03 - Bertengkar.

1986 Kata
Anton terus mengetuk pintu kamar Sein, mendesah frustasi karena setelah kurang lebih 5 menit menunggu, tak kunjung ada jawaban dari dalam. Akhirnya, Anton memutuskan untuk memasuki kamar Sein. Anton takut kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Sein. Dirinya tidak akan bisa tenang sebelum melihat Sein dengan mata kepalanya sendiri. Semalam, Sein tertidur pulas dalam pelukan Anton setelah menangis selama berjam-jam lamanya, bahkan mata Sein sampai membengkak karena terlalu lama menangis. Anton yakin kalau saat terbangun nanti, pasti Sein akan merasa pusing karena efek terlalu lama menangis. Dengan pelan dan hati-hati, Anton mendorong pintu, melongokan sedikit kepalanya untuk melihat situasi di dalam kamar. Dalam hati Anton merutuki sikapnya yang seperti mau maling. Anton menghela nafas panjang, merasa lega begitu melihat Sein masih tertidur dengan posisi membelakangi pintu. "Masih tidur ternyata," gumamnya sambil melangkah memasuki kamar Sein. Anton duduk di depan Sein, lalu menyibak selimut tebal yang hampir menutupi seluruh tubuh mungil Sein. Sekarang Anton bisa dengan jelas melihat wajah Sein, pria itu meringis saat melihat betapa bengkaknya mata Sein. "Sein, ayo bangun." Dengan pelan, Anton menyingkirkan rambut panjang Sein yang menutupi sebagian wajahnya, menyampirkan rambut tersebut ke belakang telinga Sein. Sein merubah posisinya menjadi terlentang, merasa terganggu dengan sentuhan dan belaian lembut di wajahnya. Mata Sein terbuka, mengerjap beberapa kali karena silaunya cahaya matahari menerpa penglihatannya. Sein menoleh, cukup terkejut dengan kehadiran Anton. "Don’t touch me." Sein menepis tangan Anton yang akan membelai wajahnya. Anton cukup terkejut dengan respon yang Sein tunjukan, tapi tak mengurungkan niatnya untuk kembali membelai wajah Sein. Tapi, lagi-lagi Sein menepis tangan Anton, bahkan kali ini Sein memberikan tatapan tajam pada Anton. Anton menghela nafas, sedikit bergeser menjauhi Sein yang kini merubah posisinya menjadi duduk bersandar di kepala ranjang dengan selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya. "Jangan mendekat!" Peringat Sein tegas, menatap Anton dengan nyalang. Sekarang Anton benar-benar bingung dengan perubahan sikap Sein yang berubah drastis hanya dalam kurun waktu hitungan jam. Semalam mereka baik-baik saja dan tidak terlibat dalam masalah apapun, tapi kenapa sekarang Sein seperti ini? Apa karena masalah semalam? "Sein, apa Om melakukan kesalahan?" tanya Anton lembut, menatap Sein dengan sorot mata sendu. Wajah Sein berpaling begitu melihat tatapan sendu Anton. Sein benar-benar enggan untuk bersitatap dengan Anton. "Sein masih ngantuk, Sein mau tidur lagi." Bukannya menjawab pertanyaan Anton, Sein malah mengutarakan keinginannya yang secara tidak langsung meminta agar Anton keluar dari kamar. "Jawab dulu pertanyaan, Om." Anton tidak akan menyerah begitu saja. Anton harus tahu apa alasan Sein bersikap ketus padanya. Sein kembali menatap Anton, dengan raut wajah dingin. Hati Anton berdenyut nyeri karena tatapan dingin yang Sein berikan padanya. "Sein mau tidur lagi, Om." Sein menekan setiap kata yang terucap, berharap agar Anton mengerti dan mau menuruti kemauannya. "Sein!" Nada bicara Anton mulai berubah, dan Sein tahu kalau emosi Anton mulai tersulut. "Apa? Om berharap dengan kejadian semalam bisa membuat keadaan kita berubah? Jangan harap! Karena itu sama sekali tidak akan merubah keadaan kita!" Sein akhirnya melampiaskan semua emosinya yang sejak semalam ia pendam. Sampai saat ini Sein masih bertanya-tanya tentang apa alasan Anton menciumnya dan juga berkali-kali mengucapkan kata maaf. Sein bingung, lebih bingung karena Anton sama sekali tidak menjelaskannya. "Sein!" Entah kesal karena mendengar ucapan Sein yang memang benar adanya, atau kesal karena Sein yang ternyata sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sudah ia lakukan semalam, sampai tanpa sadar Anton baru saja membentak Sein. Hal yang sangat jarang Sein terima dari siapaun, tak terkecuali Ahmad, Ani, atau Lucas sekalipun. Begitu melihat mata Sein berkaca-kaca, membuat Anton sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. "Maaf, Om gak bermaksud membentak kamu." Anton tentu saja menyesal dengan apa yang baru saja ia lakukan, tidak seharusnya ia tersulut emosi. "Keluar!" Sein menunjuk pintu, tapi Anton sama sekali tidak berniat untuk beranjak dari duduknya. Anton malah mendekati Sein, tapi Sein pun langsung menghindar dari Anton dengan cara bergeser menjauhi Anton. "Keluar!" Sein akhirnya berteriak, kesal karena Anton masih tidak menuruti permintaannya. "Ok, Om keluar." Dengan enggan Anton keluar dari kamar Sein. Anton tidak mungkin memaksakan kehadirannya, kalau Sein sendiri tidak mengkhendakinya. Setelah memastikan Anton benar-benar keluar kamar, Sein lantas berbaring, dengan tubuh bergetar karena isak tangis. Andai saja Anton menjelaskannya semuanya, pasti ia tidak akan kesal dan berpikir yang tidak-tidak. Punggung Anton bersandar di daun pintu kamar Sein yang baru saja tertutup. Berkali-kali Anton menghela nafas, mencoba meredam gejolak emosi yang bergemuruh di dadanya. Baiklah, Anton akan memberi Sein waktu, dan setelah itu, ia akan membicarakan masalah mereka, lebih tepatnya hubungan mereka. Anton lantas menuruni tangga, ia juga butuh menenangkan pikirannya. Anton memilih ruang keluarga untuk merenungkan semua permasalahan dalam hidupnya. Entah berapa lama Anton melamun, sampai-sampai membuatnya tidak sadar dengan kehadiran Ahmad dan Ani yang sudah sejak 5 menit lalu terus memperhatikan gerak-gerik Anton dari balik tembok pemisah antara ruang keluarga dan ruang tamu. Sepertinya pikiran Anton benar-benar berada di dunia lain, karena Anton sama sekali tidak merasa terganggu dengan suara klakson mobil yang tadi Ahmad bunyikan berkali-kali. "Pah, anak kita kayaknya mulai stress deh," ungkap Ani khawatir. "Gampang Mah, tinggal kita masukin ke RSC aja pasti langsung sembuh," saran Ahmad. Ani menoleh, menatap pria yang berstatus sebagai suaminya ini dengan mata memicing begitu mendengar jawaban Ahmad yang sama sekali tidak Ani mengerti. Baru kali ini Ani mendengar istilah RSC, karena yang Ani tahu hanyalah RSJ yaitu rumah sakit jiwa. "RSC apaan sih, Pah, kok Mamah baru denger istilahnya ya?" Dahi Ani berkerut, sedang mencoba menebak apa singkatan dari RSC. "Udah nemu jawabannya?" tanya Ahmad. Ani menggeleng, "Belum, kasih tahu dong RSC itu apaan sih?" "Makanya Mamah jangan kejam," kekeh Ahmad. "Kejam apaan?" balas Ani tidak terima. Enak saja Ahmad bilang kalau dirinya kejam, padalah pada kenyataannya Ahmad jauh lebih kejam. Contoh saja pada Anton. Ahmad benar-benar menghukum Anton dengan cara melarang Anton mendekati, menghubungi, atau bahkan menemui Sein. Ahmad hanya memperbolehkan Anton untuk memantau Sein dari jarak 100 meter. Bukankah itu kejam? "Kejam itu singkatan dari kata ketinggalan jaman, Mah," jelas Ahmad. Ahmad merasa puas begitu melihat raut wajah istrinya berubah kecut. "Papah ih, Mamahkan nanya serius bukan bercanda." Ani menginjak ujung sepatu Ahmad, membuat sang empunya meringis kesakitan. Bagaimana tidak sakit, sepatu yang Ani pakai kan bukan sepatu biasa. "Mah, sakit tahu," ringis Ahmad memelas sambil megang ujung sepatunya yang baru saja di injak Ani yang tepat mengenai jemari kakinya. "Syukurin!" sungut Ani. Ani berlalu dari hadapan Ahmad, memilih menghampiri Anton yang masih saja asyik melamun. Anton bahkan sama sekali tidak terganggu dengan pertengkaran yang terjadi antara Ani dan Ahmad. Bulu kuduk Ani meremang ketika mendengar Anton tertawa cekikikan sendiri. Sepertinya Anton benar-benar sudah tidak waras, dan Ani harus segera menyelamatkan Anton sebelum semuanya terlambat. Dengan kekuatan penuh, Ani memukul pundak kanan Anton menggunakan majalah yang memang sengaja ia bawa untuk melancarkan aksinya tersebut. Yang di pukul tentu saja meringis, merasa sakit di bagian pundaknya yang baru di pukul. Anton menoleh ke samping kanan, berniat memarahi orang yang baru saja memukul dan membuat semua khayalan indah tentang dirinya dan Sein sirna begitu saja. Semua umpatan dan sumpah serapah yang akan Anton keluarkan tiba-tiba hilang menguap entah ke mana ketika melihat siapa orang yang baru saja memukulnya. "Apa? Berani kamu marah sama Mamah, iya?" tanya Ani galak. Bahkan kedua tangan Ani kini berkacak pinggang saat melihat mata Anton melotot dengan mulut yang siap mengeluarkan umpatannya. Anton menggeleng, lalu menggaruk tengkuknya yang Ani yakin tidak gatal sama sekali. "Enggak Mamah cantik, tapi lain kali kalau mau mukul jangan kuat-kuat dong, kan sakit," ucapnya sambil memegang bahunya yang terasa sakit. "Harusnya kamu tuh bersyukur karena Mamah pukul kamu pakai majalah, tadinya mau Mamah pukul kamu pakai panci," cibir Ani. Anton meringis, tiba-tiba merasa ngilu di bagian bahunya begitu mendengar penuturan Ani. Anton tahu kalau apa yang baru saja Ani katakan bisa saja sungguhan terjadi. "Papah mana, Mah?" Anton mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia sedang malas berdebat atau bertengkar dengan Ani. "Tuh di belakang." Dengan dagu, Ani menunjuk Ahmad yang sedang bersandar di tembok. Anton mengikuti arah pandang Ani, memutar bola matanya kala melihat Ahmad sedang menutup mulut, mencoba menahan tawa yang ingin keluar. "Papah kalau mau ketawa ya ketawa aja, jangan di tahan-tahan nanti tumbuh jerawat," sindir Anton ketus. Mendapat lampu hijau dari Anton membuat tawa Ahmad berderai. Ani duduk disamping Anton, mulai mengamati suasana di sekitarnya yang tampak sepi. Tidak seperti biasanya. "Kok rumah sepi, An? Yang lain pada ke mana?" "Kok Papah sama Mamah udah pulang sih?" Bukannya menjawab pertanyaan Ani, Anton malah balik bertanya, membuat Ani semakin kesal saja. "Kamu tuh di tanya malah balik nanya lagi." Ani menjewer telinga kanan Anton, kesal karena Anton mengabaikannya. "Akh! Sakit Mah!" Anton mencoba melepaskan tangan Ani dari telinganya yang mulai terasa panas dan juga sakit. Sial! Ternyata tenaga Ani masih saja kuat, padahal usianya sudah tidak lagi muda. Bukannya melepaskan telinga Anton, Ani malah semakin memperkuat jewerannya, membuat Anton terus meringis. "Berani-beraninya ya kamu, nyabotase penerbangan Papah sama Mamah, An." "Aw! Sa-sakit Mah!" Anton mencoba melepaskan tangan Ani dari telinganya. Ani akhirnya melepas jewerannya, merasa tidak tega kala mendengar Anton meringis kesakitan. Ani kembali duduk di tempatnya, menatap Anton dengan nyalang. "Apa coba alasan kamu nyabotase penerbangan Papah sama Mamah?" "Biar Mamah sama Papah gak cepet pulang," jawab Anton jujur apa adanya. Anton memang sengaja, merubah jadwal kepulangan orang tuanya dan mengalihkan penerbangan keduanya menuju Barcelona. Ani kembali memukul pundak Anton. "Dasar keterlaluan kamu An, untung Mamah sama Papah bisa bahasa Spanyol." Anton tertawa, merasa puas karena telah berhasil mengelabuhi orang tuanya. Sebenarnya Ahmad sama sekali tidak mempermasalahkan perihal penerbangannya yang di ganti, Ahmad justru berterima kasih pada Anton, karena dengan begitu Ahmad bisa lebih banyak menghabiskan waktu berdua bersama Ani. "Mana Sein, An?" Ani membuka majalah yang tadi ia gunakan untuk memukul Anton. "Ada di kamar Mah, lagi istirahat." Ani melirik Anton, menutup majalah yang sama sekali belum ia baca. Kedua tangan Ani bersedekap dan mulai mengamati raut wajah Anton. Dari raut wajah dan nada bicara Anton, Ani tahu kalau Sein dan Anton sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Pasti ada masalah yang terjadi. "Kenapa, apa kamu bertengkar dengan Sein, An?" tanya Ani tepat sasaran. "Sayangnya iya, Mah." Anton tidak bisa lagi mengelak. "Karena?" Ani penasaran dengan pemicu Sein dan Anton sampai bertengkar. Tapi Anton diam, enggan untuk menjawab pertanyaan Ani dan lebih memilih menatap gelas kosong di hadapannya. Anton bingung, bagaimana cara menjelaskannya "Kalau gitu, Sein ikut pulang aja sama Mamah." Anton lantas mendongak, begitu mendengar penuturan Ani. "Mah!" Anton tentu saja protes, tidak terima dengan apa yang baru saja Ani usulkan. Susah payah Anton menahan Sein agar tetap berada di rumahnya dan sekarang dengan mudah Ani mengatakan kalau Sein akan ikut pergi bersamanya. "Sein butuh waktu An, semua ini terlalu mendadak dan Mamah yakin kalau Sein sama sekali belum mengetahui perihal perceraian kamu, benar begitu?" "Iya, Sein belum tahu kalau Anton dan Ara sudah bercerai," balas Anton lirih. "Dan menurut kamu, itu semua salah siapa?" Ani menatap Anton dengan mata memicing, masih dengan tangan bersedekap. "Anton butuh waktu, Mah." Itulah jawaban yang Anton berikan. Anton sendiri bingung, bagaimana cara menjelaskannya pada Sein. Anton takut kalau apa yang ia pikirkan tidak sesuai dengan apa yang ia harap atau dapatkan. Ani mendengus. "Pokoknya Sein ikut pulang ke rumah Mamah," ujarnya kemudian dengan nada tegas tak ingin di bantah. Anton mendongak, menatap Ani sendu. "Kenapa Mamah dan Papah selalu menjauhkan Sein dari Anton?" "Bukan menjauhkan An, tapi semua ini memang terlalu mendadak." "Terserah Mamah. Anton pusing, mau istirahat dulu." Tanpa menunggu jawaban Ani, Anton lantas beranjak, melangkah menaiki tangga menuju kamarnya. Anton harus mengistirahatkan tubuh dan juga pikirannya. Benar-benar hari yang menyebalkan! Begitu melihat sosok Anton hilang di balik pintu, Ani melirik Ahmad yang sejak tadi berdiri dengan punggung bersandar di tembok. Ani yakin kalau Ahmad pasti mendengar semua pembicaraannya dengan Anton. "Apa Mamah keterlaluan?" tanyanya dengan raut wajah sendu. Ahmad mendekati Ani, mendekap tubuh istrinya dengan erat, mencoba menenangkan perasaan Ani. "Jangan terlalu di pikirkan, Anton dan Sein sudah sama-sama dewasa, mereka pasti akan mengerti satu sama lain. Mereka hanya butuh waktu dan perlu memperbaiki komunikasi mereka."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN