4 : Tidak Peduli, Katanya

1031 Kata
---- Malam ini sedikit tenang, dikarenakan Fahmi belum kembali ke rumah. Namun, bukan berarti Sasha akan bernapas lega, karena saat pulang nanti, pasti ia akan mendapatkan hal yang sudah diduga. Sebuah pukulan atau hinaan menjatuhkan. Sasha memperhatikan Alvaro yang sedang memainkan mainan baru, duduk di lantai, menggerakkan robotnya seperti sedang berjalan, kemudian menaikkan ke atas mobil. Ya, anak itu sedang berada dalam fantasi, meskipun mulut tak mengucapkan sepatah kata pun. Ibu mertua berada di dalam kamar. Perang dingin masih berlanjut, dan Sasha tak berniat untuk minta maaf. Dibiarkan wanita itu marah padanya, meskipun begitu, ia masih menyiapkan makanan untuk Rahmi. Kurang baik apa, coba? Pintu kamar ibu mertuanya terbuka, menampakkan wanita itu dengan wajah yang baru bangun tidur. Menatap jam dinding yang sudah rusak entah sejak kapan, lalu beralih pada Sasha yang memperhatikan beliau sejak tadi. Jika ditanya, Sasha pun tak tahu ini sudah pukul berapa. Ia tak punya ponsel untuk memastikan, satu-satunya jam di rumah ini juga sudah rusak karena kemarahan Fahmi. Sasha hanya menduga, mungkin ini masih pukul 20:00. Ya, mungkin. "Fahmi udah pulang?" tanya beliau. "Belum." Sasha menyahuti, singkat. "Kamu kenapa belum tidur? Nungguin Fahmi?" Mengucek mata, dan kembali menatap ke arah Sasha. "Enggak, nemenin Al main." Menjawab dengan jujur. Lagi pula, tak ada untungnya bagi Sasha untuk menunggu pria itu kembali ke rumah. Mau mati di jalan pun, ia tak peduli. Sungguh, Sasha sudah tak ingin berurusan dengan suaminya, hanya tinggal tunggu waktu untuk pergi. "Kamu nggak khawatir, jam segini suami belum pulang?" Rahmi mendengkus. "Buat apa? Mau khawatir juga nggak bakal dihargai," jawabnya lantang. Wanita itu menatapnya garang, sudah jelas marah dengan jawaban yang diberikannya. "Oh, gitu? Kalau sudah nggak peduli, keluar dari rumah ini!" Sasha menghela napas, akhirnya keluar juga kata-kata tersebut. "Serius, Bu? Dua hari ini kalau Sasha nggak kerja, nggak digaji per hari, Ibu nggak bakal bisa makan," tukasnya. Wanita itu bungkam, tetapi mata masih menyiratkan kemarahan. Ya, Sasha sengaja membalas ucapan tersebut, agar Rahmi sadar, tak ada yang bisa diandalkan dari Fahmi. "Masih mau andalin Fahmi? Anaknya saja dibiarin, apalagi kita yang bisa mencari uang untuk makan," cerca Sasha, "Bu, Ibu bakalan kesusahan kalau Sasha pergi dari rumah ini, ingat itu." Rahmi tak menyurutkan tatapan itu, hanya mendengkus kesal, lalu menuju dapur. Mungkin karena tenggorokan kering, jadi tak bisa membalas setiap ucapan Sasha. Bungkamnya wanita itu sudah menjadi bukti bahwa, tak bisa mengandalkan Fahmi dalam hal memberikan makan. Namun, jangan harap beliau akan menegur anaknya sendiri, jangan harap. Sasha sudah tahu betul sifat asli mertuanya. "Al, tidur, yuk," ajaknya lembut pada sang anak. Alvaro menoleh, lalu langsung berdiri, menganggukkan kepala mengajak ibunya menuju kamar. Ya, begitulah cara komunikasi Alvaro, meskipun sudah bisa berbicara dengan lancar, tetapi pada suatu keadaan akan diam hanya memberikan isyarat. --- Semalaman tidak pulang, akhirnya Sasha bertemu dengan pria itu di warung tempatnya bekerja. Fahmi berada di sana, duduk bersama seorang perempuan muda, cantik, dan terawat. Mungkin seorang mahasiswa. Para pelayan warung, yang notabenenya adalah para tetangga, tak melepaskan pandangan ke arah Fahmi. Tentu ada rasa penasaran, siapa gerangan perempuan tersebut. Lain hal dengan Sasha, terlihat tak terganggu meskipun berkali-kali mendapatkan tatapan iba, ia tetap menggerakkan tangan di atas bak cuci piring, sibuk dengan lemak di piring, menggosok penggorengan, tak sedikit pun merasa penasaran dengan kehadiran dua orang insan itu. Alasannya berada di sini adalah Alvaro. Semua orang pasti menyangka bahwa ia sedang menutupi luka, tetapi Sasha sudah terlalu bosan untuk merasa tersakiti. Itu hanyalah hal yang merugikan bagi diri sendiri. "Kalau aku, Sha, udah aku samperin orang itu," sewot Rara, anak dari Fatimah. Mereka seumuran, pertama kali datang ke rumah Fahmi, Rara yang lebih dulu menyapanya, mengajak kenalan, lalu berteman. Kurang lebih Rara tahu apa yang terjadi pada rumah tangga Sasha, karena memang siksaan Fahmi selalu terdengar sampai keluar rumah. "Aku lagi sibuk, Ra. Alvaro nomor satu, nggak mau aku berurusan dengan dia lagi. Biarin kayak gitu, kasihan Alvaro tiap hari lihat orang tuanya bertengkar," ujar Sasha. Ia tahu, bukan cuma Rara yang mendengarkan tiap perkataannya. Di balik punggung, terdapat beberapa pasang kuping yang ikut mendengarkan. Sasha harus mengatakan, agar jika terjadi hal yang sama, orang-orang di warung ini tak perlu merasa terganggu dengan kelakuan Fahmi. "Atau kamu balik aja ke kampungmu, aku kasih uang buat kabur." Rara menawarkan kebaikan, mata perempuan itu terlihat sangat tulus, ingin sekali membantu. Sasha menggeleng. "Aku bakalan pulang pakai usahaku sendiri. Lagi pula, Sukabumi nggak terlalu jauh dari sini." Ya, ia anggap saja begitu, agar tak terlalu memusingkan untuk cepat pulang ke kampung. Masih bisa dijangkau, hanya dengan menabung sebulan, dari hasil bekerja di tempat ini, ia bisa kembali ke kampung halaman. Namun, Sasha masih ragu untuk melakukannya, apakah orang tua masih mau menerimanya yang pernah memberikan luka? "Kamu orang baik, Sha. Allah pasti akan balas suami kamu dengan balasan setimpal." Rara mendengkus, detik kemudian perempuan itu tertawa kecil. "Kok, jadi kayak sinetron azab?" Sasha ikut tertawa. Hanya di sini ia bisa berbicara sebebasnya, bergaul semampunya, dan mendapatkan teman mengobrol. Begitu pun Alvaro, hanya bersama Indri dan Inka, anaknya itu mendapatkan tempat tumbuh yang layak. Semua itu tidak perlu disesali lagi, tentang ia yang memilih Fahmi sebagai suami. Sekarang ia hanya bisa terus melangkah, demi masa depan Alvaro. "Mereka di depan warung, mungkin lagi nungguin ojol," ucap seorang karyawan, memberikan informasi kepada Rara. "Aku tahu ini salah, Sha. Tapi aku nggak bisa diam tanpa bikin kehebohan." Rara mengambil minuman yang akan diantarkan ke meja pelanggan. "Minta satu, ya, Mbak. Buat ngasih pelajaran ke Fahmi." Sasha tak bisa berkedip melihat kepergian Rara. Tak ditahannya, dibiarkan saja perempuan itu pergi dengan membawa segelas kopi yang asapnya masing mengepul. "Jangan terlalu kasar, Ra!" Fatimah mengingatkan sang putri. "Iya, Bu!" sahut Rara, sembari terus berjalan ke depan warung. Sasha melihat ke arah Fatimah yang hanya tersenyum geli. "Apa nggak sebaiknya dilarang?" Wanita pemilik warung itu, melihat ke arahnya. "Nggak perlu. Fahmi udah tahu sifat Rara, jadi mungkin itu hanya akan dinilai ceroboh, karena emang dari kecil Rara terkenal ceroboh." Sasha tahu bahwa keduanya berteman sejak kecil, karena jarak rumah mereka sangat dekat, hanya terpisah jalan kecil. "Ibu nggak tahu, kenapa Fahmi bisa berubah kayak gitu. Ibunya juga, bukannya menegur, malah sering nyalahin kamu." Fatimah menghela napas, kemudian menatap Sasha lembut. "Yang sabar, ya," ucapnya. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN