02 - Intim.

3316 Kata
Bi Sari melangkah menuju halaman belakang. Tadi saat melewati kamar Anton, pintu kamarnya sedikit terbuka dan suasana kamar masih tampak gelap gulita, pertanda kalau sang empunya tidak berada di tempat. Kemungkinan Anton berada di halaman belakang, tempat di mana Anton banyak menghabiskan waktu senggangnya. Begitu sampai di halaman belakang, Bi Sari mendapati Anton sedang duduk termenung, entah memikirkan apa, mungkin memikirkan Sein. "Den Anton." Bi Sari menepuk ringan bahu kanan Anton. Anton yang sejak tadi asik melamun terkejut, lalu dengan cepat menoleh ke arah belakang. "Bibi, Anton pikir siapa," gumamnya sambil menghela mengusap d**a, mencoba menormalkan jantungnya yang berdetak dengan cepat, efek terkejut. "Makanya jangan melamun, Den, nanti kesambet loh!" Peringat Bi Sari disela tawanya. "Enggak kok, Bi. Anton cuma lagi mikir aja." Anton merubah posisi duduknya menghadap Bi Sari yang kini sedang merapihkan meja yang sedikit berantakan akibat ulahnya. "Bi, Sein udah tidur?" tanya kemudian. "Sudah, Den. Mending Den Anton juga istirahat, kan sama-sama capek,” nasehat Bi Sari. Apa yang Bi Sari katakan memang benar. Anton merasa tubuhnya lelah dan pegal-pegal, belum lagi kepalanya yang pusing memikirkan semua beban pekerjaan di kantor, lalu di tambah dengan masalah pribadinya, terutama masalahnya dengan Sein. "Ya sudah, Anton juga mau istrirahat. Anton pamit ke atas ya, Bi," ucap Anton sambil berdiri dari duduknya. "Iya Den, istirahat aja yang cukup biar gak sakit." Anton mengangguk, lalu berlalu meninggalkan Bi Sari. Anton menaiki setiap undakan anak tangga dengan penuh semangat, bahkan senyum di wajah tampannya terus merekah. Anton berharap Sein sudah tertidur pulas, karena dengan begitu Anton bisa menyelinap masuk ke dalam kamar wanita itu tanpa terpergok, dan berdoa semoga pintunya tidak terkunci, mengingat Anton tidak mempunyai kunci pintu cadangan kamar Sein. Tak butuh waktu lama bagi Anton untuk sampai di lantai 2, dan sekarang, Anton sudah berdiri tepat di depan pintu kamar wanitanya, Sein. Berkali-kali Anton menarik dalam nafasmya, lalu menghembuskannya secara perlahan. Jujur saja, Anton merasa gugup, sekaligus juga takut. Anton gugup karena ia akan menyelinap memasuki kamar Sein, takut kalau aksinya terpergok oleh yang takutnya belum tidur. Bahkan sekarang jantungnya berdebar dengan cepat, sampai ia bisa mendengar sendiri detak jantungnya. Setelah merasa tenang, dengan sangat hati-hati Anton membuka pintu kamar, melongokan sedikit kepalanya untuk melihat situasi dalam kamar. Saat merasa keadaan aman, Anton masuk, lalu menutup pintu kamar secara perlahan, berusaha agar tidak menimbulkan suara yang berpotensi membangunkan Sein. Anton menyeka keringat yang membasahi keningnya, lalu mengunci pintu kamar. Anton benar-benar seperti maling yang takut terpergok sedang mencuri. Padahal ini adalah rumahnya sendiri. Anton melepas sepatu, dan menaruhnya di rak yang sudah tersedia. Anton membuka jasnya, lalu melemparkannya ke sembarang arah dan kini hanya menyisakan kaos putih polos yang menutupi tubuh kekarnya juga celana bahan yang tak mungkin Anton lepaskan. Anton melangkah mendekati tempat tidur, tersenyum saat melihat wajah damai Sein. Lihatlah, betapa cantik wanita yang kini sedang tertidur pulas di hadapannya. Wanita yang terluka akibat perbuatan dan juga pilihannya. Wanita yang memilih pergi menjauh dari kehidupannya saat tahu tidak akan mendapatkan kesempatan dan harapan lagi. Wanita yang sudah ia sia-siakan. Anton menyibak selimut yang menutupi tubuh mungil Sein, lalu berbaring di depan Sein. Dengan perlahan Anton mengangkat kepala Sein, menjadikan tangan kirinya sebagai bantal. Sein tentu saja terusik, tapi tak sampai membuatnya terbangun. Jemari tangan kanan Anton terulur, membelai wajah Sein dengan penuh kelembutan. Matanya mengamati dengan seksama wajah wanita yang selama ini selalu memenuhi otak dan pikirkannya. Wajah yang selama kurang lebih 2 tahun ini hanya bisa ia lihat dari jarak 100 meter. Kenapa Anton tidak bisa melihat Sein dari jarak dekat? Kenapa harus dari jarak 100m? Semua itu Anton lakukan karena Ahmad dan Lucas melarangnya mendekati Sein dengan alasan kalau mereka takut di amuk Sein dan juga Ani. Dengan mata terpejam, Anton mendekatkan wajahnya, mengecup kening, kedua mata Sein, dan berakhir di bibir ranum Sein yang sudah menggodanya sejak tadi. Anton hanya memberi kecupan, tidak lebih. Anton takut sentuhannya akan membangunkan Sein. Anton terkekeh, saat Sein menenggelamkan wajahnya di ceruk lehernya kemudian memeluk erat pinggangnya, di sertai gumaman yang keluar dari mulutnya. Anton tidak tahu apa yang Sein katakan karena suaranya tidak terdengar jelas. "I miss you, Seina." Anton mendekap erat tubuh Sein, seolah takut kehilangan Sein. "Akhirnya, sekarang Om bisa memeluk kamu lagi," bisiknya dengan mata terpejam, menyusul Sein ke dunia mimpi. Mentari sudah terbenam, menyisakan langit yang sudah berubah menjadi gelap gulita tanpa sinar rembulan. Sepertinya Anton dan Sein benar-benar kelelahan, mengingat mereka baru saja menepuh perjalan panjang dari London ke Jakarta. Sebenarnya Sein dan Anton berada dalam satu pesawat yang sama. Hanya saja Anton memilih untuk duduk berjauh dengan Sein. Anton tidak akan membiarkan Sein sendiri, meskipun ada beberapa pengawal yang menemani Sein atas perintah Ahmad dan Lucas, tapi Anton akan merasa jauh lebih tenang saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi Sein. "Eungh...." Sein melenguh, mencoba merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa kaku dan juga pegal. Sepertinya Sein harus membeli koyo atau pergi ke spa untuk menghilangkan rasa pegal di tubuhnya. Mata Sein terbuka, melirik jam di dinding kamar yang menunjukkan pukul 8 kurang 15 menit. "Kok berat, ya?" gumam Sein sambil menunduk saat merasa ada beban berat menimpa perutnya. Deg... Jantung Sein berdetak sangat cepat saat tahu kalau ada tangan yang melingkar di pingganggnya, bahkan Sein bisa merasakan terpaan nafas hangat yang berhembus di ceruk lehernya, terasa sangat menggelitik. Sein tahu kalau pria yang saat ini memeluknya adalah Anton, aroma wangi parfume Anton sangat familiar dalam ingatan Sein. Sein jelas tahu parfume apa yang Anton pakai, karena Sein sendiri yang membelikannya sebagai hadiah ulang tahun Anton beberapa tahun lalu, lebih tepatnya sehari sebelum pernikahan Anton dil aksanakan. Sein bingung, kenapa Anton bisa tidur bersamanya? Seingatnya, tadi ia tidur sendiri. Sein membelai punggung tangan Anton yang berada di perutnya, lalu menautkan jemarinya dengan jemari tangan kanan Anton. Ini adalah pertama kalinya setelah 3 tahun, Sein dan Anton berada dalam jarak sedekat ini. Kedua mata Sein berkaca-kaca, saat bayangan masa lalu yang sangat menyakitkan itu kembali berputar dalam benaknya. Dengan cepat Sein menyeka air mata yang membasahi wajahnya, dan dengan perlahan mencoba melepaskan tangan kekar Anton dari perutnya. Tapi usaha Sein tidak membuahkan hasil karena Anton memeluknya dengan erat. Sein mencoba berbalik untuk melihat wajah Anton, tapi lagi-lagi tak bisa karena pelukan Anton benar-benar erat. Sein diam dengan mata yang kembali terpejam begitu merasa ada pergerakan dari Anton. Sekarang Sein benar-benar gugup dan berharap semoga Anton tidak menyadari kalau dirinya sudah terbangun lebih dulu. Mata Anton sudah terbuka, lalu melirik sekilas jam di dinding kamar, menghela nafas panjang ketika sadar kalau dirinya dan Sein sudah tertidur cukup lama. Anton mengecup puncuk kepala Sein, lalu membisikan sebuah kalimat yang mampu membuat tubuh Sein menegang. Kalimat yang sama sekali tidak pernah Sein pikir dan Sein harap akan Anton ucapkan, setidaknya untuk saat ini. Dengan pelan, Anton menarik tangannya yang sejak beberapa jam lalu menjadi sandaran kepala Sein. Tangannya terasa kebas dan juga pegal, tapi tak masalah yang penting Sein merasa nyaman saat tertidur dalam pelukannya. Anton menyibak selimut, lalu beranjak turun dari tempat tidur dan kembali menyelimuti tubuh Sein sebatas pinggang. Anton tersenyum dan dengan penuh kasih sayang mengecup kening, kedua mata Sein, lalu berakhir di bibir ranum Sein. Apa yang Anton lakukan berhasil membuat tubuh Sein menegang dengan jantung yang semakin berdegup cepat. Tanpa mengambil kembali jas dan sepatunya, Anton melangkah keluar dari kamar Sein. Begitu pintu kamar sudah tertutup, Anton menyandarkan punggungnya di tembok dengan senyum merekah yang terus menghiasi wajahnya. Anton tahu kalau Sein sudah terbangun, karena itu Anton sengaja mengecup bibir Sein. Ingin tahu bagaimana reaksi tubuh Sein terhadap sentuhannya. Anton tahu kalau sentuhannya mempunyai pengaruh besar terhadap Sein. Anton menghela nafas, melangkah menuju kamarnya untuk membersihkan diri dan bersiap untuk makan malam. Setelah pintu tertutup, mata Sein kembali terbuka dengan jemari yang kini menyentuh bibirnya. Akh, Sein ingin sekali menjerit, entah harus merasa senang atau sedih dengan apa yang baru saja terjadi. Sial! Anton baru saja mengecup bibirnya dan itu menimbulkan efek yang luar biasa. "Sadar Sein, sadar." Sein menggeleng seraya menepuk-nepuk keningnya saat dengan lancang otaknya membayangkan sesuatu yang tidak seharusnya Sein bayangkan. Sein membemankan wajahnya dalam tumpukan bantal di barengi dengan sumpah serapah yang tentu saja tertuju pada Anton. Setelah puas mengeluarkan sumpah serapahnya, Sein menyibak selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Sepertinya Sein butuh mandi untuk bisa menjernihkan otak dan juga pikirkannya dari bayang-bayang Anton yang hari ini bersikap tidak normal. Hal yang cukup membuat Sein was-was. 1 Jam sudah berlalu, Sein baru saja selesai mandi dan kini sedang mematut penampilannya di hadapan cermin besar yang menempel di tembok. Senyum terus tersungging di wajah Sein, merasa senang karena piyama yang kini menempel di tubuhnya adalah salah satu piyama kesukaannya. Saat memasuki walk in closet, Sein di buat terpesona dan takjub dengan isinya. Semua barang kesukaan Sein benar-benar ada di sana, dari mulai sepatu, tas, dress, piyama, bahkan cd dan juga bra. Sein tentu saja penasaran, siapa orang yang sudah menyiapkan semua keperluannya sampai hafal betul dengan warna, dan juga ukurannya. Mungkin Ani yang menyiapkannya dan Sein akan berterima kasih saat nanti Ani sudah pulang. Sein memegang perutnya yang sejak tadi terus berbunyi minta di isi. Sein merasa lapar, tapi Sein enggan untuk keluar kamar, Sein takut bertemu dengan Anton. "Keluar atau enggak, ya?" Sein terus menimang-nimang pilihannya dan setelah kurang lebih 10 menit berpikir akhirnya Sein memutuskan keluar kamar, percuma menungu Bi Sari karena Sein yakin, kalau Anton tidak akan membiarkan Bi Sari membawakannya makan malam. Dengan langkah pelan, Sein menuruni anak tangga. Terus mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan, berharap tidak bertemu dengan Anton. Pria yang tadi sudah mencuri ciuman dari bibirnya. Kedua jemari Sein saling bertaut, Sein gugup dan tidak tahu harus bersikap seperti apa saat nanti bertemu dengan Anton, apa yang tadi Anton lakukan cukup membuat pikiran, hati, dan juga perasaaan Sein terganggu. "Non, jangan melamun!" Sebuah peringatan yang cukup tegas membuat fokus Sein teralihkan. Sein menoleh pada asal suara, tersenyum saat melihat Bi Sari berada di undakan tangga terakhir. Dengan penuh semangat, Sein menuruni tangga dan langsung memeluk manja Bi Sari. "Bibi Sein laper, mau makan," adu Sein manja, membuat Bi Sari yang mendengarnya tertawa seraya membalas pelukan Sein. "Bibi masak ayam saus mentega, khusus buat Non Sein." "Saus mentega?" tanya Sein memastikan yang langsung Bi Sari jawab dengan anggukan kepala. "Iya, ayamnya bagian paha dan sayap semua. Pokoknya Bibi masak khusus buat Non Sein." "Yeay!" Sein bersorak kegirangan, luar biasa senang. Sein sudah lama ia tidak makan ayam terutama ayam saus mentega buatan Bi Sari yang lezatnya tak tertandingi. "Ayo, Den Anton juga sudah menunggu Non Sein di ruang makan." Jantung Sein kembali berdetak semakin cepat begitu mendengar Bi Sari menyebut nama Anton, dan Sein tahu kalau perasaannya terhadap Anton sama sekali tidak berubah, mungkin malah semakin bertambah kuat. Sepanjang perjalanan tak hentinya Sein dan Bi Sari bersenda gurau, terutama Bi Sari yang terus saja melemparkan godaan pada Sein. Memberi tahu Sein apa saja yang terjadi selama Sein tidak ada, meskipun tidak semuanya. Langkah Sein terhenti, Sein begitu terpesona dengan pria yang kini sedang duduk dan berkutat dengan ponselnya, siapa lagi kalau bukan Anton. Entah memang ini hanya perasaan Sein atau memang benar adanya kalau semakin bertambahnya usia, kadar ketampanan Anton malah semakin meningkat dan Anton juga semakin hot. Sein menggeleng, mencoba mengusir bayang-bayang Anton dari otaknya. Tidak, Sein tidak boleh memikirkan hal yang aneh-aneh. Apalagi membayangkan sesuatu yang tidak seharusnya. "Kenapa, Non?" Bi Sari menatap Sein dengan kening berkerut saat melihat Sein menggelengkan kepala. "Eh, enggak apa-apa kok, Bi," jawab Sein gugup. Dalam hati Sein merutuki otaknya yang dengan lancang memikirkan Anton. Anton mendongak, mengalihkan perhatiannya pada Bi Sari dan Sein yang berdiri tak jauh darinya. Anton mematikan ponselnya, lalu melepas kaca mata yang sejak tadi bertengger di hidung mancungnya. Bi Sari kembali menuntun Sein mendekati meja makan yang sudah terisi penuh dengan beraneka ragam makanan kesukaan Sein. Dari mulai makanan berat, makanan penutup, dan juga aneka jus buah, yang tentu saja membuat rasa lapar Sein semakin menjadi. "Ayo Non makan, katanya laper." Bi Sari membuka piring Sein dan mendekatkan beberapa lauk dan sayur ke hadapan Sein. Bi Sari mengambil 1 gelas jus yang jaraknya berdekatan dengan Anton, karena Bi Sari pikir Sein akan duduk di dekat Anton. "Den, Bibi pamit pulang ya," pamit Bi Sari pada Anton sesaat setelah melayani Sein. "Iya Bi, kunci rumah Bibi bawa aja. Anton sudah buat duplikatnya kok." "Baik, Den." Bi Sari melangkah mendekati Sein, dan memberikan segelas jus mangga kesukaan Sein. "Jusnya di minum Non, sekalian Bibi pamit pulang dulu ya." Sein memegang pergelangan tangan Bi Sar, membuat langkah Bi Sari terhenti. "Kenapa Non, Non Sein mau jus buah yang lain?" tanya Bi Sari memastikan. Sein menggeleng, menatap Bi Sari dengan raut wajah bertanya. "Bibi mau pulang? Pulang ke mana?" tanyanya penasaran. Sein pikir Bi Sari menetap di rumah Anton. "Bibi mau ke rumah sakit, cucu Bibi lagi di rawat," jawab Bi Sari. "Oh ok, hati-hati ya, Bi. Titip salam buat cucu Bibi, semoga cepat sembuh." Sebenernya Sein merasa tidak rela kalau harus di tinggal berdua dengan Anton, tapi saat mendengar alasan Bi Sari membuat Sein tidak tega kalau harus menahan Bi Sari di sini. "Iya Non, nanti Bibi sampaikan salamnya. Non makan yang banyak, biar tambah kuat." Bi Sari menepuk ringan puncuk kepala Sein membuat Sein tersenyum, seraya mengangguk kepala. "Pasti Bi," sahut Sein mantap. Setelah berpamitan pada Anton, Bi Sari bergegas pulang, meninggalkan Anton dan Sein dalam keadaan hening. "Sein, duduk di sebelah sini." Dengan gerakan mata, Anton meminta agar Sein duduk di sampingnya, tapi Sein malah menggeleng tanpa mau berucap atau melirik Anton. "Sein!" "Berisik," cibir Sein. Sein bahkan sama sekali tidak menoleh atau melirik Anton, benar-benar mengabaikan kehadiran Anton, menganggap seolah Anton tidak ada. Anton menghela nafas, mencoba meredam emosinya yang mulai tersulut. Sepertinya Anton harus banyak bersabar menghadapi sifat keras kepala Sein yang sialnya sangat menjengkelkan. Anton beranjak, lalu melangkah mendekati Sein dan duduk tepat di samping Sein. "Ih, ngapain deket-deket?" Sein beranjak, berniat pindah tempat duduk, tapi kalah cepat karena Anton sudah mencekal pergelangan tangannya. "Duduk Sein!" Titah tegas Anton, tak lupa memberi Sein tatapan tajam. "Gak mau!" sungut Sein. Sein mencoba melepaskan jemari Anton dari pergelangan tangannya. "Lepas gak!" Murka Sein, balik menatap Anton dengan garang. "Enggak akan!" Anton ingin sekali tertawa begitu melihat raut wajah kesal Sein yang menurutnya sangat lucu dan juga menggemaskan. Tapi Anton takut kalau Sein akan lebih marah lagi saat mendengar dirinya tertawa. "Duduk Sein, atau Daddy cium." Anton sama sekali tidak berbohong, Anton akan benar-benar mencium Sein kalau Sein tidak mau menuruti perintahnya. Sein diam terpaku dengan jantung yang berdetak dengan sangat cepat begitu mendengar Anton menyebut dirinya sendiri dengan sebutan Daddy, membuat Sein mau tak mau kembali mengingat masa lalunya. Dulu, Sein selalu memanggil Anton dengan sebutan Daddy, karena dalam diri Anton Sein menemukan sosok Daddynya yang tewas dalam kecelakaan zet pribadi keluarga mereka. "Sein." Panggilan Anton membuat Sein kembali ke alam sadar. "Lepasin!" Sein sama sekali tidak mengidahkan peringatan Anton dan terus berusaha melepaskan jemari Anton dari pergelangan tangannya. "Lepas ih, sakit tahu!” Sein kembali berteriak, tapi itu tak serta merta membuat Anton melepaskan pergelangan tangan Sein dari cengkramannya. Karena kesal, akhirnya Anton melepaskan pergelangan tangan Sein. Tapi sebagai gantinya, Anton menarik pinggang Sein membuat Sein jatuh terduduk dalam pangkuan Anton yang sejak tadi duduk dengan posisi menyamping. Sein tentu saja menjerit dan mencoba turun dari pangkuan Anton, tapi pelukan erat Anton membuat usaha yang Sein lakukan sia-sia. "Diamlah Seina Latisya Prasetyo." Dulu, saat Anton menyebut nama Sein dengan nama lengkap biasanya ampuh untuk membuat Sein terdiam. Sein memang tidak lagi memberontak, tapi kalimat yang selanjutnya Sein ucapkan cukup membuat Anton terkejut. "f**k you!" Mata Anton melotot begitu mendengar Sein mengumpat. Ini adalah pertama kalinya Anton mendengar Sein mengumpat, terlebih Sein baru saja mengumpatinya. Apakah ada kejadian yang lebih sial lagi selain mendapat umpatan dari Sein? Anton rasa tidak ada. "Jangan mengumpat Sein." Anton menggeram lalu menggigit pipi Sein, membuat Sein meringis kesakitan dan menatap Anton dengan mata melotot. "Sakit tahu!" Sein memukul pundak Anton, kesal karena Anton menggigit pipinya dengan sangat kuat, rasanya sakit. "Siapa yang ngajarin kamu mengumpat, hm?" Anton memegang dagu Sein, membuat Sein mau tak mau bersitatap dengan Anton. "Kepo," ketus Sein. Sein memalingkan wajah dengan tangan yang kini bersedekap. "Sekali lagi mengumpat, Daddy hukum nanti!" Anton sungguh-sungguh akan menghukum Sein kalau Sein kembali mengumpat. "Bodo," jawab Sein acuh. "Pending dulu marahnya, sekarang waktunya makan." Anton menarik piring yang tadi sudah Sein isi dengan beraneka ragam lauk pauk dan sayur mayur. "Buka mulutnya Sein." Anton menarik dagu Sein, membuat Sein kembali bersitatap dengannya. "Sein bisa makan sendiri," cicit Sein seraya menunduk. Tidak tahukah Anton kalau saat ini jantung Sein benar-benar berdetak dengan sangat cepat, apalagi dengan posisi mereka yang terbilang cukup intim, membuat Sein gugup. "Sein, buka mulutnya." Anton kembali berujar, kali ini terselip nada tegas dalam kalimatnya. "Sein mau makan sendiri." Sein tetap kekeh pada pendiriannya. Sein bergerak, mulai merasa tidak nyaman dengan posisi duduknya. "Jangan gerak-gerak, Sein." Anton menggeram, saat merasa miliknya mulai terganggu dengan ulah Sein. Sein diam, dan tidak lagi bergerak atau meronta saat merasakan sesuatu di bawah bokongnya menonjol. Ugh, Sein jelas tahu apa itu, dan sepertinya junior Anton sangat besar. "s**t Sein! Berhenti memikirkannya!" umpat Sein dalam hati. "Ma-maaf," jawab Sein terbata. Sedikit merasa bersalah dan juga gugup di saat yang bersamaan. Sein bukan wanita polos, dan ia tahu betul apa yang kini menonjol di bawah bokongnya. "Mau pakai tangan atau bibir?" tanya Anton, menatap Sein dengan alis bertaut. "Tangan," cicit Sein. Sein menunduk dan tidak berani menatap Anton. Anton mengangguk dan mulai menyuapi Sein, sesekali di selingi menyuapi dirinya sendiri. Ternyata makan 1 piring berdua itu lebih terasa enak dan juga lezat. "Lagi?" Anton mengusap noda di sudut bibir Sein, membuat wajah Sein merona di buatanya. "Enggak, Sein udah kenyang," jawab Sein seraya menggeleng. Anton meraih gelas yang berisi air putih, lalu memberikannya pada Sein. “Habiskan air minumnya, Sein.” "Turun Sein, Om mau cuci tangan dulu." Tanpa menunggu 2 kali, Sein turun dari pangkuan Anton dan memilih untuk duduk berjauhan dengan Anton. Anton hanya tersenyum, lalu melangkah menuju dapur untuk mencuci tangannya yang penuh dengan saus. Saat kembali dari dapur, Anton sudah tidak lagi melihat kehadiran Sein. Anton bergegas merapihkan meja makan, lalu melangkah keluar dari ruang makan untuk mencari di mana Sein berada. Dengan langkah lebar Anton menaiki tangga saat melihat Sein berada di undakan tangga paling atas. Sein menjerit, merasa terkejut saat tubuhnya tiba-tiba melayang. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Anton. "Turunin!" Sein menjerit, dan terus menggerakan kakinya, berharap Anton mau menuruti permintaannya. "Diem Sein nanti kita jatuh," peringat Anton lembut. Sein mengabaikan peringatan Anton dan sepanjang jalan, tak hentinya Sein menjerit meminta agar Anton menurunkannya. Anton seolah tuli dan mengabaikan semua jeritan dan umpatan yang Sein tunjukan padanya. Biarkan saja Sein menjerit, nanti juga berhenti sendiri karena lelah. Dengan susah payah Anton membuka pintu kamar, dan tanpa menutup pintu, Anton melangkah menuju sofa hitam yang berada tak jauh dari tempat tidur. Anton duduk dengan Sein yang kini berada di pangkuannya. "Fu–" Kata umpatan yang akan Sein keluarkan langsung teredam, begitu bibir Anton menempel di bibirnya, melumat bibir atas dan bawah Sein dengan lembut. Sein tentu saja berontak, mencoba melepaskan bibirnya dari Anton. Anton menahan tengkuk Sein, menggigit gemas bibir bawah Sein saat Sein tak kunjung membuka mulut. Sein mengerang, dan secara spontan membuka mulutnya. Anton melesakan lidahnya, menggoda Sein agar Sein mau membalas ciumannya. Anton melepas tautan bibirnya saat merasakan sesuatu yang basah mengalir membasahi pipinya. Anton membuka mata, terkejut saat melihat Sein menangis dengan mata terpejam. Anton merangkum wajah Sein, menghapus air mata yang membasahi pipi Sein. Anton mendekap tubuh Sein, menyembunyikan wajah Sein di ceruk lehernya. "Maaf, sayang, maaf," bisiknya penuh penyesalan. Sein membalas pelukan Anton, menghirup aroma tubuh pria yang sampai saat ini masih bertahta kuat di hatinya. "Maaf, jangan menangis lagi, Om mohon." Anton mengecup puncuk kepala Sein dengan penuh kasih sayang seraya terus menggunamkan kata maaf, membuat tangis Sein semakin menjadi. Tangisan Sein menyayat hati Anton, dan membuat rasa bersalah Anton semakin besar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN