Who Are You?

2999 Kata
Ferril bahkan sampai tak sempat mengurusi hal lain semenjak sibuk dengan urusan abangnya. Fadli yang banyak mengambil alih pekerjaan keponakannya itu. Ia tahu kalau kondisi mereka memang sedang tak baik selama beberapa minggu ini. Apalagi masih belum ada kemajuan dari penyelidikan terakhir. Meski keponakannya, Farrel, telah bertanggung jawab dengan menikahi. Namun tetap saja tak cukup. Mereka juga masih belum bisa menerima kehadiran Shabrina secara utuh. Ya kalau dengan cara seperti ini, siapa yang bisa menerima dengan begitu lapang? Ya kan? Kondisi rumah tangga Farrel juga berantakan. Kondisi Ferril juga tak kalah berantakannya ketika tiba di kantor pagi ini. Matanya sudah menyalang. Wajahnya benar-benar tak bersahabat. Semua karyawan kompak melihatnya dan tahu kalau memang pemberitaan beberapa waktu lalu sangat menghebohkan. Bukan hanya kantor yang heboh tapi juga satu Indonesia. Para karyawan tahu seperti apa Farrel. Saat dikabarkan berpacaran, awalnya juga sempat tak percaya. Namun melihat bagaimana hadirnya Shabrina di kantor ini, mereka mendadak percaya. Bahkan perlahan setuju. Sampai akhirnya bos mereka mendadak menikahi perempuan lain. Ini yang paling menghebohkan. Tidak seperti netizen di luar sana, mereka juga tak tahu alasan bos mereka memdadak menikahi perempuan lain. Mereka menduga kalau itu adalah pelampiasan sesaat setelah melihat apa yang terjadi saat ini atau bisa jadi.... "Pak Farrel gak mau tanggung jawab kali. Makanya nikahin cewek lain." "Tapi aneh lah. Lihat deh. Ujung-ujungnya sekarang dinikahin juga. Malah jadi istri kedua." "Gara-gara dijodohin kali sama Bundanya." "Tapi Bunda bukan kayak gitu. Kelihatan banget kan baiknya? Gak mungkin lah." Mereka masih saling menyangkal. Karena mereka tak pernah tahu bagaimana yang terjadi sebenarnya. Hanya melihat dari luar dan menduga-duga. Padahal apapun bisa terjadi dan tak akan bisa ada yang menduganya. "Terus kenapa dong? Kan aneh." Satu per satu hanya mengendikan bahu. Mereka bahkan tak pernah berpikir kalau ada kemungkinan Farrel tidak mencintai Shabrina dan terpaksa menikahinya. Mereka justru berpikir kalau itu justru terjadi pada perempuan yang dinikahi oleh Farrel, yaitu Fara. Makanya pikiran mereka hanya berputar sebatas itu. Ferril baru saja merebahkan tubuhnya ke atas sofa. Sang sekretaris masuk dan menyerahkan laporan atas kasus terakhir yang menyangkut Swastika Eka Graha, kantor di mana Echa pernah bekerja. Haaah. Ia bahkan hampir lupa. "Pak Regan dan manajernya menunggu keputusan Bapak. Kalau setuju, manajer Danu dan komplotannya akan dipecat dari perusahaan ini." Ferril tampak berpikir sebentar. "Sudah berapa lama dia bekerja di sini?" "Berdasarkan keterangan, beliau sudah bekerja selama 31 tahun." Ferril mengangguk-angguk. Bahkan jauh lebih lama dibandingkan dengan usianya. "Berapa tahun menuju pensiun?" "Kurang lebih tujuh tahun lagi, Pak." Ferril mengangguk-angguk. "Anak-anaknya sudah ada yang bekerja?" "Anak pertama hingga terakhir sudah bekerja, Pak. Bahkan sudah menikah." Ferril mengangguk-angguk lagi. Kalau begitu urusannya akan lebih mudah. Biarpun dipecat, ia twtap berbaik hati kok menurunkan uang pensiunnya dan mungkin tidak akan membawa kasus ini hingga ke ranah hukum. Dalam artian, memang masih bisa diselesaikan secara internal perusahaan. "Pecat saja. Nanti cari manajer yang jauh lebih muda dan jujur." Sang sekretaris mengangguk lalu Ferril menandatangani surat itu dan membiarkan sekretarisnya membawa surat itu. Ya terserah bagaimana nasib lelaki itu. Mempertahankan orang yang tidak jujur itu akan menyulitkan diri sendiri. Makanya ia tak mau. Apalagi sudah bekerja selama itu dan dari yang Ferril pernah dengar, lelaki itu mengambil uang semacam itu selama kurang lebih lima belas tahun. Itu waktu yang lama. Sudah setara dengan separuh lamanya bekerja di sini. Bagaimana bisa selama itu? Dan apakah menbahagiakan makan uang haram begitu? Masih syukur hanya dipecat dan tidak dipidanakan karena kasihan melihat usianya yang sudah setua itu. Walau ini sebetulnya tidak patut juga. Bagaimana pun lelaki itu adalah teman baik Om Tio yang juga sahabat Bundanya. Meski Bundanya enggan mengobrol dengan lelaki itu. Ya papanya sih tak cemburu. Karena tak tahu juga. Tapi Bundanya memang selalu menghindar sejak dulu. Kalau dari cerita Om Tio padanya dan Farrel kala itu, itu cowok benar-benar mengejar bunda tanpa henti. Bahkan setelah menikah pun masih berupaya mencari kabar bunda. Baru setelah tahu kalau bunda menikah dengan papanya, ia berhenti. Tak berani karena berhadapan dengan orang yang memiliki kedudukan. Apalagi tempat bekerjanya terafiliasi dengan sangat dekat dengan papanya. Iya kan? Ya-ya. Terkadang harta dan jabatan memang ditakuti oleh orang-orang kecil. Apalagi mereka sangat tergantung pada hal itu. Jadi tak berdaya. Tak bisa berbuat apapun. Termasuk yaaaah menolong diri sendiri. Menyedihkan? Ferril menghela nafas. Kini yang menjadi fokusnya adalah urusan dengan abangnya. Bagaimana ia bisa menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapi? Sedangkan mereka juga sibuk dan tak ada bukti sama sekali. Seolah-olah benar-benar rapi. Mereka sedang curiga kalau ada yang dendam pada abangnya. Makanya melancarkan aksi ini. Tapi abangnya bahkan tak berpikir kalau akan ada orang yang tidak suka padanya. Sebetulnya banyak sekali yang tidak menyukai Farrel. Bahkan sejak dulu. Farrel bukan cowok angkuh hanya karena ia kurang ramah, ia sering dianggap begitu bagi teman-teman lelaki. Kalau bagi perempuan? Ya dianggap dingin dan cool. Dan Farrel itu sangat menyita perhatian. Sekalipun fisiknya sama persis dengan Ferril, Farrel tetap bisa menarik perempuan. Dan cenderung lebih banyak yang menyukainya dibandingkan Ferril. Tahu kenapa? Karena sikapnya itu. Ferril kan ramah dan mudah didekati. Kalau Farrel? Sisi dinginnya membuat banyak perempuan penasaran. Termasuk Shabrina. Pada awalnya, gadis itu memang sangat penasaran pada Farrel. Apalagi ia merasa kalau tak ada satu pun cowok yang berani menolaknya dengan fisiknya yang sesempurna ini. Tapi Farrel justru tak berminat. Karena yang ia cari memang bukan seperti itu dan memang bukan tipenya. Ketertarikan itu kan tidak dapat dipaksakan. Ya kan? Dan ketika Farrel bersama teman-temannya, cowok itu akan selalu menonjol. Sehingga ya beberapa dari teman-temannya tentu iri dan jengkel karena smeua perempuan hanya akan melihat Farrel. Namun Farrel tak menyadarinya. Sekalipun ada Ferril di sebelahnya, para perempuan itu tetap akan melihat Farrel. Karena aura Farrel itu berbeda dengan Ferril. Mereka kembar tapi jiwanya pasti berbeda bukan? Kini Ferril sedang menyelidiki satu per satu teman-teman yang ada di lingkungan pergaulan mereka. Meski terkadang lingkungannya tak satu lingkaran dengan Farrel namun ia banyak mengenal teman-teman Farrel. Yang jelas bukan teman-teman sepergaulan Farrel untuk mengejar ilmu agama. Karena ia tahu, orang-orang itu tak akan berani melakukan hal sekeji itu pada abangnya. Namun alih-alih mengecek itu, yang ia periksa pertama kali adalah Shabrina. Karena gadis itu adalah sumber masalahnya. Ia masih mencari tahu apakah Shabrina yang menjebak dirinya sendiri karena saking gilanya dengan abangnya? Dan ketika terpikir hal ini, ia langsung beranjak begitu saja. Meninggalkan sekretarisnya yang ternganga. Perempuan itu baru saja hendak mengetuk pintu ruangannya. Tapi tahu-tahu pintu itu sudah terbuka dan pemiliknya sudah pergi begitu saja. Ferril sudah berlari menuju mobilnya dan ia mengendarainya dengan kecepatan yang cukup gila. Tujuannya tentu saja rumah Farrel. Karena perempuan itu sudah di sana. Ia menerobos begitu saja. Abangnya pasti berada di kantor. Mungkin sembari mengecek kasusnya sendiri. Karena semua itu memang perlu penyelesaiannya. Sementara ja hendak menyelesaikan dengan caranya sendiri. "Apa motif lo?" Ia langsung menodong dengan sebuah pertanyaan. Shabrina tentu kaget. Ia baru saja membuka pintu setelah mendengsr seseorang memencet bel rumah semaunya. Ferril memarkirkan mobilnya di depan gerbang. Berhubung terkunci, ia menerobos dengan melompati pagarnya. Shabrina justru tertawa. "Kenapa? Lo curiga sama gue?" Ferril tak menampik hal itu. Karena kecurigaan paling mendasar memang perempuan ini bukan? Bahkan Ferril berniat mengikutinya dalam waktu dekat karena ia tahu kalau Shabrina tak akan membuka mulutnya. "Apa sedemikian frustasinya lo karena abang gue nikahin cewek lain?" Shabrina makin terbahak. Ia geli dengan ucapan itu. "Untuk apa gue gila kalau abang lo justru dapat cewek yang lebih jelek dari gue?" Ferril menahan emosinya. Tangannya sudah terkepal. Kalau cowok, pasti sudah ia hajar. Sialnya, yang berada di depannya ini adalah seorang perempuan. Rasanya tak etis kalau memukul. Meski ucapan itu melukai. Karena bagaimana pun, yang dibicarakan olehnya adalah kakak iparnya. Bagaimana mungkin ia tidak membela? Dan lagi, Ferril ingin sekali mengatakan kalau kakak iparnya jauh lebih baik darinya dari segi manapun. Yang dicari dari seorang perempuan untuk dijadikan istri memang bukan fisik melainkan kepribadian. Karena Ferril tahu kalau ia akan hidup dengan lama dengan kepribadian itu. Mengubah fisik itu sangat gampang. Ada banyak operasi di zaman sekarang. Cukup berikan saja uang dan segalanya bisa berubah. Tapi apa pentingnya? Apa bagusnya? Karena fisik bisa dimakan usia. Bahkan dimakan mikroba tanah ketika meninggal nanti. Hanya saja, untuk apa ia menjelaskannya panjang-lebar pada perempuan ini? Akan percuma. Hanya membuang-buang waktunya saja. Percuma juga dijelaskan, tak akan paham. Oke, ia juga bukan orang yang suci. Ia juga sama brengseknya dengan berbagai lelaki playboy tapi catat, ia tak pernah berciuman hingga meniduri. Pemahamannya mengenai agama mungkin dangkal. Tapi bukan berarti ia harus ceroboh untuk melakukan hal semacam itu. "Kalo lo datang cuma untuk menghakimi gue, buang-buang waktu." Ferril meninju pintu. Shabrina terkekeh. Perempuan itu membalik badannya. "Kalau gue gila sama abang lo, gue udah hancurin itu pernikahan sejak awal. Ngapain gue ngerebut dia dan malah jadi istri kedua? Mending dari dulu gue begini. Dan lo pikir sekarang, apa gue gila?" Ferril terdiam. Oke, ia tak punya kata-kata sekarang. Tak punya bukti untuk menuduh pula. Tak heran kalau ia membalik badan. Meski dalam hati, ia akan membuktikan kalau anak yang dikandungnya bukan lah anak abangnya apalagi menjadi keponakannya. Entah kenapa ia tak sudi memikirkan itu. Dari awal gadis ini mendekati abangnya, ia tak sekalipun mempermasalahkannya. Ia menerima siapa saja terlepas bagaimana masa lalunya. Asal kan bisa berubah. Namun untuk ucapan yang tadi? Akan Ferril ingat. Akan ia ingat terus. Dan ia menjadikan ini sebagai tonggak semangat untuk menghancurkan siapapun yang telah menganggu keluarga kecil abangnya. Termasuk perempuan itu. Shabrina salah berbicara begitu padanya. Karena ia akan terus mengingatnya. Benar-benar akan terus mengingatnya. "Awas lo!" kecamnya. Ia tak bermain-main dengan segala kata-katanya. Jika perempuan ini berbuat ulah dibalik semua yang menimpa abangnya, ia tak segan-segan untuk datang dan menghancurkannya. @@@ Echa masih syok. Sama juga dengan perempuan itu. Meski kini Echa berusaha mengembalikan pikirannya. Ia meminta gadis itu untuk menunggu sebentar sementara ia menelepon teman lain. Ia punya urusan mendadak yang tak terduga. Sepertinya juga tak akan sempat mengurus Nabila. Karena ia tahu kalau Nabila sudah baik-baik saja, ia bisa meninggalkannya setidaknya untuk kali ini saja. "Assalammualaikum, Kucay, sorry banget ganggu. Alhamdulillah nomor lu masih aktif. Lo lagi di mana, Cay?" Ia berbasa basi sebentar untuk kemudian memberitahu apa yang terjadi. Perempuan yang dipanggil Kucay atau yang bernama asli Chayra itu jelas kaget. Suaranya sudah terdengar panik. Seingatnya Chayra memang menjadi dosen di fakultas. Jadi ia bisa mengandalkan gadis itu untuk menjaga Nabila. Makanya ia menghubungi gadis ini. "Gue tunggu ya, Cay." Ia menutup teleponnya. Fokus Echa kembali pada perempuan yang tadi mendadak menarik tangannya. Lalu mereka sama-sama syok. Sama-sama kaget saat menatap wajah masing-masing. Bukan perbedaan yang membuat keduanya kaget. Tapi justru wajah yang sama persis itu. Bagaimana mungkin bisa terjadi? Echa ingat kalau ia tak pernah memiliki saudara kembar sekalipun. Lalu wajah gadis di depannya ini? Bagaimana mungkin bisa sama persis dengannya? "Who are you?" "Lo yang siapa?" Echa balik bertanya tapi keningnya hanya mengerut. Echa tak tahu kalau gadis di depannya tak begitu bisa berbahasa Indonesia. Kini keduanya duduk di dekat taman rumah sakit. Masih saling menatap asing. Mereka baru saja bertemu tadi. Bermenit-menit lalu ditengah-tengah kelinglungan Echa akan mengurus Nabila. Kemudian kenapa gadis ini terasa sangat menganggunya? Hohoho. Itu karena mereka memikiki kesamaan yang tak terduga. Kesamaan yang tak bisa dibantah. Namun sama-sama merasa aneh karena tak mengenal satu sama lain. Aneh? Paham? "Apa yang kamu bicarakan tadi?" Echa mengernyitkan kening karena gadis ini justru tak mengerti ucapannya dan masih berbicara dengan bahasa Inggris. Echa mencoba menelaah. Apa yang salah sebetulnya? Keduanya masih saling menatap dan tak paham satu sama lain. Bagaimana ini bisa terjadi? "Can you speak in Indonesia?" Echa bertanya pelan. Gadis itu memberi kode dengan jari telunjuk dan jempolnya yang seolah mengatakan kalau ia hanya bisa berbicara sedikit. Akhirnya Echa paham. "Where do you from?" Wajahnya tak bersahabat ketika ditanya seperti itu. "Kamu tak perlu tahu. Ini bukan urusanmu." Oke, menyebalkan juga, pikirnya. Meski ia masih terbingung-bingung. Jawabannya terdengar ketus dan tak begitu bersahabat. "Terus kamu ngapain di sini?" "Kamu yang ngapain di sini?" Kepala Echa langsung berasap. Menghadapi diri sendiri saja sudah lelah apalagi menghadapi manusia seperti ini? Ia menghela nafas. Bukan jawaban seperti ini yang ia inginkan. Kalau ia? Ia jelas ada urusan di sini. Ia membawa Nabila yang kumat. Ia takut terjadi seusatu. Sebagai sahabat, sudah wajar jika menolong bukan? "Kamu siapa sebenarnya?" "Kamu?" Gadis itu benar-benar tak ingin menjawab. Karena identitas baginya sangat krusial apalagi kalau harus menyebut nama asli. Karena tak mau menyebutkan akhirnya Echa yang mengatakan lebih dulu. "Echa Puteri Elysia." "What?" Echa menghela nafas. Ia mengulang namanya lagi dan gadis itu semakin terbelalak. Benar-benar kaget mendengarnya. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang dikatakannya. "Sekarang sebutin nama kamu," titahnya. Gadis itu masih diam. Ia masih menatap Echa. Ada rasa penasaran. Tiba-tiba juga merasa aneh. Melihat ada seseorang yang sama persis dengannya seperti ini. Bukan kah telah terjadi sesuatu yang sangat ganjil? Meskipun Echa berhijab namun wajah mereka benar-benar persis. Dan yang membuatnya tak percaya adalah selama ini ia hanya tinggal berdua bersama ayahnya. Lalu gadis ini datang dari mana? Dari ibu? Benar kah? Tapi ayahnya tak pernah mengatakan soal itu. Ia bahkan tak mengenal kata ibu. Baginya ibu tak pernah ada di dalam kamus hidupnya. "Kamu siapa sebenarnya?" Dan hanya kalimat itu yang kembali terlontar. Keduanya benar-benar tak punya klue apapun soal ini. Sama-sama buta dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ada apakah? @@@ "Dia gak cerita apapun sama kalian?" Chayra menggelengkan kepalanya. Tak ada yang tahu. Nabila mungkin menutupinya. Atau memang belum ingin bercerita? Kadang ia juga tak paham. Kadang ia juga merasa berslaah karena hanya memikirkan hidupnya sendiri. Ya mungkin karena itu juga Nabila memilih untuk mengunci. Karena tak mau merepotkannya yang sudah pusing dengan hidupnya sendiri. "Gue juga gak tahu apa-apa." Echa malah masih bersama mereka. Padahal ia seharusnya menemui gadis yang tadi. Gadis itu masih menunggu. Karena ia juga merasa aneh. Ia sudah mengirim pesan mellaui ponsel ilegal yang hanya bisa diakses secara khusus olehnya dan ayahnya. Ia tentu bertanya apakah ayahnya memiliki anak lain dari perempuan? Namun pesan itu belum dibalas. Sepertinya ayahnya masih sibuk. "Eh, Cha," ia ditegur lalu kaget sendiri. "Katanya tadi mau balik, gak jadi?" Ia mengucap itu karena kaget juga ternyata Echa masih di sini. Padahal tadi menelepon karena katanya tak bisa berlama-lama menjaga Nabila. Makanya menelepon Chayra untuk meminta bantuan. "Ah-eh iya, gue titip Nabila ya?" Kedua gadis itu kompak mengangguk. Lalu Echa berlari ke taman. Ia takut gadis itu pergi namun ternyata tidak. Masih di sana. Masih menunggunya. Karena mereka benar-benar saling penasaran dengan keadaan ini. "Follow me," ajaknya. Agak berbahaya kalau mereka mengobrol di sini. Echa mengangguk. Keduanya berjalan dengan jarak. Karena masih merasa asing dan belum saling mengenal satu sama lain. Suasana ini masih ganjil. Gadis yang masih belum memberitahukan namanya itu mengajaknya keluar dari rumah sakit. Mereka berjalan menyebrangi jalan lalu duduk di halte. Hanya itu tempat teduh yang mereka temukan. Ada banyak pertanyaan di dalam benak Echa. Tentang siapa gadis ini sebenarnya? Berasal dari mana? Selama ini tinggal dengan siapa? Bagaimana ia bisa hidup? Semua perlu ada jawabannya. Ya kan? "Aku sudah menyebutkan namaku. Sekarang giliranmu." "No-no. Aku perlu bukti." Ia masih tak ingin menyebutkan namanya. Echa menghela nafas. Ia mengeluarkan dompetnya lalu memperlihatkan kartu identitasnya. Ada tanggal lahir di sana tapi karena dalam bahasa Indonesia..... "Kamu bisa membacanya?" Ia mengangguk. Nama Echa di sana bisa terbaca dengan jelas. Namun yang membuatnya terpekur adalah tanggal lahir Echa. Itu sama persis dengannya. "Sekarang giliranmu. Mana identitasmu?" Gadis itu mengembalikan identitasnya. Tapi ia malah berdiri. Entah kenapa, mendadak ada rasa aneh yang merasuk ke dalam hati. Ia tak tahu apa yang terjadi. Ia perlu bukti dari ucapan ayahnya untuk sekedar mengetahui apakah perempuan di dekatnya ini benar-benar berhubungan darah dengannya. Ia perlu tahu itu. Walau fakta di depannya jelas sudah menjadi jawaban yang tak bisa ia bantah sama sekali. Bukan kah itu sudah jelas? "Hei! Sekarang giliranmu!" "Kamu tinggal di mana?" Ia malah memberikan pertanyaan lagi. Echa menghela nafas. "Kamu tinggal dengan siapa selama ini?" Mata itu masih mencari jawaban. Karena ia juga dilanda kebingungan. Bagaimana bisa ini terjadi? Echa merasa kalau gadis ini belum percaya sepenuhnya. Namun ia tak paham juga mata yang seolah terharu. Ya Echa melihat itu. Sepertinya hati perempuan ini jauh lebih lembut dibandingkan dengannya. Padahal dari gerakan dan bahasa tubuhnya tampak sangat manja namun anehnya agak-agak berandal. Ya Echa bisa melihat bagaimana kepribadiannya. Disaat Echa justru terkesan galak bagi gadis di depannya ini. Kadang ia merasa agak takut atau terintimidasi? Tapi ada hasrat besar untuk melawan. "Ibu." Matanya langsung melebar. "Kamu masuh punya ibu?" Ia hampir berteriak saat mengatakan itu. Echa mengangguk perlahan. Ia sesungguhnya masih terkaget-kaget dengan apa yang sedang terjadi. Ini apa? Ia juga tak paham. Dan gadis ini langsung menarik-narik lengannya. "Bawa aku ke sana! Aku ingin menemui ibumu!" Dan rasanya aneh saat mendengar kata-kata ini justru keluar dari mulut perempuan yang benar-benar mirip dengannya. Bagaimana gadis ini bisa mengatakan itu padahal wajah mereka sama persis? Bukan kah ada kemungkinan kalau ibu mereka sama? Atau..... "Kamu punya ibu?" Kata-kata itu mendadak menghentikan pergerakannya. Perempuan itu menatapnya. Kali ini tidak dengan tatapan mencurigai seperti melihatnya sebelumnya. Namun mata kehangatan seperti merindukan seseorang. Walau ia juga tak paham bagaimana perasaan yang sebenarnya. "Aku tidak punya ibu tapi aku punya daddy." Berganti Echa yang membelalak mendengar kata-kata ayah. Ia merasa mereka memang benar-benar memiliki sesuatu yang saling berhubungan. Namun tak tahu bagaimana menyatukannya. Yang jelas, gadis ini terus menariknya untuk segera menemui ibu. Tapi jelas ibu Echa sangat jauh. Tidak tinggal di sekitar sini. "Dia tinggal jauh dari sini. Harus naik pesawat dulu." Gadis itu melepaskan tangannya. Ia menatap dengan keterperangahan karena merasa dipermainkan. Bagaimana mungkin si ibu bisa tinggal jauh? Ia bertanya-tanya. Ia memang tak begitu tahu bagaimana orang lain menjalani hidup yang mungkin tak sama dengannya. Begitu pula dengan Echa. "Kamu bercanda?" Wajahnya tampak jengkel. Gadis ini belum tahu bagaimana kehidupan Echa. Echa menghela nafas. "Bagaimana kalau kamu membawaku menemui ayah?" Ia lebih menginginkan ini. Karena jujur saja ia tak pernah tahu bagaimana sosok ayah kandung. Tak pernah merasakan bagaimana kasih sayangnya. Jadi ketika melihat gadis ini dan katanya tinggal bersama ayah, ada kemungkinan bukan? Kemungkinan untuk bertemu dengannya kan? @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN