7

1084 Kata
Apakah aku boleh kembali pada masa lalu? -Valen. *** Tidak ada yang tahu bahwa Rara semalam menangis di bawah bantal meratapi kesedihannya karena Iqbal lebih memilih Valen daripada dirinya. Bahkan matanya tak merasakan kantuk sedikit pun, hanya air mata yang terus mengalir. Apalagi sekarang Rara sedang PMS, jadi emosinya tidak menentu. Meskipun matahari sudah tinggi dan cacing di perutnya sudah pada berisik, tetapi ia enggan untuk beranjak dari kasurnya. Seandainya gue gak pernah minta kak Valen buat ngajar ke Jogja, Iqbal pasti gak akan ketemu cinta masa lalunya. Rara b**o. Ketukan pada pintu kamarnya mulai terdengar dan Rara tidak berniat untuk menyahuti Valen yang terus memanggil namanya. "Rara, ayo makan. Kak Valen udah buatin sarapan," ucap Valen dari luar kamar tetapi tidak digubris oleh Rara. "Rara, kamu baik-baik aja 'kan?" Rara menghapus sisa air matanya dan turun dari kasurnya, segera membuka pintu kamarnya. "I'm not fine!" ujar Rara tepat di wajah Valen. Valen mantap rambut Rara yang acak-acakan, hidungnya yang memerah dan mata sembabnya serta kantung mata yang terlihat jelas. "Are you okay?" "Kan tadi aku udah jawab! Lagian cewek mana sih yang bakal baik-baik aja kalau gebetannya jalan sama cewek lain. Gak ada!" Valen sudah menyangka akan seperti ini, apalagi menurutnya Rara ini childish, tapi ia tetap harus tenang manangani Rara yang terkadang egois dan bersikeras ingin mendapatkan apa yang ia mau. "Nanti kita bahas lagi, sarapan dulu." Rara mengikuti langkah Valen ke ruang makan, di sana sudah tersedia nasi goreng omlette kesukaan Rara. Mereka menikmati sarapannya dalam diam, hanya dentingan sendok dan piring yang memecah keheningan. Setelah sarapan, Valen mengajak Rara ke ruang tengah untuk membahas masalah semalam. Valen menghela napas pelan kemudian menatap Rara yang enggan menatapnya. "Rara, aku minta maaf kalau kamu marah gara-gara semalam." Cinta memang terkadang egois dan salah satu dari mereka memang harus mengalah agar tidak ada perseteruan yang lebih panjang. Valen memilih mengalah. Rara menatap sinis pada Valen. "Minta maaf? Terus kalau udah minta maaf apa yang akan terjadi? Kakak bakal jauhi Iqbal dan biarkan aku bersama Iqbal?" "Kakak gak pernah dekat sama dia, mungkin itu dulu. Sekarang hanya sebatas aku dosennya dan dia mahasiswa, kalau yang kamu takutkan aku balikan sama dia, itu gak akan pernah terjadi." Valen menggigit bibir bawahnya, berusaha meredakan sasak yang ia rasakan atas ucapannya sendiri, semua itu Valen lakukan hanya ingin Rara bahagia, meskipun mereka tidak terlalu dekat tapi Valen sudah menganggap Rara seperti adiknya sendiri, apalagi keluarganya Rara sangat baik kepada Valen. "Terus kenapa Kak Valen terima ajakan dia?" "Kakak udah nolak tapi dia yang terus paksa." "Kak Valen jujur sama aku, Kakak masih cinta sama Iqbal?" Kalau aku bilang iya kamu yang akan tersakiti, Rara. "Biarlah itu menjadi urusanku." Setelah berucap seperti itu, Valen menuju kamarnya, ia ingin menumpahkan segala asa dan rasa yang bergejolak di dadanya. Valen pernah ada di posisi Rara beberapa tahun yang lalu, di mana ia berusaha merebut seseorang yang nyatanya tidak mencintainya, tapi Valen yang sekarang bukan lagi Valen yang egois akan cinta, ia banyak belajar dari kegagalan yang pernah ia rasakan pada masa itu. Valen menghadap keluar jendela kamarnya dan matanya menatap langit mendung yang seakan menggambarkan perasaan Valen saat ini. Rasanya aku ingin berlari di bawah guyuran air hujan, menumpahkan segala air mata dan berteriak menumpahkan segala rasa yang terpendam. Getaran ponselnya membuyarkan lamunan Valen, segera ia meraih ponselnya yang ada di atas nakas kemudian membaca pesan w******p dari seseorang yang terus mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Iqbal : Selamat morning, calon istri masa depan, sudahkah Iqbal hadir di mimpi Ibu semalam? Valen tersenyum geli membaca pesan alay dari mantannya ini. Alay dan recehnya belum sembuh. Baru saja Valen ingin keluar dari aplikasi itu, muncul satu pesan lagi dari Iqbal. Iqbal : Ibu lagi belajar baca ya, makanya gak balas pesan saya Valen langsung terpancing untuk membalas pesan dari Iqbal. Valen : Allah mengajarkan kita Iqra 'bacalah' bukan balaslah Iqbal : si Ibu mah, oke lupakan tentang itu. Saya mau ajak Ibu ke Jakarta. Valen : ngapain? Iqbal : mau di-ijabin Valen : ijab qobul? Iqbal : Iya, dong. Tapi gak sekarang tunggu saya selesaikan kuliah saya dong. Ibu udah gak sabar ya tidur sambil peluk saya? Valen : GJ Iqbal : saya ajak Ibu ke Jakarta buat hadirin ulang tahun adik saya Valen : emang kamu punya adik? Iqbal : iya, Papa saya kan orangnya rajin buat anak Valen : yaudah sama Rara aja. Saya ada ngajar Iqbal : Ibu izin cuma hari senin, selasa pagi udah balik. Selasa Ibu kan ngajar sore Valen : kamu kok tahu jadwal saya? Iqbal : semua tentang Ibu saya tahu Valen bimbang apakah ia harus menuruti kemauan Iqbal atau tidak, di satu sisi ia ingin bertemua Zea, ia belum meminta maaf secara pribadi atas semua kesalahannya dulu tapi di sisi lain ia tidak ingin mengecewakan Rara untuk kedua kalinya karena menerima ajakan Iqbal. Lebih baik sekarang Valen mandi untuk menenangkan pikirannya, berada di posisi Valen amat sulit. Ia harus mengorbankan perasaannya sendiri untuk menjaga hati lain agar tidak tersakiti. Kalau ada orang yang harus mengalah itu adalah Rara tapi bukan Rara namanya kalau mudah mengalah. Ditolak berkali-kali pun tidak ada pengaruhnya. *** Rara berlari ke ruang tamu untuk membuka pintu tamu yang tak tahu diri, pagi-pagi sudah mengganggu orang. Tapi Rara langsung tersenyum setelah melihat siapa yang datang, untung saja ia sudah cuci muka, sikat gigi dan sisir rambur jadi tidak terlalu malu-maluin di depan sang pujaan hati. "Cari aku ya, Kak?" "Penting banget cari lo, cari bidadari lah masa cari setan." Nyelekit sekali ucapan Iqbal, kalau orang lain mungkin akan tersinggung tapi tidak dengan Rara, ia masih tetap tersenyum. "Kan aku bidadarinya, Kak." "O aja." Iqbal tanpa permisi langsung menerobos masuk ke dalam dan duduk di kursi ruang tamu. Rara kesal karena lagi-lagi dianggurin, apa dirinya kurang menarik sampai mendapat perlakuan seperti ini dari Iqbal. "Panggilin Valen, sono!" "Buat apa?" "Gue mau ajak doi ke Jakarta." "Aku ikut ya, Kak." "Ngapain? Bikin macet Jakarta aja!" Tak lama kemudian muncul Valen dengan rambut basahnya yang ia biarkan tergerai, kalau tidak ada kegiatan seperti ini, Valen lebih suka membiarkan rambutnya kering sendiri tanpa handuk atau hairdryer. "Iqbal, ada apa?" "Kita on the way airport, Bu. Satu setengah jam lagi check-in." "Saya gak bilang iya." "Gak ada waktu, Ibu. Cepat siap-siap." "Tap—" "Kita bakal ketinggalan pesawat, Bu." Iqbaal menatap Valen dengan tatapan memohon. Tanpa memikirkan perasaan Rara lagi, Valen segera berlalu ke kamarnya dan segera bersiap-siap, menyiapkan pakaian yang sekiranya dibutuhkan saat di Jakarta. Iqbal menatap Rara. "Gue malu kalau jadi lo, nyerah aja udah!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN