laki di sebelahnya ini tidak pandai mengeluarkan rayuan maut, tapi sialnya bisa bikin baper.
Iqbal menatap manik mata Valen, menyampaikan seluruh rasa cinta dan rindu melalui tatapannya itu, kemudian berucap, "Ibu itu ibarat bintang, bersinar terang dan terlihat nyata, namun sangat sulit untuk diraih."
Valen hanya bergeming.
"Saya emang pria b******k, Bu. Sudah berapa banyak luka yang saya torehkan hanya karena keegoisan saya, saya jatuh cinta tapi saya telat menyadarinya. Apakah ini yang namanya cinta datang terlambat?"
Lagi-lagi Valen tak bisa berkata apa-apa.
"Saya hanya ingin mengungkapkan semua asa dan rasa yang terpendam, saya memang pernah membenci Ibu karena Ibu berusaha merebut Om Ken dari Kak Zea, saya juga sempat menolak tawaran kak Zea untuk mendekati Ibu dengan alasan Ibu bukan tipe saya."
Valen berusaha menahan sesaknya, kala mengingat kejadian pada masa itu.
Iqbal meraih jemari Valen, kemudian menautkan hingga jantung keduanya berdegub kencang. "Namun, setelah Ibu pergi dari hidup saya, saya baru merasakan kalau saya telah kehilangan cinta saya. Mungkin ini terdengar bulshit tapi ini nyata apa yang saya rasakan, dan asa saya adalah bisa bersama Ibu membangun keluarga kecil yang bahagia hingga ke surga."
Valen masih terdiam, ia bingung harus berkata apa, yang jelas ia dilema. Di sisi lain ia senang mendapat pengakuan dari Iqbal, di sisi lain ada hatinya Rara yang harus ia jaga.
"Sekarang saya tanya, Bu."
Iqbal menghela napas pelan. "Apa Ibu masih mencintai saya. Jika iya, izinkan saya memperjuangkan Ibu kembali."