Keseriusan Ferril

2999 Kata
Ini terakhir, pikirnya. Setelah ini, ia telah memutuskan untuk tak akan berurusan dengan Ferril lagi. Echa sedang memikirkan banyak hal. Meski ia masih belum punya solusi untuk hidupnya sendiri. Tapi ia tak mungkin terus terperangkap begini. Siangnya, ia dan Nabila berangkat ke sebuah restoran. Tempat janjian dengan Ferril. Cowok itu sebetulnya mengajak ke tempat hiburan. Tapi Echa enggan. Katanya mereka bisa hanya mengobrol di tempat hagus bukan? Maka jadi lah mereka bertemu di salah satu restoran yang ada di Lembang. Ferril sudah tersenyum lebar saat Echa datang meski tak sendiri. Padahal Nabila sudah berpura-pura sakit loh biar hanya Echa yang datang. Tapi tentu saja cewek itu dicekik Echa. Mau mati? Karena biarin ia ditinggal berdua bersama Ferril? "Hai, beyb!" Echa mendengus dan Nabila tertawa. Kedua gadis itu duduk di depannya. Omong-omong Ferril keren loh. Echa tahu tapi tak ingin berkomentar apalagi memuji di dalam hati. Uurrgh! Bisa bahaya! Hahaha. "Gue yang pesen ya, Ril?" Nabila sengaja mengatalan itu karena ia tahu kalau Echa akan sungkan. Ya kan harga diri yang dipertahankan mati-matian di depan Ferril. Bahkan andai ia masih punya pekerjaan, ia tak akan membiarkan Ferril membayar makanannya hari ini. Hahaha. Sayangnya, ia terpaksa merendahkan ego karena kebutuhan keuangan. Sudah banyak rencana baru yang akan ia kejar setelah ini. Meski belum satu pun yang terealisasi. Itu artinya ia memang harus bersabar dan berusaha lebih keras lagi. "Cemberut amat, beyb," tegurnya. Karena sedari tadi Echa memang tak tersenyum. Gadis itu menghela nafas. Ia sejujurnya sedang malas bertemu Ferril. Sejujurnya memang selalu malas bertemu Ferril. "Soal itu, aku akan kasih tahu kalau ada perkembangan, beyb." Ia mengalihkan obrolan. Ferril tentu saja membicarakan soal kasus kantornya. Hari ini, kantor Om-nya juga sibuk menyidang Danu. Ya sang petinggi lingkungan yang berwenang banyak memang sedang pusing kepala. Karena tak menyangka kalau akan tercium urusannya. Awalnya memang merasa aman karena semua dana yang diterima itu dikirim dari kantor langsung ke konsultan. Lalu konsultan yang mengirim bonus untuknya. Eeeh ternyata sangat mudah sekali bagi Ferril dan yang lain untuk melacaknya. Dan ternyata praktik ini sudah sedari dulu dilakukan. Bayangkan saja, lelaki itu sudah lama melakukannya. Ia sudah sangat lama bekerja di perusahaan ini. Berapa banyak uang yang masuk ke kantornya? Oke, mungkin baru kali ini ia salah bekerja sama dengan konsultan yang juga licik. Tapi tetap saja itu memanipulasi p********n. Selama ini, Regan dan tim keuangan juga tak pernah terpikir untuk memeriksa bagian ini. Ya audit pasti ada. Tapi tak pernah tahu kalau alurnya justru begini. Dari konsultan yang mengirim pada lelaki itu. Bukan dipotong olehnya sebelum dikirim ke konsultan. Ya kalau dipotong jelas memang tidak bisa dan tidak mungkin. Jadi satu-satunya cara memang harus bekerja sama. Nasib tim sampling yang hari ini juga datang ke kantor Ferril tentu bernasib sama. Mereka juga disidang. Dengan cepat mereka melacak setiap pekerja yang dikirim dan ternyata memang tak sesuai dengan kantornya. Semua asal karyawan itu memang berasal dari konsultan tapi di bawah perusahaan yang berbeda. Salah satu manajer juga sudah menghubungi mantan bosnya Echa. Lalu dengan santainya berkata... "Ya kalo konsultan seperti kami sudah biasa bekerja kayak gitu. Memang fleksibel karyawannya. Itu yang saya kirim memang karyawan part time, Pak. Karena karyawan full time kami sedang bertugas di luar kota. Jadwal sampling kami kan banyak. Tidak hahya mengurus perusahaan Bapak saja." Oke masih masuk diakal meski kilahanbya sudah bisa ditebak oleh Echa. Echa sudah menduga kalau bosnya akan mengatakan hal semacam itu. Ini bukan sekali-dua kali. Mereka sudah sangat sering menghadapi seperti ini. "Tapi dari yang kami cek pun, kemarin yang datang adalah karyawan full time Bapak. Tapi tidak satupun yang memenuhi syarat. Begitu pun dengan peralatan yang dibawa kemarin. Oke hari ini memang sudah dibawa peralatan yang lebih memadai dan bisa dipertanggungjawabkan. Tapi isi timnya jelaa berbeda dari perjanjian yang telah dibuat. Bagi kami, itu sama saja melanggar janji, Pak. Terserah Bapak mau mengatakan kami terlalu kaku untuk urusan ini. Tapi yang jelas, kami hanya berpegang pada perjanjian. Kalau perjanjian dari awal sudah dilanggar, bagaimana kami bisa mempercayakan sepenuhnya? Dan lagi....." Echa ikut mendengar itu. Kejadiannya baru berlalu beberapa jam yang lalu. Sebelum ia bertemu Ferril di sini. Cowok itu tersenyum kecil usai memperdengarkan semua percakapan dan hasil laporan anak buahnya. Ia tentu saja bangga karena setidaknya dengan sedikit ini bisa membantu Echa. "Kalau tidak sampai ke tahap analisis dan malah bubar setelah ini, gak apa-apa kan?" Karena prosedur di perusahaannya memang begitu. Akan menolak dan membatalkan perjanjian sebelum pengukuran dilakukan kalau dari awal sudah begini. Ia juga baru diberitahu pagi tadi disaat masih menguap. Saking lelahnya dengan pekerjaan beberapa hari kemarin dan perjalanan panjang menuju Bandung. Echa hanya bisa mengucapkan terima kasih. Baginya, itu pun cukup. Setidaknya, ia ingin lebih banyak lagi perusahaan yang lebih ketat untuk persoalan ini. Karena jika menyangkut lingkungan, Echa tahu kalau hasilnya tak akan dapat langsung terlihat. Semua memang butuh waktu dan tidak sebentar. Seperti apa yang terjadi pada bumi sekarang. Ferril mengembangkan senyumnya. Nabila berdeham-deham. Berupaya menyadarkannya kalau pesanan mereka sudah datang. Echa menghela nafas diam-diam. Ya semakin banyak yang diperbuat Ferril untuk menolongnya tentu saja membuatnya semakin berat untuk lebih bersikap tegas pada lelaki itu. Bagaimana pun Echa masih memiliki nurani. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap kasar begitu saja kepada orang yang telah membantunya? Ia juga tahu diri. Tapi kebaikan Ferril jelas hanya akan mempersulit hatinya. "Makan yang banyak, beyb." Ia memang terus memerhatikan Echa. Kapan lagi ada kesempatan makan di restoran begini bersama Echa meski tak benar-benar berdua? Hahaha. Nabila berdeham-deham. Suka sekali menganggunya. Tapi Ferril mana mungkin bisa mengusirnya? Yang ada, ia malah yang diminta pergi. Lagi pula, Nabila susah sangat banyak membantunya. "Terus, Ril, kalau begini, kasusnya akan berhenti begitu saja?" Nabila bertanya. Ia masih melanjutkan pembicaraan mereka sebelumnya. Ferril berdeham. Wajahnya agak-agak serius kali ini. Ia bisa serius disaat-saat membutuhkan seperti ini. "Begitu mengumpulkan bukti, ada rencana kami untuk melapor ke Kementerian Lingkungan Hidup dan juga Badan Akreditasi Nasional. Tapi itu juga tergantung dari bukti-bukti yang didapat. Kalau sampai ke pidana, rasanya enggak. Cuma ini biar ada kegaduhan aja di media massa. Kantor kalian jadi terekspos dan harapannya perusahaan lain yang sedang bekerja sama dengan kantor kalian jadi lebih waspada. Paling ya hanya menjatuhkan citra perusahaan. Tapi justru itu segalanya bagi perusahaan." Nabila menjentikan jari. Ia setuju dengan rencana itu. Karena bagonya memang hanya itu. Echa juga. Kalau menginginkan perusahaan itu sampai bangkrut, ia juga kasihan. Karena ia memikirkan para rekan kerjanya di sana. Mereka yang menggantungkan hidup di sana dan tak punya pekerjaan lain. Mencari pekerjaan kan memang tidak gampang. Dan Echa juga menyadari itu sekarang. @@@ "Daddyyy! I'm hooomeeee!" Terdengar dengusan ayahnya di dapur sana. Ia malah tertawa. "Anak berandal!" Ia makin tergelak lagi. Oke, ia memang berandal. Ia akui itu. "Bisa-bisanya kamu datang ke gudang sana!" Ia malah tertawa kemudian merebahkan tubuhnya begitu saja ke atas sofa. Ia hanya mampir untuk melihat-lihat dan malah menemukan sesuatu yang menarik. Mereka memang sedang mengincar sebuah perusahaan besar. Susah banyak rekan ayahnya yang mencoba mengusik tapi tak satupun berhasil hingga sekarang. Kini sudah diteruskan oleh para penerusnya. Dan ia tak menyangka kalau ternyata, si penerus itu memang ganteng. Seperti yang pernah ia lihat di berbagai pemberitaan. Tertarik? Ohoo. Tentu saja tidak. Hanya penasaran. Kalau dilihat dari kelakuannya, jelas berbeda dengan kebanyakan anak konglomerat yang pernah ia temui dan selidiki. Makanya ia penasaran, sebetulnya sosoknya seperti apa? "Mandi sana!" Kakinya dipukul-pukul. Ia berdesis walau tak urung beranjak juga dari sofa. Ya sambil mengomel sih. Ayahnya menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan kelakuan anaknya. Anak perempuan tapi susah sekali dijaga. Kemudian ia mengangkat teleponnya yang berdering dan terfokus hanya pada satu hal itu. Sementara anaknya yang baru selesai mandi keluar. Gadis itu melihat kebab di atas meja. Yeah hanya itu yang bisa dibuat ayahnya. Sementara ia benar-benar tak bisa memasak sama sekali. Gula dan garam saja tak tahu bedanya. Jadi jangan bertanya-tanya soal dapur dengannya. Ia duduk santai di sana dan menikmati kebab. Kemudian melihat seisi rumahnya yang masih terasa asing. Mereka belum lama berada di sini. Daerah yang sungguh padat penduduk. Namun sepertinya tak akan lama. Karena terlalu berisiko tinggal di daerah berpenduduk padat seperti ini. Meskipun ini terhitung sebagai daerah pinggiran. Pingguran Jakarta tentunya. Ayahnya pernah bilang kalau mereka berasal dari negara ini. Ya ia ingat itu. Ayahnya mengatakan itu beberapa tahun lalu. Disaat usianya masih awal dua puluhan. Mereka hendak mencari keluarga ayahnya tapi sudah tak ada. Tak tersisa satu pun. Yang ia ingat.... "Dulu pernah terjadi kebakaran besar-besaran di sini." Ayahnya hanya mengatakan hal itu. Namun ucapan itu tentu saja tak menjawab pertanyaan, kenapa mereka kembali lagi? Bukan kah ayahnya bilang kalau pernah terjadi kebakaran besar-besaran? Itu tandanya mungkin memang tak ada yang tersisa bukan? Ah ya, ia sebetulnya diantar oleh ayahnya dulu untuk meneruskan pendidikan dan hidup normal selayaknya perempuan muda yang lain. Tapi ia tak pernah ingin. Baginya, kehidupannya adalah ayahnya. Bagaimana mungkin mereka hidup terpisah? Mau alasan apapun, setidak jelas apapun kehidupan ayahnya bahkan sekalipun mengancam nyawa, ia tak akan perduli selama bersama ayahnya. Ia menarik nafas dalam. Sedari kecil, ia hanya mengenal kata ayah. Ia hanya tahu seorang ayah sebagai keluarganya dan juga pelindungnya. Meaki terlihat sangar, lelaki ini sangat bertanggung jawab dengan kehidupannya. Lalu disaat ia termenung seperti ini, ayahnya muncul. Lelaki itu berkacak pinggang. "Sampai kapan kamu akan hidup dengan ayah begini?" "Sampai daddy mati!" Ia dipelototi tapi malah tertawa. Kata-katanya memang begitu. Lama hidup di negeri barat, membuatnya terbiasa dengan cara obrolan anak dan orangtua yang jauh seperti teman. Tapi ayahnya memang benar-benar asyik untuk diajak mengobrol seperti ini. Karena ia memang seseorang yang teramat terbuka. "Sudah ayah bilang, ayah tak suka panggilan daddy!" Ia hanya tersenyum tipis. Tak perduli. Ia hanya lebih suka memanggilnya dengan sebutan daddy dan jangan pernah tanya alasannya. Daddy, itu hanya panggilan yang ia tidur selama tinggal di Australia. Ia sudah berkelana sekian tahun bersama ayahnya. Mereka benar-benar berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Tak pernah menetap lama. Ya kalau dihitung paling lama saat ia tinggal di Australia. Ia pernah bersekolah di sana tapi hanya sampai jenjang setara SMP. Setelah itu, ia juga lupa apa yang terjadi. Yang jelas, mendadak pergi dibawa ayahnya dan mereka berpindah-pindah negara. Sampai akhirnya pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia. Tapi karena ia tak mau dan menangis kala itu, ia kembali ikut ayahnya dan kembali berkelana. Tentu saja mereka meninggalkan Indonesia. Hingga beberapa bulan terakhir justru kembali ke sini karena pekerjaan ayahnya. Ia bosan di rumah jadi lebih sering ke luar. Namun tentu saja, tak akan siapapun yang tahu keberadaannya di sini. Ia tak punya teman. Hanya ayahnya dan para anak buah ayahnya. Ia tak pernah tahu namanya cinta. Tak pernah tahu sebutan itu bahkan. Namun ia tak pernah ketinggalan berita melihat cowok-cowok ganteng. Ya berhubung memang pekerjaannya tak ada, jadi menganggu hidup orang adalah hobinya. "Coba kamu pikirkan dunia luar. Banyak hal yang dilakukan oleh anak-anak perempuan seusiamu," begitu kata ayahnya lalu hilang dibalik lift rahasia di rumah ini. Ia menghela nafas. Ya memang banyak yang dilakukan. Ia pergi ke mana pun, ia selalu menemukan para perempuan sepertinya suka berkumpul dengan teman-teman dan juga mempunyai pacar. Tapi ia? Ia tak punya itu. Ia tak butuh kehidupan normal seperti itu. Karena ia tak mau ayahnya meninggalkannya. Ia tahu kalau ayahnya sangat menginginkannya agar dapat hidup seperti para perempuan muda lainnya. Tidak terkungkung di dalam rumah yang besar namun tampak kumuh dari depan. Tapi sekali ia keluar dari sini, ia tahukalau tak akan pernah bisa masuk kembali. Karena ayahnya pernah mengatakan kalau ia harus memilih dan sedari awal juga pernah mengatakan kalau tempatnya memang bukan di sini. Namun ia masih tak mau pergi. Lalu sore ini, ia kembali berdandan ria dan berjalan keluar dari rumah untuk bersenang-senang. Tentu saja ia membawa sebuah mobil hitam dengan plat khusus. Setelah itu mengemudikannya dengan kencang menuju sebuah mall elit yang ada di Jakarta. Ia tak punya tujuan lain. Selalu ke sini. Hanya untuk melihat fenomena sosial yang terjadi. Paling mudah baginya untuk menilai setiap pengunjung yang datang. Pengunjung mana yang benar-benar kaya dan yabg pura-pura kaya. Akan sangat mudah melacaknya. Untuk apa ia melakukan itu? Tak ada. Ini hanya caranya menghabiskan waktu jika sedang tak ada hal lain yang harus dilakukan. @@@ Dari makan di restoran, setidaknya Ferril berhasil menaruh sedikit kesan pada Echa kalau ia memang serius membantu Echa. Walau dengan kapasitasnya. Kini mereka sudah dalam perjalanan pulang dari Bandung. Yeah akan kembali ke Jakarta. Tentu saja ada Nabila. Echa akan ogah kalau tidak ada Nabila. Jadi gadis itu terpaksa ikut. Keberadaan Echa di Bandung memang tak lama. Gadis itu tak enak kalau terlalu lama menumpang di rumah orang. Sekalipun Nabila adalah sahabatnya sendiri. Baginya, urusan hidupnya adalah tanggung jawabnya sendiri. Orang lain tak memiliki tanggung jawab untuk kehidupannya. Apakah ia terlalu kaku dengan cara berpikirnya yang seperti ini? Kalau menurut Nabila, ya memang agak kaku. Echa juga tak akan menyangkal hal itu. Ia sudah terbiasa hidup sendiri. Ia hidup dan ibunya sendiri tak pernah menginginkannya untuk hidup bersama. Itu yang membuatnya tumbuh seperti sekarang. Padahal sebetulnya ia tak benar-benar sendiri. Dalam perjalanan menuju Jakarta ini, Echa memikirkan beberapa hal. Kalau sampai dua minggu ini ia tak mendapatkan satu murid pun atau pekerjaan lain yang lebih mumpuni, maka ia harus segera keluar dari kos yang sekarang. Walau itu juga sudah murah bulanannya tapi ia harus mengirit keuangan dengan pekerjaan yang masih belum jelas kapan dapatnya. Ia juga harus memikirkan pilihan lain yang lebih memungkinkan. Yang jelas, pulang kampung bukan lah pilihan. Tak akan ada yabg mau menampungnya. Ibunya juga pasti akan mengusirnya kalau ia hanya hidup untuk menambah beban yang akan dipikul. Padahal ia justru yang sekarang sedang memikul beban itu. Nasib menjadi anak. Durhaka mana kah? Ia tak memberikan uang pada ibunya disaat seperti ini atau kah seorang ibu yang bahkan tak sudi menafkahinya? Istilah yang selalu melekat adalah anak yang durhaka kepada orangtua. Kata-kata itu seolah memberikan kesan kalau anak harus berbakti pada orangtua sekalipun orangtuanya amat buruk. Dan membela diri hanya akan dimasukan ke dalam kategori durhaka karena membangkang perintah. Bukan kah terlalu dangkal? Rasa-rasanya agama juga tak mengaturnya sekaku itu. Dan Echa percaya kalau orangtua durhaka kepada anak itu adalah benar adanya. Ya jika kasus seperti dirinya, apakah itu tak cukup menggambarkan betapa pedihnya ia sebagai anak yang bahkan hadirnya mungkin tak diinginkan? Ia tak tahu kenapa ibu kandungnya sendiri terlihat sanagt membencinya. Ia tak paham di mana kesalahannya. Bukan kah perempuan itu yang melahirkannya? Kenapa ia malah dibenci? Kenapa tidak dibunuh saja sedari dalam kandungan dari pada hidup seperti ini? Hanya melahirkan seorang anak sepertinya yang bahkan tak pernah meminta untuk lahir ke dua ini? Iya kan? "Beyb," Ferril menahannya ketika ia ikut turun. Mereka berhenti di apartemen Nabila. Sekarang bahkan masih jam tujuh pagi. Perjalanan panjang dari jam 12 malam dan terjebak macet di tol tadi. "Kalau ada apa-apa, telepon ya?" Ia tak menjawab dan Ferril sudah kembali masuk ke dalam mobil. Nabila menyenggol lengannya lalu masuk ke apartemen. "Selalu deh dia terbaik banget kalau urusannya sama lo." Echa hanya bisa menghela nafas. Ia tahu itu. Dua hari kemudian Echa keluar. Ia pamit pulang ke kos tapi belum benar-bensr pulang. Salah satu jurnalis menghubunginya berkat postingannya soal temuan si peneliti asing. Ia hendak bertemu di salah satu warung yang ada di Jakarta, tak begitu jauh dari kantor si jurnalis. Namun tiba di sana, perjanjian mendadak dibatalkan. Padahal ia sudah kebut-kebutan dengan ojek karena takut orang itu menunggu lama. Mana hangus pula uangnya dua puluh ribu untuk si abang ojek. Tapi hasilnya kosong. Ia membalas pesan si jurnalis dengan mengatakan kalau tak apa-apa jika memang tak bisa bertemu hari ini. Padahal hatinya dongkol sekali. Ia sedang mati-matian membatasi pengeluaran tidak penting. Dan hal ini tentu saja susah membuat uangnya melayang secara cuma-cuma. Namun disaat hendak pulang, ia tak sengaja bertabrakan dengan seseorang yang baru saja keluar dari taksi. Gadis itu terkaget. Kartu nama kantornya yang biasa dikalungkan di leher terjatuh. Karena di sepanjang naik taksi tadi, ia tak mengalungkannya, ia justru hanya memegangnya. Echa melihat kartu jurnalis itu dan tanpa sadar menahan tangannya. "Ma--maaf," tukasnya. Ia hanya tak mau sia-sia. Siapa tahu bisa berbicara. Walau ia tahu nampaknya gadis ini agak terburu-buru. Echa menjelaskan dengan cepat dan memberikan beberaoa bukti terkait isu lingkungan. Ia juga menjelaskan kalau sebetulnya ia hendak bertemu dengan jurnalis lain namun mendadak dibatalkan. Perempuan itu agaknya tertarik dan mengambil beberapa bukti yang Echa punya. "Kalau sekarang, saya sedang terburu-buru. Tapi nanti mungkin saya akan coba eksekusi. Boleh minta nomor?" Dengan cepat Echa mengangguk. Kemudian gadis itu pamit. Echa menghela nafas lega. Setidaknya ia tak pulang dengan tangan kosong. Meski tak tahu apakah jurnalis itu benar-benar akan menghubunginya atau tidak. Ia segera berjalan menuju halte transjakarta. Sepertinya ia akan naik bus besar ini untuk tiba sampai di Depok. Perjalanannya pasti akan sangat panjang. Karena ia perlu berpindah-pindah bus. Tapi setidaknya ongkosnya akan sangat murah dan tak menguras kantongnya yang kian menipis. @@@ Ferril kembali disibukkan dengan urusan kantor. Lelaki itu benar-benar tampak serius. Semua urusan dengan konsultannya Echa memang hampir dibawa ke ranah hukum kalau pihak mereka tak mau mengembalikan uang muka yang telah diberikan. Dan ternyata, mantan bos Echa itu memang takut. Tak heran kalau uang itu langsung dikembalikan. Namun Ferril tetap bergerak sesuai rencananya. Mereka tetap membaw pers ke Kementerian Lingkungan Hidup dan juga Badan Akreditasi Nasional untuk melaporkan hal ini. Awalnya memang begini, sengaja dibuat ribut untuk mengundang perhatian sekaligus menjatuhkan nama perusahaan secara tak langsung. Seperti kata-katanya, semua itu memang terjadi. Echa dan Nabila juga mendengar kabar itu. Tapi hanya Nabila yang mengikuti terus perkembangannya. Echa sudah tak tertarik. Karena ia sibuk memikirkan nasibnya. Beberapa hari ini pun entah berapa rumah yang ia datangi hanya untuk menawarkan les privat. Awalnya memang melalui agen tapi si agen itu tak memberikan tawaran baru lagi. Ia juga mencoba membuat akun dan berharap dapat mengajar secara online. Namun ternyata percuma. Daftarnya susah dan akunnya tak kunjung terverifikasi. Entah apa yang salah. Ia hampir menyerah dan pusing lagi dengan kehidupannya. Sementara Ferril baru saja menghadiri sebuah acara. Gadis yang pernah melihat keberadaannya di gudang waktu itu juga ada. Namun ia hanya melihat dari jauh dengan senyuman yang sulit untuk diartikan. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN